POV Aditya
Seseorang mengetuk pintu. Setelah mempersilahkan masuk, ternyata asistenku. Bayu. Dia memberikan laporan yang aku minta kemarin.
"Maaf, pak. Saya mau mengingatkan bahwa nanti malam ada perjamuan menyambut bapak. Dan sekarang ada rapat."
"Ya."
Dia pergi meninggalkan ruangan. Aku melihat laporan beberapa perusahaan yang akan aku pilih untuk investasi. Perusahaan SRY Group yang terbaik dari yang lain. Aku pergi ke ruang rapat.
Beberapa saat kemudian, setelah rapat selesai kakakku Cintya menelepon.
"Kakak dengar dari ibu, kau akan pergi ke acara itu. Kau tidak akan menemuiku kah malam ini?"
"Aku ke sana sekarang sebentar, mau apa?"
"Apa saja, kakak bosan dengan makanan rumah sakit."
Sudah tiga hari kak Cintya sakit. Karena suaminya sedang dinas keluar kota maka aku yang menemaninya. Aku pun bergegas membeli makanan dan pergi ke rumah sakit. Langit sudah gelap. Sampai di depan ruangan kakak dirawat. Mengetuk pintu terlebih dahulu lalu membukanya.
"Kakak kira kamu tidak akan datang karena sudah malam."
"Aku datang hanya untuk memberikan ini saja. Siapa yang akan menemani kakak sekarang?"
"Tidak ada, kakak tidak apa-apa lagi pula ada perawat di sini. Kamu pergi sendiri?"
"Ya. Paling dengan sekretaris."
"Kenapa enggak ajak Viona bersamamu?"
"Kakak gak usah ikut-ikutan seperti ayah dan ibu deh! Aku pergi sekarang."
"Baiklah, terima kasih makanannya."
Sampai di tempat acara itu. Aku langsung masuk diikuti sekretaris di belakangku. Seluruh tamu menyambutku hingga terlihat ada keributan kecil. Kayla. Aku tidak mungkin salah lihat. Orang yang meninggalkanku tanpa alasan sekarang ada di sini. Tak disangka-sangka.
"Aku akan pergi ke toilet dulu."
"Baik, pak." Jawab Bayu.
Pria paruh baya dan seorang disampingnya menghampiriku. Menyalamiku dan menyebutkan bahwa mereka dari SRY GROUP. Tak lama berbasa-basi aku pergi untuk membuktikan bahwa benar yang dia lihat.
Seorang wanita keluar dari toilet. Menahan langkahku dan langsung menyembunyikan diri. Ketika dia lewat, dengan cepat meraih tangannya lalu mengimpitnya ke dinding serta membungkamnya supaya tidak berteriak.
"Ssstt. Jangan berteriak." kataku sambil melepaskan tanganku.
"Aku harus pergi," katanya sambil mendorongnya pelan.
"Kay, tunggu. Kamu belum menjelaskan apa pun."
"Kita sudah berakhir, Adit."
"Kamu tetap harus menjelaskan."
Tanpa sadar aku menahannya dengan memeluknya dari belakang. Tetapi dia melepaskan tanganku. Melihat punggungnya menjauh lalu menghilang di belokan koridor.
Aku kembali. Mengedarkan pandangan. Ternyata Kayla bersama SRY GROUP. Apakah dia menantunya?
"Bayu, apa SRY Group sudah memiliki menantu?"
"Setahu saya belum, pak."
Tak lama aku dipanggil untuk berpidato. Beberapa menit kemudian aku memutuskan untuk menginvestasikan kepada Viktor Group, yang tidak lain perusahaan saingan SRY Group. Aku memutuskannya atas balas dendam pribadi.
Pagi hari yang sangat menjengkelkan.
"Good mor ..."
"Gue sudah bilang jangan ganggu kalau Gue lagi tidur!" bentakku yang membuat Sherlin gemetar. "Ada apa?"
"A-aku hanya ingin mengajakmu untuk sarapan," katanya dengan menundukkan kepalanya.
Tidak ada yang berani membangunkanku karena tahu bagaimana jika aku marah. Bahkan ketika aku marah tak ada yang berani untuk menatapku.
Pintu pun dibanting menutup hingga menimbulkan suara yang cukup keras.
"Sudah kubilang bukan? Dia akan marah, haha."
Aku mendengar adikku Rena berbicara sepertinya dia sudah diperingatkan. Sungguh menyebalkan. Jarang sekali aku bisa tidur nyenyak. Karena sudah terbangun dan tidak mungkin untuk tidur lagi, aku bersiap untuk pergi ke kantor.
