"Nita, Pak Kevin memanggilmu untuk menghadap ke kantor." Intan menyampaikan pesan kepada Anita yang masih mengetik beberapa proposal untuk diseminarkan.
"Terima kasih." Intan berlalu pergi ke mejanya sementara Anita menyusun beberapa berkas yang masih berserak di atas mejanya untuk perlihatkan kepada atasan soal proposal Minggu depan.
Di dalam kantor seorang pria, paras blasteran sedang memeriksa laporan keuangan dan dokumen investasi kerja sama dengan proyek bisnis perusahaan dari luar negeri. Dia adalah Kevin Adrian Hermawan, usia 32 tahun pewaris muda yang baik hati dan murah senyum.
Suara ketukan pintu dari luar terdengar tiga kali tidak membuat dirinya bersiku dagu menatap siapa yang hadir di kantornya. Pintu terbuka sosok yang ditunggu akhirnya hadir perlihatkan wajah cantik dan ayu di matanya.
"Selamat siang, Pak. Anda memanggil saya?" sambutnya dengan sopan oleh wanita cantik tinggi putih dan ayu (Anita)
"Silakan duduk," pinta Kevin masih melanjutkan pekerjaannya.
Dia (Anita) menarik kursi dan meletakkan berkas yang dia bawa itu ke atas meja kerjanya. Menunggu atasannya menyelesaikan tanda tangan dokumen dan laporan keuangan.
"Bagaimana untuk proposal yang kau kerjakan? Apakah kau merasa kesulitan?" Kevin bertanya menyusun semua berkas berserak di mejanya, dia pun menyingkirkan ke samping lalu meraih proposal map yang di bawa oleh Anita.
"Masih ada sedikit untuk benahi warnai gambar desainnya," jawab Anita sopan. "Hem ..." Kevin melenguh membolak-balik kertas yang telah di Print Out oleh Anita.
"Oke, tidak masalah untuk itu, jika kau kesulitan untuk hal tersebut mungkin Fana bisa membantumu," katanya senyum berikan kembali proposal itu kepadanya.
"Terima kasih, Pak. Kalau begitu saya permisi ..."
Wanita itu beranjak meninggalkan tempat kantor atasannya, Kevin memperhatikan punggung rapuh itu yang sudah menjauh dari pandangannya.
"Nita!" panggilnya tiba-tiba membuat Anita kembali menoleh dan menyahut, "Iya, Pak?"
"Ah ... Em ..." Kevin sulit mengeluarkan kata-kata yang cocok untuk mengajak seseorang yang telah lama ia sukai. Anita masih menunggu atasannya melanjutkan kata-kata tergantung itu.
"Kau boleh kembali," lanjutnya, "Permisi, Pak." Anita pun keluar dari kantornya. Sedangkan Kevin memukul kepalanya sendiri.
"Kacau ... kacau ... ayolah, Vin ... lakukan!" batinnya pada diri sendiri.
Anita meletakkan proposal di atas meja kerjanya. "Nita, apa kau ingin bergabung makan siang bersama kami?" sapa salah satu teman kerjanya yaitu Heni – bagian administrasi Audit.
"Boleh."
Berkumpul dan makan siang bersama memang paling dinanti oleh Anita. Ketika akan masuk ke dalam lift seseorang memanggil namanya.
"Nita!"
Anita pun menoleh lalu Kevin mengejarnya sementara lift masih terbuka lebar menunggu Anita untuk bergabung dengan mereka. Ekspresi wajah para karyawan / karyawati tertuju arah atasannya.
"Ya ... Pak Kevin, suka banget ganggu kebahagiaan kami. Ingat, Pak, Mbak Anita sudah ada yang punya. Jangan diribut lagi, malu sama kehormatan!" tuding seorang karyawati yang berani mengatakan seperti itu tak lain adalah sekretarisnya sendiri yaitu Anna.
Kevin tidak menggubris cemoohan dari mulut sekretaris bebek itu. Ketika lift di tampung lima orang membawa mereka turun ke lobi, dalam gedung lantai delapan hanya dua manusia yakni Kevin dan Anita.
"Maaf, aku hanya ingin mengajak kau makan di luar. Apa kau keberatan? Soalnya ada dua voucher gratis makan sepuasnya, karena aku bingung untuk siapa voucher ini, jadi ..." ucap Kevin kemudian ia menggantungkan kata-katanya.
"Boleh saja," sambung Anita menerima tawaran gratis. Soalnya dia memang sudah lapar tidak ada salahnya menerima daripada menolak.
Wajah Kevin kembali cerah ada harapan untuk bisa mendekat lagi dengan cinta bertepuk sebelah tangan. Walau pun status wanita ini sudah menikah tetap masih ada harapan bisa perbaiki tidak peduli kalau dia dicap sebagai perebut istri orang.
