"Apa yang sudah terjadi?" tanyaku pada petugas kebersihan.
"Tiap bulan gaji kami dipotong dengan alasan yang tidak jelas. Karyawan juga sering kena marah. Itu sebabnya bu Rena sekarang sering lembur," jawabnya.
"Oh, ya sudah. Terima kasih ya."
Petugas kebersihan itu pun pergi. Aku melihat beberapa berkas yang seharusnya tidak dikerjakan oleh Rena. Rena bekerja di divisi pemasaran. Tapi semua laporan yang seharusnya diberikan kepada atasan ada di sini. Apa jangan-jangan Rena merevisinya terlebih dahulu sebelum diberikan kepada ayah? Sungguh keterlaluan. Sekarang Rena pergi ke kafe yang ada di luar kantor, untuk makan dan mengerjakan tugas kuliahnya.
Aku memanggil beberapa orang untuk menyelesaikan tugasnya yang tidak seharusnya Rena kerjakan. Ketika sedang mengerjakan, aku dikejutkan dengan kedatangan ayah bersama wanita itu.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" bentak ayah yang membuat perhatian semua karyawan. "Di mana Rena?" tanya ayah dengan lantang yang membuat semua orang menunduk.
Membuang napas dengan kasar. "Dia sedang mengerjakan tugas kampusnya," kataku dengan santai.
"Kenapa dia keluar? Siapa kamu beraninya menyuruhnya pergi tanpa menyelesaikan pekerjaannya terlebih dulu?"
"Kau gila apa? Dia anakmu yang masih harus menyelesaikan pendidikannya! Kenapa semua tugas harus dikerjakan sama dia? Apa saja yang kau kerjakan?" ujarku.
"Berani sekali kamu ya mempertanyakan itu padaku?" kata ayah.
"Sampai kapan kalian bertengkar seperti ini?" ucap Karmila.
Aku menatapnya sinis. Ayah pun keluar bersamanya. Melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Aku melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda. Rena pun datang.
"Tugasnya sudah selesai?" tanyaku begitu melihatnya.
"Ayah memarahiku dan menamparku di sana, menyuruhku untuk menyelesaikan pekerjaanku dulu baru tugas kampus. Aku malu dilihat banyak orang tadi," keluh Rena.
Aku melihat pipinya, benar saja. Di pipinya masih meninggalkan bekas tamparannya.
"Dasar pria tua itu berani-beraninya menampar adikku," mengepalkan tangan lalu berdiri berniat akan menyusul ayah.
"Tidak kak, nanti ayah memarahiku lagi," ucap Rena yang mulai meneteskan air matanya.
"Tidak! Ini juga urusanku!" kataku sambil melepaskan tangannya
Di lobi ayah tidak ada, mungkin ayah sekarang sedang dalam perjalanan pulang. Aku pun mengambil motorku dan langsung melajukannya.
Tiba di rumah, aku langsung masuk dan melihat ayah yang masih berdiri di ruang tamu. Aku memukulnya hingga dia terjatuh lalu menarik kerah baju. Ibu histeris melihatku yang sedang marah.
"Berani sekali kau menampar adikku! Kalau berani lawan aku! Jangan adikku!" teriakku.
Ibu terdiam sejenak mendengar ucapanku.
"Sudah Adit, dia ayahmu. Kamu tidak akan ada kalau dia tidak ada," ucap ibu yang berusaha menghentikanku.
"Lebih baik aku tidak ada dari pada memiliki ayah sepertinya," jawabku.
Aku terus memukulnya, hingga bahuku ditarik dan aku mendorongnya. Sontak aku terkejut melihat Kayla yang sudah duduk di lantai karena terjatuh. Ibu membantunya untuk bangun. Aku masih terdiam karena aku tidak ingin memarahi orang yang tidak bersalah.
"Dasar anak kurang ajar!" umpat ayah.
Ibu langsung membawa ayah pergi. Pintu terbuka dan Rena masuk. Rena pun terkejut melihat pakaianku yang berantakan. Tanpa sepatah kata pun, Kayla pergi meninggalkanku dan kembali ke kamar.
"Kak, ada apa ini?" tanya Rena yang masih bingung dengan kakak iparnya itu yang tidak seperti biasanya.
"Lanjutkan saja mengerjakan tugasnya. Kalau ayah berbuar sesuatu lagi padamu bilang saja pada kakak," seruku.
Rena hanya mengangguk. Aku pergi menyusul Kayla ke kamar. Setibanya di kamar, lampu sudah di matikan dan hanya ada cahaya dari lampu tidur. Kayla sudah berbaring di atas kasur bersama Clarisa yang sudah tertidur. Aku duduk di atas kasur, yang mana Kayla sedang memunggungiku.
