Terdengar suara pintu diketuk. Aku menyuruhnya untuk masuk. Ibu dan Rena ternyata. Aku kembali fokus pada pekerjaanku.
"Nak, apa kamu tidak akan pulang?" tanya ibu sambil menyentuh bahuku.
"Untuk apa? Toh tidak ada yang menungguku untuk pulang," jawabku yang masih melihat ke arah komputer.
"Ibu kan menunggumu pulang, pulanglah ke rumah ibu."
"Tidak. Aku tidak mau tinggal bersama orang yang sudah menghancurkan rumah tanggaku."
"Baiklah. Sekarang makan dulu, ya? Kamu pasti belum makan."
Ibu menggandengku, mengajakku untuk duduk di sofa. Ibu menyajikan makanan.
"Makanlah sampai habis," kata ibu.
"Kak, tadi pas aku ke sini, aku tidak melihat Bunga ..." ucap Rena.
"Dia sudah keluar, tidak bekerja lagi di sini," jawabku lalu melahap makanan.
"Loh kok, tiba-tiba banget enggak sih? Setahu aku dia itu butuh pekerjaan karena dia hidup sendiri di sini, enggak mungkin keluar begitu saja keluar dari perusahaan begitu saja. Tapi kemarin aku lihat dia di stasiun sambil membawa koper gitu ..."
"Kakak tidak peduli," sahutku memotong pembicaraannya.
"Ih, kakak. Dengar dulu aku cerita!" rengek Rena.
"Rena, biarkan kakakmu makan dengan tenang," kata ibu. "Lalu apa yang terjadi sama dia?"
"Nah iya bu, Rena asli orang sini, gak mungkin dia pindah tiba-tiba sedangkan keuangannya saja masih dibilang pas-pasan. Ya kalau dia liburan kan enggak harus bawa koper seperti itu, itu sih kaya orang yang mau pindahan, soalnya kopernya saja cukup besar, kalau mau liburan kan bisa pakai koper kecil," kata Rena yang melanjutkan ceritanya kepada ibu.
"Buat apa kamu ke stasiun?" tanyaku.
"Oh, itu. Sebenarnya waktu itu aku mau datang ke rumah kakak, setelah tahu kakak kembali lagi ke sini. Hanya saja saat aku menuju rumah kak Kay, aku melihat kak Kay dengan teman-temannya pergi, aku juga sempat melihat kalau kak Kay menangis saat itu. Aku mengikuti mereka. Saat di stasiun aku memang gak bisa menemui kak Kay, karena aku tertinggal. Tapi aku malah melihat Bunga juga saat itu."
Aku berterima kasih pada ibu dan Rena karena sudah datang kemari dan membawakan makanan. Aku meminta mereka untuk pulang karena aku ingin bekerja tanpa diganggu oleh siapa pun. Setelah mendengar cerita dari Rena, memang cukup janggal. Terlebih aku langsung menerima surat pengunduran dirinya. Karena emosi aku sampai tidak menyadarinya. Aku langsung menghubungi Fikram. Menyuruhnya untuk mencari tahu tentang Bunga. Tidak membutuhkan waktu yang lama, dia kembali menghubungiku dan ternyata benar apa yang diceritakan oleh Rena.
"Tapi Dit, dia sudah tidak tinggal lagi di sini. Rumahnya pun sudah dijual," kata Fikram.
"Selidiki dia. Aku merasa ada sesuatu yang dia sembunyikan," seruku.
Fikram pun menutup teleponnya. Aku melanjutkan pekerjaanku. Pintu diketuk kembali. Bayu mengingatkan bahwa nanti malam akan ada perjamuan di hotel Xion.
Sesampainya di hotel Xion. Banyak sekali pengusaha besar. Ini kesempatan untuk membangun kolega baru. Hingga akhirnya aku bertemu dengan Karmila.
"Selamat datang menantuku. Senang bisa bertemu denganmu di sini," ujar Karmila.
"Ya," jawabku singkat.
Aku melewatinya lalu menyapa yang lain. Sungguh aku tidak ingin berurusan dengannya. Tidak lama kemudian, acaranya pun selesai. Aku mengajak Bayu untuk kembali ke kantor.
"Tunggu dulu!" kata Karmila.
Aku membalikkan badan melihat ke arah suara.
"Mari kita bicara dulu," lanjutnya.
"Untuk apa? Aku sibuk, tidak ada waktu untuk berbicara denganmu," jawabku ketus.
"Ayolah, aku tahu kamu sedang mencari istrimu, oh, atau mantan istrimu?"
