webnovel

Bab 8 - Butik

Emma, Michelle, Eduardo duduk di meja makan untuk sarapan bersama. Tadi Emma meminta Michelle datang ke rumahnya untuk kembali membahas rencana pernikahan.

"Sayang, nanti kalian berdua pergi ke butik langganan Mama, ya, untuk fitting gaun pengantin," ucap Emma tersenyum. Terpancar kebahagiaan di matanya.

Eduardo hanya diam, tak menanggapi. Ia fokus menyantap makanannya.

"Iya, Bu." Michelle tersenyum sopan.

"Kok, Bu? Mulai sekarang, kamu tidak boleh panggil Ibu lagi, tetapi harus panggil Mama ya," pinta Emma tersenyum manis.

Michelle tersenyum. Pipinya seketika memerah. "Iya, Bu— eh, maksud aku, Mama."

"Eduardo, kamu tahu kan butik langganan Mama. Nanti kamu antar calon isterimu ke sana, ya," suruh Emma menggoda.

"Aku tidak bisa, Ma. Aku ada urusan yang penting di kantor," jelas Eduardo datar.

"Kamu tinggalkan saja urusan itu. Sekarang, pentingkan urusan pernikahan kamu dan Michelle," perintah Emma ketus.

Eduardo menghela napas panjang. Kenapa dia harus terjebak dengan kondisi seperti ini?

"Baiklah, terserah Mama saja," sahut Eduardo agak jengkel.

Emma kembali tersenyum pada Michelle. "Sayang, saat kalian sampai di butik nanti, kamu cari saja desainer bernama Selina, ya. Dia yang akan membantu kamu untuk memilih gaun dan mengukur gaunnya."

Michelle mengangguk sopan. "Iya, Ma."

***

Mobil BMW hitam melaju di tengah jalan raya. Eduardo mengemudikan mobilnya dengan tampang frustasi.

"Sebenarnya apa rencanamu?" tuding Eduardo tajam.

Michelle, yang tengah bermain game online, menoleh. "Maksud, Bos?"

"Sebenarnya apa yang kamu inginkan dari Mama saya? Apa kamu mau uang? Katakan saja nominalnya." Eduardo memperjelas kalimatnya.

"Maksud lo apa, Hah?! Siapa juga yang mau uang lo!" protes Michelle tak terima.

"Lalu apa?!" tantang Eduardo. "Kenapa kamu menghasut Mama saya, sampai Mama saya bersikeras menyuruh saya untuk menikah dengan kamu?!"

"Mana nggak tahu!" ketus Michelle emosi.

"Tidak mungkin! Kamu pasti sudah menghasut Mama saya! Mengaku saja!" tuduh Eduardo geram.

"Lo—" Tangan Michelle hampir saja mendarat di pipi mulus Eduardo. Ia mengepal tangannya kuat-kuat, berusaha menahan amarah yang bergejolak.

"Kenapa!? Kamu mau menampar saya? Silakan!" tantang Eduardo sinis.

Michelle memilih diam. Ia membuang pandang ke luar jendela. Kalau bukan saja karena calon ibu mertuanya, yang memohon-mohon untuk bersedia menikah dengan anaknya, sudah dari dahulu dia menghajar lelaki angkuh ini!

Tak lama kemudian, mobil Eduardo berhenti di depan lobi sebuah butik mewah.

Michelle bergegas ke luar dari mobil tanpa menunggu Eduardo.

[Apa-apaan dia itu!?] batin Eduardo kesal.

Michelle masuk ke dalam butik itu. Ia terkagum-kagum melihat interior dalam. Bagai sebuah istana.

"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" Seorang wanita itu menyambut kedatangan Michelle sambil tersenyum ramah.

Michelle tersentak, sontak tersenyum kikuk. "Anu ... apa saya bisa bertemu dengan Selina? Katanya dia desainer di sini?"

"Oh, berarti Anda dengan Nona Michelle, tamu VVIP-nya Nona Selina, kan?"

[VVIP? Apa itu?] batin Michelle bingung.

"Nona?"

Michelle tersentak kaget. "Ya?"

"Apa Nona dengan Nona Michelle?" tanya pelayan itu tetap tersenyum.

Michelle mengangguk cepat. "Iya."

[Buset! Gue berasa udah terkenal gitu!] Michelle tertawa dalam hati.

"Baiklah, mari ikut dengan saya." Pelayan itu mengajak Michelle menuju ruangan Selina di lantai atas.

Wanita itu mengetuk pintu ruangan bosnya itu.

"Silakan masuk!"

Wanita itu membuka pintu itu. "Nona, tamu Nyonya Emma sudah datang."

Selina yang sedang sibuk mendesain rancangan busana di iPad, mendongak. "Benarkah? Suruh masuk saja."

Wanita itu menepi dengan berdiri di sisi pintu sambil tersenyum pada Michelle. "Silakan masuk, Nona."