"Maaf, aku tidak bermaksud untuk mendorongmu," kataku.
Tidak ada respons apa pun dari Kayla. Sudah pasti Kayla benar-benar marah. Sebaiknya aku membiarkannya dulu. Lebih baik aku membersihkan diri saja. Ketika selesai ganti baju, aku melihat Kayla masih dalam posisi yang sama. Aku pun berbaring di sampingnya. Aku memeluknya dari belakang. Tanpa sepatah kata pun, terdengar isakan tangis Kayla.
"Aku marah sama kamu, aku hanya ingin memisahkanmu tapi kamu malah mendorongku hingga aku jatuh," ucapnya.
Kayla membalikkan badannya dan menghadapku dengan air mata yang masih bercucuran. Aku menghapus air matanya, lalu mengecupnya.
"Maaf," ucapku pelan lalu mendekapnya untuk menenangkannya.
Aku mengusap-usap kepalanya hingga Kayla tertidur. Setelah Kayla tertidur, aku pun ikut tidur menyusulnya ke alam mimpi.
Keesokan harinya. Di meja makan semua sudah berkumpul. Aku dan Kayla yang menggendong Clarisa datang dan duduk di sana.
"Kayla, biarkan mbak Siti menggendong Clarisa sementara kamu makan," ucap ibu.
Kayla melihat ke arahku untuk meminta izin, aku hanya mengangguk. Siti menggendongnya. Kami pun makan.
"Adit, lebih baik kamu kembali ke kantor," kata ibu.
"Apa maksud ibu?" tanyaku.
"Kembali saja ke kantor, jangan sampai perusahaan itu bangkrut karena ulah ayahmu," ucap ibu.
Aku melihat ayah yang hanya diam dan tidak suka akan ucapan ibu. Aku tidak menjawab dan melanjutkan makan.
"Bekerja saja lagi di kantor," ucap ayah lalu pergi.
"Ck! Dasar," kataku.
"Ibu ingin Rena fokus untuk menyelesaikan sekolahnya, maka dari itu kamu harus bekerja lagi di sana," ujar ibu.
"Tapi aku punya usahaku sendiri, bu," kataku lalu ngenghela napas. "Biarkan aku memikirkannya dulu."
Kayla menggendong Clarisa lalu mengikutiku ke kamar. Aku membereskan barang-barang yang kami bawa kemarin. Lebih baik pulang saja. Lagi pula aku harus buka warung sekarang. Setelah selesai bersiap aku pun pamit pada ibu dan Rena. Aku pulang ke rumah Kayla, tempat di mana aku buka usaha. Dika sudah berada di sana dan sudah membeli bahan masakan.
"Kamu siapkan saja tempatnya. Hari ini kita menyajikannya mendadak, tidak sistem prasmanan lagi," seruku.
"Kalau begitu kita butuh Vina untuk membantu lagi sebagai penerima pemesanan," ujar Dika.
"Baiklah," jawabku. "Sayang, tolong hubungi temanmu lagi, ya? Dia belum bekerja lagi kan?"
"Iya. Aku akan meneleponnya sekarang," jawab Kayla.
Tidak membutuhkan waktu lama, Vina pun datang. Untuk memudahkanku dan Dika memasak, aku meminta nomor Vina untuk menghubungi ketika ada pesanan supaya tidak memakan waktu.
Hingga waktu makan siang tiba, pesanan pun meningkat. Jam dua siang sudah. Pelanggan pun sudah sepi. Aku pergi ke depan untuk memastikan Vina tidak kewalahan mengambil piring bekas makan.
"Sayang kenapa kamu di sana?" tanyaku begitu melihat Kayla yang duduk di bagian kasir sambil menggendong Clarisa.
"Aku membantu, untuk apa lagi?" jawab Kayla.
"Aku kan sudah bilang jangan dulu bekerja. Kasihan Clarisa. Banyak debu juga."
"Tidak apa-apa sayang, lagi pula aku hanya duduk di sini, menerima pesanan, menerima uang, sudah. Aku kasihan melihat Vina mondar-mandir, harus ke sana ke mari, jadi aku bantu saja. Clarisa juga tidak rewel," jelas Kayla.
"Aku juga tadi sudah melarangnya, tahu sendiri bagaimana keras kepalanya dia," timpas Vina.
"Baiklah, terima kasih sudah membantu. Mari kira ke dalam," kataku sambil merangkul Kayla. "Aku titip ya, Dika masih ada di belakang, hubungi dia saja kalau ada yang beli," seruku pada Vina.
Vina mengangguk kemudian duduk di tempat Kayla tadi.