Perjalanan pulang. Aku mampir membeli es krim untuk Clarisa. Dia pasti akan senang karena aku memberikan es krim kesukaannya yang rasa coklat. Setelah membelinya kami pun pulang. Pembicaraan ringan sambil menikmati masa kebersamaan ini. Aditya menghentikan mobilnya begitu lampu berubah menjadi merah. Aku melihat ke arah jendela. Seorang pria menggunakan motor tepat di samping mobil. Merasa tak asing dengan motor tersebut. Aku melihat pengendara motor yang kaca helmnya belum dibuka, begitu pun dengannya yang melihat ke arahku. Dia membuka kaca helmnya. Yudha. Pantas saja aku merasa tidak asing dengan motornya, tapi siapa wanita yang memeluknya.
"Ada apa di luar?" tanya Aditya yang mengagetkanku.
"Hah, oh, enggak. Aku merasa tidak asing saja dengan pengendara motor itu tapi sepertinya tidak."
Suara klakson terdengar karena lampu sudah berubah menjadi hijau. Aditya langsung tancap gas. Tidak terasa, sudah sampai di rumah. Clarisa begitu senang saat tahu aku membawakan es krim untuknya.
"Terima kasih mom," ujar Clarisa begitu mendapat es krim.
Aku tersenyum padanya. Aku menanyakan ibu pada bi Siti. Katanya ibu sedang di dapur menyiapkan makan untuk ayah. Aku izin pada Aditya untuk bantu ibu. Aditya hanya mengangguk. Ibu sedang membawa nampan makan.
"Ibu, biar aku yang membawanya," seruku sambil merebut nampan dari tangannya.
"Apa ada acara hari ini?" tanya ibu.
"Tidak, bu. Ini Aditya yang mengajakku pergi jalan-jalan."
"Syukurlah dia bisa meluangkan waktunya untuk bersamamu."
Sampai di depan rumah. Ayah tidak ada di ranjangnya. Aku dan ibu terkejut bukan main setelah melihat ayah ternyata sudah terjatuh di kamar mandi dan bahkan tidak sadarkan diri. Aku langsung mengecek pernapasannya. Masih bernapas. Aku merogoh tas untuk mengambil ponselku. Menelepon ambulans, lalu memberitahu Aditya. Aditnya segera datang.
"Astaga, ayo pindahkan!" kata Aditya.
Aku hanya menggelengkan lalu membantunya untuk mengangkatnya ke kasur.
"Aku sudah menelepon ambulans untuk datang."
Aditya mengguk mendengar jawabanku. Kami membawanya ke atas kasur. Tak lama kemudian, paramedis datang dan membawa ayah kembali ke rumah sakit.
"Harusnya ibu tidak pergi meninggalkannya," gumamnya.
"Sudah bu, ini bukan salah ibu," kataku sambil memeluknya.
Lagi-lagi kami datang ke rumah sakit untuk memeriksa kondisi ayah. Beberapa saat kemudian. Dokter keluar dari ruangannya dan memberi tahu kalau ayah hanya syok saat jatuh. Setelah ruangan di pindahkan, kami pun masuk ke ruangan tersebut. Tak lama kami berada di sana, ayah tersadar.
"Kamu semakin tua semakin susah dikasih tahu. Kamu harusnya menungguku!" ketus ibu pada ayah.
"Ibu, ayah baru siuman," kataku sambil memegang bahu kiri ibu.
"Lihat! Menantumu masih perhatian padamu! Kenapa kamu seperti itu padanya? Sudahilah rasa marahmu padanya! Dia tidak seburuk yang kamu pikir! Bagaimana jika aku mati dulu? Siapa yang mau mengurusmu? Sedangkan anak-anakmu sibuk bekerja! Sedangkan dia berhenti bekerja untuk ikut merawatmu!" lanjut ibu karena masih merasa kesal pada ayah.
Merasa tidal enak berada di keributan mereka, aku menyenggol lengan Aditya untuk menghentikan ocehan ibu.
"Bu, sudah. Itu tidak baik untuk kesehatan ibu. Kalian harus tetap hidup karena akan ada anggota baru di keluarga kami, jadi kalian harus datang," ucap Aditya.
Aku tidak mengerti kenapa dia berbicara seperti itu, tak ada hubungannya. Ingin sekali aku memukul kepalanya. Tapi ibu diam mendengarnya.
"Apa kamu sedang hamil lagi, Kay?" tanya ibu.
