webnovel

My Soully Angel (Jodoh Sang Dewa Api)

Yafizan - Diturunkan ke bumi akibat serangan fatal dari kekuatannya membuat seorang gadis meninggal karena melindungi adik calon suaminya. Dia selalu bersikap arogant dengan emosi yang meluap - luap karena sifat alami apinya. Tinggal di bumi hampir seribu tahun lamanya bersama asisten yang diperintahkan untuk menjaganya selama di bumi. 1000 tahun kemudian dia dipertemukan dengan reikarnasi gadis yang tanpa sengaja diserangnya, dan gadis itu selalu menolongnya sedari kecil - Soully. Kejadian tak terduga membuatnya keduanya terikat dalam pernikahan.

GigiKaka · Fantaisie
Pas assez d’évaluations
100 Chs

Bab 69

Satu bulan kemudian...

Suara kicauan burung serta gemericik air yang mengalir memekakan telinganya. Membuat mata yang sedang memejam itu terbuka perlahan. Ia mengerjapkan matanya berkali-kali. Menangkap suara-suara yang menghiasi pendengarannya. Penglihatannya masih samar, hingga ia berusaha menyadarkan kembali jiwa dan raganya.

Hal pertama yang ia lihat setelah kesadarannya terjaga penuh ialah atap megah serta ornamen yang menempel pada atap serta dinding kamar juga hiasan tirai yang saling bertautan menghiasi sekeliling pandangan matanya. Tempat tidur berkelambu tirai emas yang indah.

"Di mana ini?" benaknya dalam hati bertanya-tanya.

Ia kembali mengumpulkan kesadarannya. Mencoba mengingat kembali apa yang terjadi serta menimpa dirinya. Matanya terpejam dengan sebelah tangannya yang meremas pelipis kepalanya yang terasa sakit, memijatnya perlahan.

Ingatannya kembali mengantarkan dirinya ketika terakhir kali ia duduk di sebuah cafe, menunggu seseorang. SOULLY!!.

"Soully...Sayang...maafkan aku. Kau pasti sudah menunggu," paniknya tergeragap segera bangun dari tempat tidurnya.

Ia berjalan gontai karena rasa nyeri di kepalanya begitu menyiksa. Tanpa alas kaki, ia berjalan setapak demi setapak di atas karpet coklat berbulu yang sepertinya di desain senada dengan nuansa kamar yang ia tempati.

Badannya lunglai dan seketika ambruk begitu saja ketika langkah kakinya melemas seakan tak bertulang dan kakinya itu tak bisa dipijakkan.

Brukk

Tubuhnya sudah jatuh di lantai. Rasanya lemas dan mati rasa ditambah sakit kepala yang mendera dirinya.

Soully...Soully...

Fikirannya hanya tertuju pada satu nama itu.

Tiba-tiba sebuah tangan mencengkram bahunya dengan erat, mengajak serta membantunya untuk berdiri. Memapahnya dengan perlahan dan hati-hati, segera ia mendudukkan kembali tubuh tuannya yang lemas di atas tempat tidurnya.

"Bos, kau baik-baik saja?" ada nada cemas yang diutarakan orang itu.

"Ro-na?" Yafizan ragu.

"Ya, aku Rona, Bos. Syukurlah kau sudah sadar." Rona memeluk senang bercampur lega orang yang dipanggilnya 'Bos' itu.

Dan yang dipeluk hanya diam saja.

"Yafi! Kau sudah bangun, Nak?" sahutan seseorang membuat Rona melepas pelukannya. "Syukurlah kau sudah bangun, Nak. Sudah satu bulan kau tak sadarkan diri, ibu sangat cemas." Tangannya sudah membelai lembut wajah putra yang sangat disayanginya. Memberi kecupan penuh cinta dan kasih sayang seolah ia begitu sangat merindukannya.

"Kau...i-bu?" tanya Yafizan. Ia menyipitkan kedua matanya, ragu.

"Ya, Nak. Kau mengingatku?" ujarnya dengan mata yang berkaca-kaca.

"Ibu..." berhambur memeluk ibunya. Menangis haru.

"Ibu aku merindukanmu..." tangisnya, seketika mengingat sebagian penggalan kejadian demi kejadian sebelum ia diturunkan ke bumi. Ia melepas pelukannya. Kemudian kedua tangannya sudah meremas rambut kepalanya kembali. Tiba-tiba ia mendongakkan kepalanya dengan tegas, melepas cengkraman kuat di rambutnya.

"Soully...Soully..." paniknya cemas.

"Bos, tenangkan dirimu!" Rona menyambar tubuh Yafizan ketika ia hendak beranjak kembali dari tempat tidurnya.

"Soully, dia pasti sedang menungguku, Ron!" paniknya.

"Tenang, Bos. Tenangkan dirimu."

"Tenang apa maksudmu?!! Istriku pasti sedang menungguku!!" teriaknya frustasi. "Mana ponselku? Aku harus segera menghubunginya. Tolong kabari Soully supaya ia tidak mencemaskan kita, Ron. Kabari dia kalau kita akan segera kembali. Mana ponselku, Ron? MANA?!!" Yafizan menggila.

Seperti kesetanan ia mengobrak-abrik ruang kamarnya. Dibukanya laci nakas yang ada di samping tempat tidurnya. Mencari benda pipih yang ia sebut ponsel itu.

"Aku pinjam ponselmu. Kemarikan!" perintahnya tenang namun masih terselip nada frustasi.

"Bos..." Rona mengiba. Ia tak tega melihat bos alias tuan mudanya sekacau itu.

"Bos..." Rona menjatuhkan tubuhnya. Berlutut di hadapan tuannya.

"Kenapa kau berlutut seperti itu? Bangun! Lebih baik kau cari ponselku," perintahnya datar. Masih sibuk mencari ponselnya.

