webnovel

Berkunjung ke Rumah Kak Tyas

Akhir peka tiba. Kami bersiap untuk berkunjung ke rumah kak Tyas. Clarisa anteng-anteng saja karena belum tahu akan bertemu siapa di sana. Setelah itu, kami pun pergi menggunakan mobil. Setibanya di sana, terlihat rumah kak Tyas begitu sepi. Aku mengetuk pintunya. Farhan yang membukakan pintunya.

"Eh bibi, bibi datang ke sini juga akhirnya," katanya lalu bersalaman denganku begitu juga pada Aditya.

"Salam dulu sama bang Farhan, Ca," kataku pada Clarisa.

Clarisa mencium tangan Farhan. Kami pun masuk. Farhan bilang ibunya sedang berada di halaman belakang sedang menjemur pakaian. Terlihat Azka tengah duduk di sofa depan TV. Clarisa yang menyadarinya memegang erat tanganku.

"Ehem, enggak penasaran siapa yang datang nih?" tanyaku membuat Azka menoleh ke arahku.

Dia terkejut melihat Clarisa.

"Bibi kenapa ada dia?" tanya Azka.

"Loh, dia anak bibi," kataku.

Aku mengajak Clarisa untuk duduk di sampingku. Kak Tyas pun datang. Berbasa-basi adalah hal yang biasa sebelum membicarakan hal inti. Kebetulan sekali suaminya kak Tyas pun sedang berada di rumah.

"Tangannya Clarisa sudah tidak apa-apa sekarang?" tanya kak Tyas.

Tidak banyak bicara, Clarisa hanya menganggukkan kepalanya saja.

"Ica bisa ceritakan pada tante kejadian Ica jatuh dari sepeda?"

"Ma, dia yang salah!" sahut Azka.

"Diam! Mama tidak sedang bicara padamu," kata kak Tyas.

"Jangan bilang Ica jatuh karenamu ya?" kata Farhan.

"Enggak kok!" sahut Azka.

"Kenapa bohong? Bukannya memang benar kamu yang mendorong Ica jatuh?" sahut Clarisa yang akhirnya membuka mulut.

"Tidak! Kamu yang bohong! Kamu!" teriak Azka lalu pergi meninggalkan kami.

Kak Tyas dan suaminya memanggil anaknya itu untuk meminta maaf. Tapi Azka tidak mau keluar dari kamar. Kak Tyas begitu marah karena Azka telah berbohong padanya. Dia menggedor pintu dengan sangat keras. Aku meminta izin pada Aditya untuk menghampiri kakak dengan menyentuh lengannya. Aditya hanya mengangguk. Aku pun menghampiri kak Tyas lalu menyentuh bahunya.

"Anak itu harus diberi pelajaran supaya tidak berbohong lagi," sahut kak Tyas.

"Biar aku yang mencoba bicara padanya," kataku.

Mengetuk pintu lalu memanggil namanya, hingga dia pun akhirnya menjawab juga. Azka tidak akan membuka pintu jika masih ada mamanya di depan pintu. Aku meminta kak Tyas untuk pergi. Karena kesal, kak Tyas pun pergi. Azka membukakan pintu, aku pun masuk ke kamarnya.

"Bibi tidak akan memarahiku kan?" tanya Azka sambil menunduk.

"Tidak sayang. Ayo duduk sini," kataku sambil menepuk-nepuk tepi kasur. "Boleh bibi bertanya?"

Azka hanya mengangguk.

"Kamu di rumah enggak apa-apa?"

"Mama sering marahi aku, bibi juga lihat kan tadi?"

"Oh. Kamu tidak tahu ya? Kalau orang yang kamu jahili itu anak bibi? Dia adik kamu loh."

"Dia adik aku?"

"Iya, dia panggil kamu dengan sebutan abang, eh tapi Azka maunya dipanggil abang atau kakak?"

"Aku mau di panggil abang saja."

"Kalau jadi abang itu sayangi adiknya, dijaga, apa lagi adik perempuan. Azka tahu yang diperbuat Azka pada itu salah?"

"Em ... iya," kata Azka sambil mengangguk.

"Kalau salah harus meminta?"

"Maaf."

"Nah pintar. Sekarang mau keluar kamar?"