Sekarang mereka berdua berada di salah satu restoran ternama ada acara makan sepuasnya untuk dua orang. Benar-benar seperti remaja saja makan berdua dihiasi meja lilin ... romantisnya. Menu makanan simpel saja beraneka macam hidangan khas Padang, Kalimantan, Sulawesi Selatan dan lainnya. Daerah khas pulau Jawa. Bisa di pilih makanan apa yang diminati tentunya Anita menyukai makanan khas Padang walau dia bukan orang Padang.
Sedangkan Kevin tentu hal yang sama minatnya makan khas Padang, tapi, ada juga makanan lain. Mereka mencari tempat duduk sambil melihat pemandangan luar kota Jakarta.
Beberapa menit kemudian makan sepuasnya pun habis Kevin tidak sanggup lagi untuk menambah makanan ini. Ia memperhatikan wanita sebelahnya masih sanggup menyantap sisa camilan bertender di atas meja. Menunggu wanita itu selesai santapan camilan ringan dia ke kamar kecil untuk setor, kebiasaannya tidak pernah berubah.
Lima belas menit kemudian Kevin keluar dari kamar kecil, lega rasanya mencari sosok cinta bertepuk sebelah tangan itu hilang entah ke mana, celingak-celinguk ternyata sosok itu ada di depan minimarket sambil menikmati es krim walls.
"Gila, perutmu terbuat apa sih? Makanan tadi sudah kau habiskan berapa porsi sekarang masih sanggup es krim di tanganmu?" celetuk Kevin tidak kalah juga mencicipi es krim tersebut.
Satu jam kemudian sampai di kantor gedung tinggi Agro Industri Kencana para karyawan / karyawati ke tempat masing-masing melanjutkan pekerjaan mereka. Anita baru saja sampai dan juga kembali melanjutkan pekerjaan.
"Ehem! Makan berdua nih, Pak? Kapan nih ajak kami makan sama-sama, jangan cuma mbak Anita saja di bawa-bawa, kasihan suami bisa-bisa Bapak di pites sama Pak Alvin, loh," nyinyir Susan buat yang lain di tempat senyum-senyum dapat omelan dari mak lampir.
"Kerja bukan suruh kau menggosip!" ketusnya masuk ke dalam tetap menunjukkan tampang wibawanya. Padahal dia malu setengah mampus cuma puas sudah berduaan dengan cinta tepuk sebelah tangan.
****
Akhirnya waktu pulang kerja pun tiba, Anita membereskan semua kertas berserak di mejanya menyusun sangat rapi. Para rekan kerja juga sibuk untuk bergegas pulang sebagian telah dijemput oleh suami dan ada pula memesan taksi Online.
"Aku duluan, ya, Nita. Bye!" ujar Mega bagian Marketing
"Bye, hati-hati."
Ruangan kantor miliknya sunyi lampu terang telah redup menjadi beberapa bagian menyala. Tinggal dirinya seorang masih berada di kantor. Ketika dia sedang menunggu antrean lift, Kevin keluar dari kantornya tak lupa mengunci privasinya sendiri. Dan menghampiri cinta bertepuk sebelah tangan itu.
"Hari ini kau pulang dijemput sama siapa?" Kevin mulai lagi berbasa-basi
"Aku pulang naik taksi Online, suamiku hari ini tidak bisa jemput," jawabnya sopan.
"Oh ... tumbenan, perlu aku antar? Jalan rumah kita satu arah, kan?" Kevin mencoba menawarkan yang sekaligus kedekatan tidak masalah.
"Tidak perlu, Pak, mari ..." Anita menolak memilih masuk ke dalam lift padahal Kevin juga akan turun bersamanya.
"Yakin, gratis, loh, aku nggak akan macam-macam, kok," tawarnya lagi
"ngotot banget sih, Vin, jadi cowok?" bisikan sang iblis
Suara dentingan lift terbuka Kevin bergegas keluar terlebih dahulu Anita tidak terlalu membawa serius perkataan dari atasannya. Anita masih menunggu taksi Online, namun sebuah mobil sedan berwarna silver berhenti tepat di sampingnya.
"Ayo naik!" pintanya
Anita menolak malah pilih tidak menuruti, malahan Kevin turun dari mobilnya membuka pintu untuk Anita persilakan untuk masuk. Anita semakin tidak enak hati kepada atasannya terlalu berlebihan, mau tak mau di turuti daripada sepasang mata memperhatikan mereka berdua.