Michelle tersenyum canggung. "T-terima kasih." Jantungnya berdegup kencang. Untuk pertama kali dalam sejarah hidupnya, dia memasuki ruang sakral dan berkesan bagi calon pengantin mana pun.

Perlahan Michelle memasuki ke ruangan itu.

"Silakan duduk, Nona." Selina tersenyum ramah

Michelle menarik kursi di depan Selina, lalu duduk.

"Kamu calon istri Eduardo, kan?" Selina tersenyum semringah. Ia beralih memandang ke arah pintu. "Di mana Eduardo? Kamu datang sendiri saja, nggak bersama calon suamimu?"

Michelle tersenyum kikuk. "Dia mungkin lagi memarkirkan mobil, Kak."

Selina manggut-manggut sambil tersenyum.

"Ya sudah, kita mulai saja, ya." Dengan antusias Selina mengeluarkan setumpuk kertas dari dalam laci meja kerjanya dan memperlihatkannya di hadapan Michelle.

"Silakan kamu pilih, mana yang kamu suka."

Dengan gugup Michelle mengambil setumpuk kertas putih itu dan melihatnya satu per satu.

"Ada yang kamu su—"

Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka.

"Permisi, Kak."

"Eduardo!" Selena bergegas bangkit lalu memeluk Eduardo sejenak. "Ya ampun! Sudah besar kamu sekarang, ya!"

Eduardo tersenyum manis. "Iya, Kak."

"Ya sudah, ayo." Selena menarik antusias tangan Eduardo. "Calon istri kamu sudah nunggu, loh."

Eduardo membiarkan dirinya ditarik. Selena menarik kursi di sebelah Michelle.

"Duduk yang mantap." Selena menekan bahu Eduardo untuk segera duduk.

Selena kembali ke kursinya. "Nah, silakan kalian berdua pilih-pilih gaun pengantinnya. Sudah Kakak desain yang paling cantik, loh," ujarnya antusias.

"Biar dia saja yang pilih, Kak," jawab Eduardo tersenyum.

"Loh, kenapa?" tanya Selena heran.

"Dia yang akan jadi pengantin perempuanya," jelas Eduardo.

"Ya, iyalah! Itu juga Kakak tahu, Edo!" seru Selena. "Masa iya mas-mas tukang parkir di butik Kakak yang jadi pengantinnya. Kamu gimana sih, Edo?"

"Maklum, Kak. Dia agak sengklek." timpal Michelle menahan tawa.

Eduardo langsung menatap Michelle tajam.

Selena tertawa lepas. "Benar kamu, Sayang! Memang dari dulu sikap Eduardo itu polos-polos minta ditampol!"

"Ya bener, Kak?" Michelle tertawa geli.

Selena mengangguk cepat. "Iya. Waktu dulu Kakak pernah bohongin dia, kalau makan tetelan ayam akan nyangkut di tenggorokan dan tidak bisa sembuh. Dia malah percaya!" jelas Selena antusias.

Pipi Eduardo seketika merah seperti kepiting rebus. "Tidak! Itu tidak benar!"

Selena mengangkat sebelah alisnya. "Kamu nggak mau ngaku, nih? Apa perlu kita datang ke rumahmu dan tanya langsung sama Tante Emma?"

Eduardo kehilangan kata-kata. Kakak sepupunya ini memang selalu saja membuatnya malu.

Eduardo langsung melipat tangan di depan dada sambil membuang wajah ke arah lain. "Terserah! Kakak mau bilang apa."

Selena terkekeh. Ia mencolek dagu Eduardo gemas. "Cie! Cie! Yang ngambekan."

"Aku tidak ngambekan!" kesal Eduardo. Jangan sampai Kakak Sepupunya ini membuka aib-aibnya yang lain di depan calon istrinya.

Michelle tertawa. "Gue nggak nyangka, ternyata lo anak mami."

"Tidak! Itu tidak benar! Dia berbohong!" bantah Eduardo dengan pipi merah.

"Tapi sayangnya gue percaya." Michelle tersenyum mengejek.

Eduardo menggeram. "Kamu—"

"Kok kamu panggil Eduardo 'Lo-gue' sih?" sela Selena heran.

Michelle berpaling pada Selena. Ia tersenyum kikuk. "Itu ... panggilan sayang kami. Iya, kan?" Michelle menginjak kaki Eduardo.

Spontan, Eduardo berteriak, "Iya!"

"Kamu kenapa?" tanya Selena khawatir. "Kok mukanya kayak nahan sakit begitu?"

Eduardo tersenyum kikuk. "Nggak ada apa-apa, Kak. Aku ... aku cuma lagi sakit perut."

"Ya sudah, sana! kamu cepat ke toilet! Nanti bocor di sini lagi!" usir Selena.

"Kakak mengusir atau gimana?" Eduardo menatap Selena kesal.

"Dua-duanya! Sudah sana! Ada yang Kakak mau omongin dengan calon istri kamu ini. Hus... Hus..."

Eduardo menghela napas kasar. "Oke, oke ...." Ia beranjak berdiri lalu keluar.