Azka menggeleng cepat. Dia masih takut sama ibunya yang marah. Aku terus meyakinkannya hingga akhirnya dia mau juga untuk keluar dari kamar. Dia berjalan di belakangku. Melihat kak Tyas yang sudah berdiri, aku langsung menahannya. Dan mengajaknya untuk bicara. Aku menyuruh Azka untuk duduk terlebih dulu. Farhan pun memanggilnya untuk duduk di dekatnya. Aku dan kak Tyas pergi agak jauh dari mereka.

"Apa sih? Anak itu harus diberi pelajaran supaya tidak melakukannya lagi," kata kak Tyas.

"Kak, dia anak kakak loh, kok bisa-bisanya dimarahi seperti itu. Karena kakak juga dia seperti itu. Dia yang bilang kalau dia sering dimarahi kakak," kataku.

"Tahu apa kamu tentang mengurus anak? Baru punya anak satu saja sudah sok. Dia anakku, kamu saja punya anak perempuan enak, bisa menurut, coba kalau anak laki-laki. Aku saja pusing dengan keduanya. Dia anak aku ya terserah mau bagaimana aku mendidiknya," sahutnya.

"Perlakuan ibu terhadap kakak jangan kakak ikuti, aku tahu kakak sering kena marah sama ibu, tapi gak perlu dituruti juga. Itu efeknya pada anak dan bahkan bisa lebih parah lagi. Terserah jika kakak tidak menerima perkataanku. Aku pulang saja, untuk apa aku berlama-lama berada di tempat yang tidak bisa menghargai perkataanku."

Aku pun pergi meninggalkan dapur. Terlihat Farhan, Azka dan Clarisa sedang menonton dari ponselnya Farhan sambil tertawa. Senang melihatnya sudah akur. Seharusnya tiap tahun itu bertemu supaya tidak kejadian seperti ini. Aku duduk kembali di sebelah Aditya.

"Sudah bicara dengan kak Tyas?" tanya Aditya.

"Ya begitulah," kataku.

"Maaf ya, Tyas memang seperti itu orangnya," sahut kak Ardi.

"Lebih baik kita pulang saja," kataku.

"Jangan dulu pulang, makan dulu," kata kak Tyas membuat kami menoleh ke arahnya. "Makan dulu, sudah aku siapkan makanannya."

"Mari makan dulu," kata kak Ardi.

Aku mengangguk lalu kami pun makan bersama. Setelah selesai makan, aku bersikeras ingin pulang meskipun kak Tyas sudah meminta maaf karena kejadian tadi. Entah kenapa aku ingin pulang. Tidak, lebih tepatnya aku ingin jajan tapi aku belum memberitahu pada Aditya. Kami pun pulang. Clarisa melambaikan tangannya pada mereka.

"Sayang aku ingin pergi ke daerah C," kataku.

"Mau apa ke sana?" tanya Aditya.

"Aku mau beli makanan di sana," kataku.

"Jajan mom?" sahut Clarisa.

"Yes," jawabku.

Clarisa begitu senang saat tahu akan jajan. Aditya hanya menghela napas lalu menuruti keinginanku. Jarang-jarang kan seperti ini pada suami kalau tidak sedang hamil mana mau dia menemaniku. Sepanjang jalan aku hanya tersenyum. Sampai di tempat tujuan. Karena lokasinya depan sekolah, jadi banyak jajanan anak sekolahan di sini. Meskipun ini hari sabtu, yang jualan di sini masih ada. Aku dan Clarisa hampir membeli semua jajanan yang ada di sini.

"Mas, istrinya suka jajan ya? Sampai penuh tangannya," kata penjual cilor.

"Iya, bawaan bayinya itu," ujar Aditya.

"Oh lagi hamil, pantas saja. Masih hamil muda."

"Iya."

Aku bisa mendengarnya karena aku sedang membeli corndog yang tempatnya berada di sebelah tukang cilor. Puas jajan aku pun mengajak Aditya untuk pulang. Di perjalanan aku dan Clarisa memakan cilornya.

"Kamu jajan sebanyak itu harus habis ya?" kata Aditya.

"Ya kamu juga bantu untuk menghabiskannya dong, ya kan Ca?"

"Iya dad, kita makan jajanannya sama-sama," kata Clarisa.

Aditya tidak begitu menghiraukannya dia hanya fokus pada kemudinya. Sampailah di rumah. Aku dan Clarisa melanjutkan memakan jajanan tadi. Aditya sesekali ikut makan walaupun hanya sesuap saja.