Babi liar raksasa itu segera berlari kencang setelah kami menaikinya. Aku terus memegang erat tangan kakak agar ia tidak jatuh terjerembab ke belakang.
"Kak Guin pegang tanganku yang erat!" teriakku di tengah terpaan angin kencang.
"Ah, baiklah Rui!" teriak kakak yang menggenggam tangan serta memelukku dari belakang.
Selama perjalanan kami berdua terus berpegangan tangan dan menunduk guna menghindari terpaan angin yang membawa berbagai macam debu yang bisa mengakibatkan iritasi pada mata.
Setelah kurang lebih 10 menit di perjalanan, akhirnya babi liar yang kami tungganggi tersebut berhenti di sebuah tempat yang sangat kami kenal. Yap, gerbang masuk kota kami.
"Turunlah, Nak, kalian sudah sampai!" Bapak itu berkata pada kami.
"Ah, baiklah."
Aku yang pertama turun lalu kemudian disusul kakak yang di bantu oleh bapak tersebut.
"Terimakasih pak karena sudah mengantar kami pulang," ucap kakak dengan wajah yang masih pucat pasi menyender di bahuku.
"Iya, Nak, sama-sama. Ya sudah! Kalau begitu bapak pamit pergi dulu!" jawab bapak itu, kemudian menarik telinga babi raksasa tersebut dan segera pergi dari pandangan kami.
"Terima kasih banyak, Pak, meski kalian bukan berasal dari dunia kami, setidaknya kalian adalah orang yang baik," gumam ku dalam hati sembari memandangi kepergian bapak itu yang segera menghilang dibalik kabut pagi.
***
Aku menggendong kakak yang terlihat sangat lemas dengan wajahnya yang masih pucat pasi. Ia terlihat sangat lemah hingga tidak kuat untuk berjalan, sementara jarak dari gerbang masuk kota menuju rumah kami masih sekitar 5 kilometer lagi.
"Hah... Hah... Hah."
Nafasku tersengal-sengal karena sudah berjalan lebih dari satu kilometer sembari menggendong kakak. Keringat mengucur deras di dahi ku. Sementara hari sudah semakin siang.
"Kalau capek istirahat dulu saja Rui, tidak perlu memaksakan tenaga mu," bisik kakak yang sudah setengah pulih dari kecemasannya.
"Hm, baiklah kak."
Aku menurunkan kakak dan memutuskan untuk beristirahat sejenak di pinggir jalan raya. Kendaraan tampak lalu lalang dengan ramainya di depan kami. Ku amati satu persatu kendaraan tersebut sembari berharap jika salah satu dari mereka adalah mobil milik papa yang kebetulan melintas di depan kami.
"Kamu lapar tidak sayang?" tanya kakak yang segera membuyarkan lamunanku.
"Eh, tidak kok kak!" jawabku semangat, namun tiba-tiba terdengar bunyi dari dalam perut yang menandakan jika perutku berkata lain.
"Hmm, kamu tidak bisa membohongi dirimu sendiri Rui," tutur kakak.
"Hehe, maaf kak," gumam ku menggaruk kepala yang tak gatal.
"Ya sudah yuk kita ke warung makan!" Kakak berdiri menarik tanganku.
"Eh, memangnya kakak punya uang?" tanyaku.
"Tidak," jawabnya singkat.
"Lalu bagaimana kita memesan makanan?" lanjut ku berdiri mensejajari posisi kakak.
"Kita akan meminta," celetuk kakak sembari berjalan mendahuluiku.
"Eh, t-tunggu kak!" panggil ku yang menyusul dan menyamai langkahnya.
"Kakak yakin akan meminta makanan?" tanyaku sesaat kemudian.
"Ya, kenapa tidak?" jawab kakak santai.
"Hmm, baiklah terserah kakak saja." Aku menggenggam tangan kakak dan berjalan di sisinya.