"Apa yang ingin kau bicarakan?"
"Kita duduk dulu untuk itu, karena aku tahu pembicaraannya tidak akan memerlukan waktu yang sebentar untuk itu," ujarnya.
Aku mengangguk lalu membuntutinya. Hingga sampai di meja yang dia pilih. Aku pun duduk.
"Langsung saja ke intinya. Apa yang kamu ingin bicarakan?" tanyaku.
"Panggil aku ibu, sayang. Karena aku akan menjadi ibu mertuamu," sahutnya.
"Jangan aneh-aneh, katakan apa? Jika tidak ada, saya akan pulang saja."
"Baiklah. Karena kamu telah berpisah dengan wanita itu, menikahlah dengan anakku. Aku akan memberikan semua sahamku padamu."
"Bayu kita pulang saja," kataku pada Bayu.
Bayu hanya mengangguk. Aku beranjak dari tempat duduk.
"Menikah saja dengan putriku. Wanita itu sudah bersama laki-laki lain," sahut Karmila.
"Apa maksudmu?" Aku membalikkan badan lagi.
"Apa kamu yakin tidak ingin melihat ini, menantuku?"
Karmila menunjukkan beberapa foto Kayla dengan seorang laki-laki, hanya saja di foto itu aku tidak bisa melihat wajahnya. Bagaimana mungkin dia bisa menemukan Kayla tetapi aku tidak bisa menemukannya.
"Bagaimana kau bisa mendapatkan foto ini? Kau mengikutinya?"
"Setujui dulu untuk menikah dengan putriku baru aku akan memberitahu di mana keberadaannya."
Aku pergi meninggalkannya. Kembali ke kantor. Mengambil ponsel lalu menelepon Fikram. Begitu teleponnya di angkat, aku langsung membentaknya.
"Bisa cari orang enggak? Aku cuma memberi tugas untuk mencari satu orang perempuan, satu orang tapi kamu tidak bisa menemukannya dalam tiga hari!"
"Apa sih? Ini aku juga masih mencarinya. Bahkan aku ikut ke lapangan untuk mencarinya," sahut Fikram.
"Kayla tinggal bersama seorang pria cari dia! Jangan sampai Karmila membuat itu sebagai senjatanya untuk menuruti keinginannya!"
"Baik, aku akan mempercepat pencariannya."
Fikram pun menutup teleponnya. Sungguh sangat menyebalkan.
Keesokan harinya. Ayah datang. Sungguh menyebalkan.
"Ada perlu apa?" tanyaku yang masih fokus pada layar monitor.
"Suprise!"
Aku melihat seorang wanita di belakang ayah. Ya, dia Sherlin.
"Bagaimana kamu bisa bebas secepat ini?"
Sherlin berjalan mendekat dan duduk di tepi meja.
"Sayang, tidak ada gunanya kamu menjebloskanku ke penjara, ibu pasti akan membebaskanku," ujarnya.
"Tidak sopan sekali, di belakangmu ada pria yang lebih tua dan kamu berani duduk di atas meja," sahutku.
"Ayah hanya mengantarnya. Ayah akan memberi kalian waktu untuk berdua. Bersenang-senanglah," kata ayah lalu meninggalkan kami.
Aku mengendus kesal. Dia memang bercerita betapa senangnya dia mendengar Kayla pergi dan menandatangani surat perceraian. Aku mengambil telepon menghubungi Bayu.
"Tolong bawa pengganggu ini keluar, saya ingin bekerja tanpa gangguan apa pun," kataku.
"Baik, pak," jawab Bayu.
"Sayang aku rindu sama kamu, kenapa kamu sangat begitu kasar padaku? Tidak bisakah kamu membuka hatimu sedikit saja untukku?" kata Sherlin.
"Tidak," melihat Bayu masuk, aku langsung menyuruh Bayu membawa Sherlin keluar.
Sherlin kesal karena perlakuanku. Dia pun pergi dengan sendirinya. Fikram menghubungiku lagi. Ternyata benar, Kayla pergi bersama laki-laki lain. Sungguh betapa kesalnya.
"Di mana dia?" tanyaku.
"Lokasi terakhir dia terlihat di kota U," jawabnya.
"Kenapa tidak membawanya ke sini?" bentakku.
"Aku tidak bisa melakukannya, karena tempatnya ramai. Dia bisa berteriak, di sana jadi aku diam saja dan menyuruh anak buahku untuk mengawasinya,"
"Baiklah. Kirimkan alamat jelasnya, aku akan datang ke sana."
Fikram pun mengirimkan alamat tersebut.