"Hah? E-enggak kok bu. Aku enggak lagi hamil," kataku. "Kamu bicara apa sih? Enggak jelas tahu!"
"Bukankah kita sudah beberapa kali melakukannya akhir ini? Kamu sudah tidak memakai KB juga kan?" bisik Aditya.
Aku sungguh malu saat dia bicara seperti itu. Bagaimana jika ayah dan ibu mendengar ucapannya. Dasar Aditya bodoh. Tapi benar juga kata Aditya, aku kadi teringat kalau aku sudah telat datang bulan.
"Benarkah? Sekalian periksa, mumpung kita masi di rumah sakit. Ayo Kay, periksa kandunganmu apa benar ada jabang bayi dalam perutmu," seru ibu.
Pipiku menghangat, pasti terlihat merah. Aditya mengangguk lalu membawaku keluar dari ruangan. Aku menipis tangannya yang tengah merangkulku. Dibuat malu aku olehnya.
"Ibu akan merasa senang jika dia memiliki cucu lagi," kata Aditya dengan sedikit senyum di wajahnya.
"Apa hubungannya? Aku menyuruhmu untuk menghentikan marah ibu pada ayah. Tapi kamu malah bicara seperti itu, otakmu ditinggalkan di mana sih?"
Aku merasa kesal padanya. Kami sampai di dokter kandungan. Setelah beberapa saat kami menunggu giliran kami yang di panggil masuk. Melakukan beberapa tes pemeriksaan dan selesai. Aku kembali duduk di samping Aditya.
"Selamat ya pak, bu, ibu sedang hamil ...," ucap doker tersebut.
"Apa? Lalu sudah berapa lama aku hamil?" kataku.
"Sekitar delapan minggu," jawab doternya.
"Benar dugaanku. Aku menyadarinya saat perutmu agak bucit dari biasanya," kata Aditya.
Aku memukulnya karena malu ada dokter dia bicara seperti itu. Kami berterima kasih pada doter itu lalu keluar dari ruangannya. Aku merasa senang saat aku hamil lagi. Tapi aku tidak menampakkan rasa senangku.
"Apa kamu tidak senang sayang atas kehamilan keduamu?" tanya Aditya.
"Aku ...," kataku yang tidak langsung menyelesaikan pembicaraanku. "Senang, karena ini anakmu," lanjutku yang disertai senyuman.
Aditya ikut tersenyum lalu kembali merangkulku. Setelah membayar biaya administrasi, seseorang menabrak Aditya dan lalu memeluknya.
"Jangan peluk suamiku!" sahutku sambil berusaha mendorongnya.
Aku terdiam saat melihat Sherlin dengan mata sebam.
"Adit, menikahlah denganku," katanya sambil memeganh tangan Aditya.
"Gila kamu! Pergi sana! Kalau tidak aku akan memanggil ke amanan untuk mengusirmu," ketus Aditya.
"Ayahku meninggal. Dia memintaku untuk menikah denganmu," katanya.
"Jangan bicara sembarangan kamu!" Ketusku.
Aku menarik tangan Aditya untuk menjauh dari Sherlin. Tak habis pikir bisa-bisanya dia bersikao seperti itu di hadapanku. Aku harus memberinya pelajaran supaya dia tidak mengusik keluargaku lagi, terutama suamiku.
"Kamu enggak boleh menikah lagi, enggak boleh meninggalkan aku juga. Pokoknya kamu hanya milikku, enggak mau tahu," ocehku yang masih menarik lengan Aditya.
"Iya sayang, iya," jawab Aditya.
Sampai di ruangan ayah. Ayah sudah tertidur kembali, mungkin karena pengaruh obat.
"Bagaimana?" tanya ibu pelan saat kami masuk.
Aditnya memberikan hasil laporannya. Ibu memang terlihat senang dan menyuruhku untuk istirahat saja dan tidak bekerja terlalu capek. Ternyata Aditya benar. Ibu suka anak kecil dan saat mengetahui aku hamil, ibu juga merasa senang atas kehamilanku.
"Jaga kondisi kesehatan kamu loh ya," kata ibu yang sedari tadi mewanti-wantiku.
"Iya, bu," jawabku.
"Ibu dia bukan hamil anak pertama lagi jadi dia sudah tahu apa dan bagaimana menjaga kondisinya," ujar Aditya.
"Ibu memang senang. Semoga si bungsu juga segera menikah, aku ingin melihat cucuku darinya sebelum aku mati," kata ibu.
"Ibu jangan bicara seperti itu. Ibu selalu bawa-bawa mati," kataku.