Kevin senyum panjang senang bisa berduaan lagi dengan cinta tepuk sebelah tangan. "Memang harga dirimu turun, Vin," bisik sang iblis, "Masa bodoh dengan setan kurang ajar," batin Kevin dalam hati. Dalam perjalanan tak ada satu suara pun keluar dari mulut mereka berdua sangat canggung banget, "Ke mana keberanianmu Vin?" bisik sang iblis
Tidak butuh waktu yang lama jalanan tidak begitu macet akhirnya sampai tujuan dengan selamat. Anita turun tidak lupa mengucapkan kata, "Terima kasih, Pak, sudah mengantar saya sampai rumah. Maaf merepotkan Bapak. Hati-hati dijalan, Pak ..." senyum Anita membuat debaran Kevin tidak ingin beranjak pergi meninggalkan tempat kompleks rumahnya.
"Iya, sama-sama," balasnya dan tak kalah juga dengan senyuman manis dari lesu pipinya.
"Terlalu lebay kau, Vin," bisik sang iblis
"Diam kau, setan!" bentak Kevin dalam hati
Setelah mobil Kevin menjauh dari peredaran rumah kompleksnya, Anita pun masuk ke dalam rumah tak berselang lama mobil Alvin tiba. Untung tepat waktu jika Alvin melihat Anita di antar oleh Kevin, mungkin rasa cemburu pun terjadi dan pertengkaran juga ikut meluas seluruh rumah bertingkat dua.
Sejak pernikahan selama lima bulan Anita dan Alvin tidak pernah saling terbuka satu sama lain terkecuali di dalam rumah ketika orang tua hadir di kehidupan mereka. Makan malam berkumpul dengan ayah mertua dan ibu mertua. Anita memang wanita sangat pendiam semasa pernikahan dengan Alvin. Suasana meja makan sangat sunyi dan hening hanya suara piring dan garpu dan sendok.
"Kapan kalian berdua kasih Mama kehadiran cucu?" Suara seorang wanita paruh baya memecahkan keheningan makan malam. Anna Susanti Mahendra–Ibu dari Alvin–suaminya–Anita.
Kembali hening tidak ada satu kata yang keluar dari pasangan pengantin ini. Anita tidak bisa menjawab karena semua ada pada suaminya antara menginginkan atau tidak sama sekali.
"Apa kalian tidak menginginkan keluarga kecil hadir di rumah ini?" lanjut Anna bertanya, "segera berikan Mama seorang cucu, jika kau masih ingin berada di keluarga Mahendra," sambungnya kemudian Anna meninggalkan tempat meja makan tinggal tiga dewasa masih setia di tempat.
Albert Alexzand Mahendra–Ayah dari Alvin mengembus napas panjang tidak terlalu sibuk dengan kehadiran cucu. Jika tuhan belum berikan kesempatan untuk pasangan pengantin ini tidak ada yang bisa dikatakan secara paksa.
"Sabar ya, pasti ada jalan keluarnya," kata Albert menepuk tangan menantunya. Anita hanya bisa membalas senyuman kecut walau perasaannya masih berkecamuk.
Suasana di dalam kamar pengantin itu, Anita duduk sambil membaca buku majalah yang beberapa hari ia beli toko buku terdekat hanya membuang rasa suntuk ketika tidak ada kegiatan malam hari.
Alvin baru saja selesai mandi dan cuci muka serta kaki, waktunya dia untuk tidur, persoalan tentang kata-kata ibunya masih terngiang pada ingatannya. Dia memperhatikan wanita yang telah menjadi istrinya, istri sah di depan saksi mata dan hukum. Selama pernikahan kelima bulan belum pernah dia sentuh kulit-kulit mulus dari istrinya. Seharusnya posisi di ranjang itu adalah Vanessa – wanita yang masih berhubungan spesial dengannya.
"Sampai kapan kita diam seperti ini?" Anita bersuara sebelum suaminya memejamkan kedua matanya.
"Tidurlah, besok kita kerja. Masih banyak pekerjaan yang harus diurus," ucapnya dingin kembali untuk memejamkan matanya.
"Apa kau begitu membenci kehadiranku sehingga semua kau acuhkan begitu saja. Aku hanya minta akui diriku seorang istri, bukan seorang penghalang cintamu dengan kekasih gelapmu, meskipun kau sulit mencintaiku tidak salahnya kau akui pernikahan kita di depan semua orang," kata Anita pelan lalu ia mematikan lampunya dan ikut memejamkan kedua matanya.
Pria yang posisi membelakanginya masih terjaga, setelah apa dikatakan oleh wanita tepat di sampingnya. Bisa dia rasakan guncangan pada punggung rapuh itu bergetar. Anita menangis dalam diam sebenarnya dia lemah dengan fisik sekarang. Dia mencoba tegar dan menahan semua cobaan dalam pernikahannya.
Sebuah lengan panjang berisi dan berotot melingkar di pinggang posesif itu. Anita dapat merasakan kehangatan walau hanya sebentar. Embusan napas dari suaminya terasa sekali. Dia pun kembali memejam kedua mata dalam pelukan tanpa rasa cinta di antara mereka berdua.