webnovel

Bab 9 - Kenyataan Yang Mengecewakan

Sara dan Michelle duduk di kantin kantor pada waktu jam istirahat. Mereka menunggu makanan pesanannya datang.

Michelle terus menunduk, tak mampu menatap Sara yang berada di depannya.

"Sel, lo kenapa, sih? Akhir-akhir ini lo kelihatan murung gitu?" tanya Sara khawatir.

Michelle mendongak. Jantungnya berdebar kencang. "Enggak ada apa-apa, kok! Gue baik-baik aja!" elaknya.

Sara mengernyit, terpancar kebohongan di mata Michelle.

"Kamu jangan bohong, Sel. Kalau lo lagi ada masalah, cerita dong sama gue." desak Sara

Michelle tersenyum. Ia kembali menunduk. Sara baik banget sama gue.

[Apa keputusan gue ini salah?] batinnya.

"Sel," panggil Sara. "Lo kenapa sih sebenarnya? Cerita dong sama gue." desak Sara cemas.

Michelle menyengir. "Nggak ada apa-apa kok, Sar."

Sara menatap Michelle menyelidik. "Yang benar?"

Michelle terkekeh kikuk. "B-benar, kok. Masa gue bohong?"

"Abisnya, lo kayak lagi punya masalah berat gitu. Gue 'kan jadi kuatir." Sara terkekeh.

Michelle tertawa. Perasaan bersalah semakin menghantui hatinya.

[Apa yang gue lakukan ini salah?]

★★★

"Hei." Selina menepuk pundak Michelle pelan. Calon istri sepupunya malah melamun saat ditanya.

Michelle tersentak. Lamunannya seketika buyar. Ia kembali menatap Selina. "Iya, Kak, kenapa?"

Selina terkekeh, semakin menambah kecantikan wanita berumur 20-an itu. "Yang tadi aku tanya, 'Gimana kamu bertemu dengan Eduardo'?"

Michelle tertawa kikuk. Ia menggaruk tengkuknya. "Itu ... kami bertemunya di ...,"

[Enggak mungkin, kan, gue bilang dijodohkan!] "Kami bertemunya di kantor, Kak."

Senyum Selina makin melebar. "Ooohh! Jadi kamu bekerja di kantornya Eduardo?"

Michelle mengangguk.

Selina bertopang dagu dengan kedua tangan. "Oh, so sweet banget, deh. Kakak jadi iri."

Michelle tersenyum kikuk. Ia merinding mendengar kata-kata itu.

[So sweet apaan? Orang si Eduardo itu udah kayak Mak Lampir!]

"Terus, terus ...," Selina mencondongkan badannya pada Michelle, semakin penasaran. "sudah berapa lama kalian pacaran?"

Lagi-lagi, Michelle menggaruk tengkuknya kikuk. Ia agak sedikit frustasi jika harus berbohong terus-menerus.

[Gue harus berbohong apalagi, coba?!]

"K-kami ...," Michelle berusaha mencari kata yang tepat. "kami pacaran udah dua tahun, Kak."

Selina berdecak sebal. "Isssh! Kok Eduardo nggak pernah cerita atau kenalin kamu ke aku, sih?!"

Michelle terkekeh kikuk. [Karena kami aja baru kenal!] batinnya tertawa terbahak-bahak.

"Menurut kamu," Selina kembali tersenyum lebar. "Eduardo kayak gimana, sih?"

Mata Michelle melebar. [Ya ampun! Pertanyaan apalagi ini!]

Tiba-tiba terlintas ide di benak gadis itu.

[Apa gue jujur aja, yak?]

"Hei, kok malah melamun, sih?" Selina menyentuh lengan Michelle.

Michelle tersentak. Ia kembali menatap Selina. "Maaf, Kak. Kakak tadi bilang apa?"

"Kamu lagi mikiran apaan, sih?" tanya Selina penasaran.

Michelle menunduk. "Nggak mikir apa-apa kok, Kak. Cuma lagi …," 'Mikirin semua keburukan Eduardo.' "Mikiran pernikahan ini aja, Kak."

"Untuk pertanyaan Kakak tadi... Eduardo itu orangnya …,"

[Emosian! Suka marah-marah! Mukanya datar!]

" … baik kok, Kak."

Selina tertawa. "Dia memang baik, tapi kadang-kadang suka nyeselin ...."

[Memang!]

"Memangnya iya, Kak?" tanya Michelle sok polos.

Selina mengangguk cepat. "Iya, Sayang... Dulu dia itu suka banget ngerjain Kakak saat Kakak lagi di kamar mandi, dia pasti langsung kunci pintunya dari luar pakai kunci cadangan." Selena tertawa geli.

Michelle terkekeh. Dalam hati dia menertawakan cowok itu.

[Busyet! Ternyata si Eduardo nakal juga waktu kecil!]

"Terus dia juga pernah diikat di pohon karena saking nakalnya." Tawa Selina menggelegar di ruangan itu.

Terdengar suara pintu. Eduardo masuk. Ia mengernyit melihat kedua gadis itu tertawa melihatnya.

"Kenapa?" tanya Eduardo bingung.

Selina menggeleng sambil menahan tawa. "Enggak ada apa-apa."

Eduardo menatap Michelle. Gadis itu juga seperti sedang menertawakannya.