Kami terus berjalan menyusuri trotoar. Panas terik matahari sangat terasa menyengat kulit, namun tidak kami pedulikan. Hingga tiba lah kami di sebuah pedagang bakso yang sedang mangkal di pinggir trotoar tersebut. Kami mendekatinya hendak meminta sedikit makanan.
"Boleh minta dua porsi baksonya tidak, Pak?" tanya kakak mencoba sopan.
"Oh, boleh, Neng! Silahkan duduk dulu disitu ya sembari menunggu baksonya siap."
Bapak itu menyambut kami dengan gembira. Kami pun duduk di sebuah kursi plastik yang sudah di sediakan di pinggir gerobaknya.
"Wah, ternyata bapak itu baik ya, Kak!" bisik ku pada kakak yang duduk di sebelahku.
"Iya kan, kakak bilang juga apa, pasti kita boleh kalau hanya meminta sedikit makanan," jawab kakak dengan bangganya.
"Hihi, iya kakak memang pintar," celetuk ku kembali.
Kami menunggu sekitar 5 menit hingga akhirnya datang juga dua mangkuk bakso dengan porsi penuh yang dipesan kakak.
"Ini Neng, baksonya!" Bapak itu mengangkat dua mangkuk dari nampan kemudian meletakkannya di meja kami.
"Wah, terima kasih, Pak!" jawab kakak.
Tak menunggu lama kami segera menyantap dua mangkuk bakso tersebut. Rasa lapar yang menggerogoti perut kami membuat bakso tersebut terasa sangat nikmat.
"Huaa, nikmat sekali bakso ini," celetuk ku yang selesai menyantap habis satu mangkuk bakso tersebut.
"Dengan begini kita bisa melanjutkan perjalanan lagi!" sahut kakak yang juga telah selesai menyantap baksonya setelah diriku.
"Ya sudah yuk, Kak! Kita pergi." Aku berdiri dan menarik tangan kakak.
"Tunggu Rui, kita harus berterima kasih pada bapak itu," ucap kakak.
"Eh, baiklah kalau begitu aku tunggu sini," jawab ku.
Kakak kemudian menghampiri penjual bakso tersebut untuk mengucapkan terima kasih.
"Tidak bisa begitu dong Neng!"
Aku mendengar bapak penjual bakso itu yang membentak kakak, membuatku penasaran dan segera menghampiri kakak.
"Eh, ada apa kak?" bisik ku pada kakak.
"Tapi, Pak, tadi kan saya bilangnya minta bukan membeli," ucap kakak yang mengabaikan pertanyaan ku.
"Ya tidak bisa begitu dong. Saya disini juga dagang, Neng! Rugi saya kalau kalian tidak membayar!" Bapak itu masih mengotot pada kakak.
"Tapi saya benar-benar tidak punya uang, Pak!" jelas kakak.
"Tidak mau tahu! Pokoknya kalian harus membayar dua porsi bakso itu sekarang juga!" bentak bapak itu.
"Sudah tidak punya uang, kok berani-beraninya kalian memesan makanan, dua mangkuk malah," lanjutnya.
Suara kendaraan sangat memekakkan telinga. Ditambah bapak penjual itu yang bersungut-sungut marah terus mendesak kami agar segera membayar makanannya. Aku bingung, tidak tahu harus membayarnya dengan apa. Ku coba menatap kakak hendak meminta solusi, namun saat kulihat wajahnya terlihat sedih dan tak lama air mata menetes di pipinya.
"Heh! Malah nangis, cepat bayar makanan kalian!" Bapak itu terus mendesak kami untuk cepat membayar makanannya.
"Maaf, Pak, tapi kami memang tidak punya uang sama sekali. Dan kami tidak tahu harus membayarnya dengan apa." Kakak berusaha menjelaskannya pada bapak itu sembari berderai air mata.