Sang ibunda yang menyaksikan betapa kacaunya suasana hati putranya itu tak bergeming dan hanya menangis sedih.

"Bu, kenapa kau bersedih? Sudahlah, tenangkan dirimu," tutur Yafizan menenangkan, ia mengusap air mata di pipi ibunya. "Oh ya, Bu. Apa kau melihat ponselku?" tanya Yafi dengan memasang mata yang berbinar, berharap jika ibunya tahu.

"Bos..." Rona masih dalam posisi berlututnya. Betapa tak kuasanya ia jika mengatakan, 'Percuma saja jika kita menggunakan ponsel itu di sini. Ini negeri langit, Bos.'

Dengan tatapan sendu, ibunya menyodorkan sebuah benda pipih berwarna gold berbentuk persegi panjang itu ke hadapan putranya yang masih terus mencari.

Yafizan berbinar ketika sang ibunda memberikan benda yang dicarinya.

"Terima kasih, Bu," peluknya haru sekaligus senang.

Tiba-tiba raut wajah berbinar itu hilanglah sudah. Seketika raut kekesalan muncul di wajahnya. Ia memukul-mukul ponsel itu ke telapak tangannya sendiri.

"Apa ini habis baterai?" gerutunya pelan dengan masih penasaran. Berkali-kali ia menekan tombol power berharap ponselnya segera menyala.

"Ron, ambilkan charger!" perintahnya datar tanpa menolehkan kepalanya yang masih fokus pada ponsel yang berlayar gelap itu.

"Nak, sebaiknya kau beristirahat dulu." Suara ibunya yang lembut mencoba menenangkan agar putranya tidak semakin kecewa.

"Bu, aku harus menghubungi, Soully. Dia pasti sedang menungguku di cafe untuk makan siang. Kasihan sekali dia."

"Ayo, kemarilah. Duduklah dahulu, Nak," ajak sang ibu.

"Bu, bagaimana aku bisa tenang jika Soully nanti terus menungguku di sana? Aku tak ingin membuatnya kecewa," ucap Yafi dengan suara meninggi. "Sudahlah, sebaiknya ibu tinggalkan aku sendiri. Tolong pergi dari sini sekarang!!" perintahnya frustasi yang tanpa sadar dirinya membentak sang ibu.

"Bos!" Rona seketika berdiri. Ia begitu tak suka ketika tuannya itu membentak sang ibu.

"APA?! Kau sungguh menjengkelkan! Pergilah dari sini jika kau tak bisa membantuku!" teriak Yafizan.

"Bos, maafkan aku. Tapi kau sungguh keterlaluan! Kau menyakiti Yang Mulia Ratu!" sengit Rona.

Yafizan terdiam. Naluri kecilnya memang bergejolak jika sikapnya terhadap ibunya sungguh keterlaluan. Kilasan bayangan seseorang ketika memukul kepalanya dengan kepalan tangan mungilnya membuat rasa nyeri di kepalanya begitu menyakitkan.

Yafizan meremas kembali rambut kepalanya. Kata-kata yang pernah Malika ucapkan ketika mengusap rambut kepalanya waktu itu terngiang-ngiang di telinga dan ingatannya.

"Siapa...siapa...akhh..." erangnya kesakitan ketika berusaha mengingat bayangan itu.

Fikirannya teralihkan kembali ketika melihat ponsel yang masih berada dalam cengkraman jemari tangannya. Soully, hanya nama itu yang saat ini membuat dirinya menggila.

Sang ibunda perlahan duduk mendekati anaknya yang sedang dalam suasana hati memburuk. Ia tahu, meninggalkannya sendirian lebih baik saat ini. Namun, sebagai seorang ibu, hati nuraninya lebih kuat dari apapun.

Putranya, membutuhkannya.

Belaian tangan hangat mengusap punggung Yafi yang sedang dirundung kegelisahan. Gelisah karena mengkhawatirkan istri tercintanya yang kini entah bagaimana sekarang.

Sang ibu menatap wajah sang putra dengan lekat. Pandangannya terus menatap layar gelap pada benda pipih yang ada di tangannya. Tak sedetik kemudian, sang ibu seolah memberi energi, menatap sama-sama layar ponsel tersebut lalu tak berselang lama, ponsel pun menyala.

Yafizan menatap wajah ibunya lekat, dengan mata berbinar senang bercampur haru. Sang ibu mengganggukkan kepala seolah memberi tahu bahwa memang ia yang melakukannya.

Tangannya gemetaran menatap ponselnya yang sudah menyala itu. Hal pertama ketika ponselnya telah menyala adalah foto dirinya bersama sang istri tercinta. Ia tersenyum sendiri, menenangkan hatinya dengan berlama-lama memandang wajah sang istri tercinta.

Tiba-tiba raut wajahnya berubah. Ia mengernyitkan dahi ketika menangkap tanda di pojok kanan paling atas layar ponselnya. Tak ada sinyal.

"Kenapa...ini..." lirihnya beranjak berdiri menggoyang-goyangkan ponselnya, mencari signal.

"Bos..." Rona memegang bahu tuannya.

Yafizan melihat sekelilingnya. Pakaian yang dipakai Rona serta ibunya. IBUNYA??

Dilihatnya sekali lagi, memastikan dengan jelas desain kamar serta ornamen-ornamen yang menghiasi ruangan itu. Kini dirinya telah benar-benar sadar.

Ini...kamarnya. Kamar yang hampir seribu tahun telah ditinggalkannya.

"Ron, jangan katakan kalau kita..."

Rona hanya mengangukkan kepala dengan tatapan sendu. Dilihatnya kembali ibunya yang sama-sama memberikan tatapan sendu.

"Tidak...tidak mungkin!"

***

Bersambung...