Eduardo mendekati mereka, lalu duduk di kursinya semula. "Kakak pasti abis ngomong aibku ke calon istriku, kan?" Eduardo menatap Selena kesal.

Jantung Michelle berdebar tak karuan. Calon istri? Perasaan aneh tiba-tiba timbul dalam hatinya.

[Kok jantung gue jadi deg-degan gini, sih?]

Selina menggeleng cepat. "Enggak kok! Ge-er banget kamu," ejeknya terkekeh.

Eduardo memutar bola matanya. Ia berpaling ke arah lain. Pasti, Kakak sepupunya ini sudah menceritakan hal macam-macam pada gadis, yang dirinya sendiri tidak tahu namanya.

"Tuh! Tuh! Lihat, Sayang! Dia ngambek lagi!" Selina menunjuk Eduardo sambil tertawa.

Michelle menutup mulutnya, berusaha menahan tawa.

Eduardo lantas berpaling. "Aku bilang! Aku bukan orang yang ngambekan, Kak!" seru Eduardo kesal.

"Sayangnya, nggak ada yang percaya sama kamu." balas Selena enteng.

"Kakak!" kesal Eduardo.

"Apa?" jawab Selena santai.

***

Pikiran Eduardo melayang ke mana-mana. Kejadian di butik tadi terus terlintas di benaknya. Ia sampai tak bisa fokus mengemudikan mobilnya. Seperti ada yang mengganjal hatinya.

[Kakak Selina sudah bilang apa saja pada gadis ini] batin Eduardo kesal.

"Hei," panggil Eduardo datar.

Michelle tersentak. Ia kembali membuka matanya. "Kenapa, Bos?"

Eduardo terdiam, sedikit ragu menanyakan hal itu tadi.

"Bos mau ngomong apaan, sih?" tanya Michelle sedikit kesal.

"Apa saja yang tadi diceritakan Kak Selina tentang Saya?" tanya Eduardo.

Michelle mengernyit, sedikit bingung dengan pertanyaan Eduardo. Ia teringat hal itu. Seulas senyuman tersungging di bibir Michelle. "Memangnya kenapa, Pak?" tanyanya sedikit menggoda.

"Jawab saja pertanyaan saya! Jangan banyak tanya!" ketus Eduardo.

"Kalau saya nggak mau, gimana?" tantang Michelle tersenyum miring.

Eduardo menatap Michelle tajam. "Kamu saya buang ke sumur!"

★★★

Eduardo memberhentikan mobilnya di depan rumahnya. Michelle segera keluar tanpa mengucapkan apa pun.

Michelle masuk ke dalam rumah calon suaminya itu. Emma turun dari tangga sambil tersenyum sumringah.

Emma menghampiri Michelle. "Bagaimana dengan gaunnya, Sayang?"

Michelle mencium tangan Emma. "Berjalan lancar kok, Ma." jawabnya tersenyum.

Emma tersenyum lebar. "Mama senang sekali dengarnya, Sayang," ia membelai rambut Michelle lembut.

"Eduardo mana, Sayang?" Emma menoleh ke arah pintu.

Michelle lantas menoleh ke belakang.

[Kenapa cowok itu tak ada di belakangnya?]

Gadis itu kembali tersenyum pada Emma. "Mungkin dia langsung kembali ke kantor, Ma."

"Kok gitu?"

Michelle terkekeh kecil. "Aku juga nggak tahu, Ma. Mungkin ada urusan mendadak di kantor."

"Memangnya dia tidak pamit dulu sama kamu?" Kekesalan terpancar dari iris hijau Emma.

"Nggak apa-apa, Ma. Mungkin ada urusan mendesak." Michelle tersenyum, berusaha menenangkan sang calon mertua.

Eduardo masuk ke rumahnya. Lantas, Emma menatap sang anak tajam. "Dari mana saja kamu?"

Eduardo mengernyit, tiba-tiba mendapat tatapan tajam dari sang Mama. "Abis parkirin mobil, Ma. Memangnya kenapa?"

"Oh, Mama pikir kamu kembali kantor tadi." Emma tersenyum lembut.

"Siapa yang bilang, Ma?" tanya Eduardo heran.

"Michelle, Sayang." Emma membelai rambut Michelle.

Mata Eduardo terbelalak. Jantungnya seakan berhenti berdetak. Ia menatap Michelle dan Emma bergantian. "Michelle?" ulangnya. "Maksud Mama apa? Apa dia ini ...." [Michelle, sahabat kecilku?] sambung Eduardo dalam hati.

[Tapi, kalau dia ini Michelle, kenapa dia tidak mirip dengannya?] Sejak awal, Eduardo' tidak tahu apa pun tentang nama gadis yang akan menjadi calon istrinya, bahkan keluarganya.

"Bukan, Sayang." Emma terpaksa berbohong.

Michelle menatap Emma dan Eduardo bingung. [Mereka ngomongin Michelle siapa, sih?]

Eduardo menunduk dalam. Ia tersenyum miris.

[Mana mungkin dia adalah Michelle.]

"Ya sudah, Ma. Aku pamit ke kamar dulu." Eduardo berjalan meninggalkan mereka sambil menunduk. Terselip rasa kecewa di hatinya.

Emma menatap punggung Eduardo sedih.

[Maafkan Mama, Sayang. Mama tidak bisa mengatakannya sekarang. Mama ingin kamu mencintainya, sebelum kamu mengetahui siapa dia sebenarnya.]