Bapak itu semakin naik pitam setelah mendengar penjelasan kakak barusan. Dengan wajah yang merah padam ia mengambil semangkuk kuah bakso dan menyiramkannya pada kakak.
"Nih, rasain!!"
'Cprassh'
"Ahh, panas!! Panas!" Sontak kakak segera berteriak kepanasan setelah kuah bakso itu mengenai baju dan membuat kulitnya melepuh.
"Hrrr, kurang ajar!"
Aku yang tidak terima langsung mengambil sebuah kapak di tas ransel yang di gendong kakak, kemudian mengayunkannya pada bapak itu.
'Crassshh'
Ayunan kapak ku tepat mengenai tangan kanan si bapak yang sedang memegang mangkuk, membuat tangan itu putus dan jatuh ke tanah disertai bunyi mangkuk yang pecah.
"Akkkhhh!!! Tanganku!!"
Bapak itu berteriak histeris, tersungkur di tanah sembari memegangi tangannya yang putus.
"Ayo kak, kita lari!"
Aku menjatuhkan kapak dan segera menggenggam tangan kakak yang melepuh akibat siraman kuah bakso tersebut, mengajaknya lari sejauh mungkin dari TKP sebelum ada saksi yang melihatnya.
***
"Hah... Hah... Hah, tangan kakak tidak apa-apa?" tanyaku saat kami sedang istirahat di sebuah kursi taman setelah lari sejauh mungkin dari pedagang bakso itu.
"Hanya melepuh sedikit. Rasanya panas sekali," jawab kakak sesenggukan. Matanya masih terlihat lembab akibat tangisannya tadi.
"Sudah lah kak, setidaknya kita sudah terbebas dari si tukang bakso itu," celetuk ku berusaha menghibur kakak.
"Rui, apa tidak masalah kita melukainya?" tanya kakak sembari mengusap matanya.
"Emm, setidaknya kita tidak membunuhnya kan. Bisa saja aku tadi langsung memenggal kepalanya, tapi kurasa itu terlalu berlebihan," jawabku santai.
"Tapi dilihat dari sisi mana pun tetap kita yang salah, dan juga kamu sudah membuat bapak itu cacat permanen. Bagaimana jika bapak itu menuntut kita?" celetuk kakak.
"Tenang saja kak, bapak itu tak mengenal kita. Jadi mau melapor pun tidak akan bisa memberikan informasi yang akurat. Kecuali jika dia memiliki barang buk— Astaga!" Tiba-tiba aku teringat sesuatu yang membuat ku tidak tenang.
"Kenapa Rui?" tanya kakak heran.
"K-kapak ku! Kapak ku masih tertinggal di sana kak!" jawab ku sangat panik.
"Lalu kenapa? Bukankah kita masih punya satu kapak lagi di dalam ransel ini?"
"Bukan itu masalahnya, kapak itu bisa menjadi barang bukti dan sekarang kita dalam bahaya!" tuturku ku berusaha menjelaskannya pada kakak. Kakak yang baru sadar akan hal itu, seketika ikut panik.
"Heh! Serius kamu Rui?! Lalu harus bagaimana kita?" tanya kakak yang juga panik dan cemas.
"Kita harus mengambilnya kembali kak!"
"Kamu gila! Bisa saja di sana sudah ramai orang yang menolong bapak itu, dan pasti kapak itu juga sudah diamankan oleh mereka!" jelas kakak.
"Lalu aku harus bagaimana kak? Aku tidak ingin masuk penjara?!"
"Kakak juga tidak tahu, tapi yang jelas untuk saat ini kita harus segera pergi secepatnya dari sini sebelum polisi menangkap kita!"
Kakak menarik tanganku dan mengajak ku lari secepat mungkin menuju rumah.
Detik itu juga, perasaan kami terus berkecamuk. Tak ada lagi waktu istirahat karena kami harus terus berlari secepat-cepatnya, menuju tempat pulang yang kami sebut sebagai rumah.