Menuruni tangga melihat Sherlin masih berada di sana. Dia tersenyum lalu melambaikan tangannya. Aku tidak meresponsnya.
"Selamat pagi, Adit. Mari bergabung dan sarapan bersama," kata ibuku sambil tersenyum.
"Siapa yang mengundang dia?" tanyaku sambil menatap tajam Sherlin.
"Ah, tidak. Aku sengaja datang membawa makanan," sahut Sherlin.
"Hari ini mama tidak masakkah?" tanyaku kemudian.
"Mama enggak masak hari ini, kan Sherlin membawa makanan untuk kita. Lagi pula rasanya enak," jelas ibuku.
Aku pun berniat meninggalkan meja makan. Tetapi ayah menyuruhku untuk makan bersama.
"Ayah saja yang makan, aku tidak mau makan semeja dengan orang yang tidak diundang," kataku sambil melihat ke arah Sherlin.
"Aditya! Dia adalah calon istrimu!" bentak ayah.
Aku tidak menghiraukannya. Lalu meninggalkan mereka. Entah harus berapa kali aku harus menjelaskan bahwa aku akan menikah dengan orang yang aku cintai.
Aku datang lebih pagi ke kantor. Meminta asistenku untuk membelikan sarapan. Hingga beberapa saat kemudian dia datang.
"Maaf, pak. Saya membuat bapak menunggu. Tadi ada insiden kecil ketika saya membeli itu," jelas Bayu.
"Oh, ya sudah. Terima kasih. Berapa harganya?"
"Du... eh lima belas ribu, pak."
Aku mengirimkan uang dua ratus ribu padanya. Dia terkejut ketika melihat nominal uang yang aku kirim.
"Ini lebih, pak."
"Itu dengan ongkosnya."
"Terima kasih. Saya kembali ke meja saya."
Aku hanya mengangguk.
***
POV Kayla
Sepertinya makan nasi uduk enak. Sudah lama juga aku tidak makan itu. Aku mencari penjual itu dengan sepedaku. Mendapatkannya. Kedainya sangat ramai. Sudah jelas rasanya pasti enak. Tiba-tiba seseorang dari mobil turun mengenakan pakaian rapi. Pasti orang kantoran.
Tiba bagianku dan itu tinggal satu porsi lagi. Dan pria itu menyelaku.
"Apa masih ada?" tanyanya langsung.
"Tinggal satu porsi lagi, pak," jawab ibu penjual.
"Ini bagianku. Kamu pergi saja cari lagi! Aku yang datang duluan dari pada kamu," gertakku karena sudah menunggu lama menunggu.
"Tapi ini untuk bosku! Kamu saja yang mengalah. Bahkan dia mampu untuk membeli beserta gerobak-gerobaknya," ujarnya.
"Bu, saya beli nasi uduknya dengan harga dua puluh lima ribu!"
"Saya beli tiga puluh ribu"
Aku menatapnya kesal. "Empat puluh ribu!"
"Enam puluh ribu!"
"Delapan puluh ribu!"
"Eh, aduh bagaimana ini harganya hanya lima belas ribu saja kok," kata ibu penjual.
"Saya beli dengan dua ratus ribu nasi uduknya." ucap pria itu.
Untung saja aku masih memiliki otak. Lebih baik mengalah saja dari dia. Jika suatu saat nanti bertemu kembali aku akan membalasnya.
Mengendus kesal lalu pergi dengan sepedaku. Jelas saja ibu itu memilihnya karena dia membayar lebih. Pelelangan yang tidak masuk akal. Akhirnya aku berhenti di tempat penjual bubur langgananku.
"Satu ya, pak. Biasa," kataku memesan.
"Siap, neng."
Makan pun selesai. Aku kembali ke rumah. Membersihkannya sebelum mulai bekerja nanti. Beberapa saat kemudian temanku datang. Aku menceritakan kejadian tadi padanya.
"Haha. Nasi uduk itu memang enak, Kay. Tapi aku ga percaya masa ada orang yang berani melelang nasi uduk. Haha," Vina tertawa mendengar ceritaku.
"Ah, sungguh menyebalkan."
Kami pun melanjutkan pekerjaan. Ketika jam istirahat, Raka seperti biasa membawakan makanan. Aku menceritakan kembali kejadian itu kepadanya. Dia pun tertawa mendengarnya.
"Kamu ada-ada saja, Kay. Haha," kata Raka.
"Iya kan? Padahal masih ada yang lain dari pada berebut itu," kata Vina.
"Tapi aku mau itu, sudah lama aku tidak makan itu," ujarku.
Raka mengacak-acak rambutku karena gemas. Setelah selesai makan, kami kembali ke pekerjaan masing-masing.