webnovel

10. Masuk dalam Jebakan

POV Aditya

Aku senang akhirnya bisa bersama Kayla. Menyiapkan makan untuknya meskipun kini aku belum memiliki penghasilan lagi setelah diusir di sana. Berniat menghampiri Kayla yang sedang bekerja di ruang kerjanya. Di ambang pintu, ponselku berdering. Bertuliskan ayah. Jika tidak ada hal yang penting biasanya tidak akan menelepon. Ada apa ya? Aku pergi menjauhi ruang kerja Kayla yang pintunya selalu terbuka.

"Ada apa, yah?" tanyaku langsung begitu aku angkat teleponnya.

"Pulanglah ke rumah. Ibumu tidak mau makan dan ingin kamu yang menyuapinya."

"Kenapa? Bukankah masih ada Rena? Kenapa juga tidak ayah saja sebagai suaminya yang menyuapinya?"

"Sudahlah jangan banyak omong. Datang saja! Lagi pula ada yang ingin ayah katakan padamu," kata ayah lalu menutup teleponnya.

Kayla menghampiriku. Aku menceritakan kepadanya bahwa aku harus menemui ibuku. Dia sangat ingin menemui ibuku. Terlihat khawatir dari wajahnya. Tetapi aku tidak mengizinkannya karena dia harus menyelesaikan gambarnya. Dia pun menurut dan tidak pergi bersamaku.

Di tengah perjalanan, ponselku berdering. Nomor asing tetapi aku menduganya ini adalah nomor ponsel milik Sherlin.

"Adit tolong aku. Aku tidak bisa menanganinya," ucap Sherlin.

"Ada apa? Jika itu tidak ada kaitannya denganku jangan hubungi aku paham?"

"Adikmu! Ya, Rena. Dia sedang minum dan mabuk berat sekarang. Di sini ada pria yang mengganggu kami. Cepat datang. Rena sudah tidak sadarkan diri karena banyak minum."

"Aku tidak akan tertipu dengan tipuanmu."

"Ah, tidak. Jangan sentuh dia!" teriak Sherlin. "Di kafe dekat hotel CX, cepat!"

"Menghubungi siapa kau?" ucap seorang pria lalu telepon pun terputus.

Aku mencoba menelepon Rena beberapa kali. Benar saja, aku tidak bisa menghubungi Rena saat ini. Aku menghubungi ibu terlebih dahulu.

"Ibu, apa ibu tidak apa-apa?" sahutku.

"Ibu tidak apa-apa. Tapi kata ayahmu dia ingin berbicara denganmu," kata ibu.

"Rena di mana, bu?"

"Tadi dia bilang dia ada pertemuan penting dengan klien tapi tidak tahu di mana tempatnya."

"Aku akan datang terlambat, bu."

Tidak ada pilihan lain selain melihatnya sendiri. Aku tidak ingin adikku satu-satunya berada dalam bahaya. Aku kembali mengenakan helm lalu bergegas menuju lokasi yang diberitahu oleh Sherlin tadi.

Tiba tempat tersebu. Aku langsung datang ke kafe itu. Aku menanyakan kepada pegawai sana. Dia mengatakan bahwa dia mendengar wanita itu di bawa ke hotel. Aku pun menunjukkan foto Rena dan dia mengatakan kebenarannya. Aku langsung pergi ke hotel dan menanyakan kembali kebenarannya.

"Selamat siang, selamat satang di hotel kami," sapa resepsionis.

"Mbak, saya mau menanyakan apakah tadi ada orang yang membawa perempuan ini ke sini?" tanyaku sambil menunjukkan foto Rena.

"Saya tidak tahu pak, maaf. Soalnya banyak orang keluar masuk, saya tidak begitu memperhatikannya," jawabnya dengan begitu sopan.

Tiba-tiba seseorang office boy menghampiriku. Dan meminta izin untuk melihat fotonya. Aku menunjukkan kepadanya.

"Saya tahu orang ini, tapi bapak siapanya ya?" tanya office boy itu.

"Kakaknya. Cepat beri tahu! Dia dalam bahaya sekarang. Aku harus menolongnya."

Dia pun mengantarkan saya sampai depan pintu salah satu kamar hotel ini. Dia pun pergi setelah mengantar saya karena ada pekerjaan lain. Aku membuka pintunya. Tidak di kunci. Aku pun masuk memeriksa kamarnya. Seseorang dari belakang membekamku dan ada bius di saputangan itu. Aku pun tak sadarkan diri.

Aku merasakan sensasi luar biasa, seolah aku sedang berhubungan dengan istriku. Mataku terbelalak melihat wanita yang ada di hadapanku sekarang. Aku langsung mendorongnya.

"Pel*kor! Beraninya kau menipuku bangs*t!" bentakku.

Aku begitu marah. Entah apa saja yang telah dia lakukan padaku. Aku tidak tahu bagaimana jika istriku melihat ini. Aku menamparnya dengan keras hingga berdarah diujung bibirnya. Sherlin hanya menyeringai.

"Tubuhmu begitu menggoda, aku ingin menikmatinya. Bukankah permainanku lebih menyenangkan dari pada istrimu? Oh, dia pasti sering melakukannya dengan orang lain jadi dia punya pengalaman lebih? Bagaimana permainannya di ranjang? Tidak sepanas diriku kan?" celotehnya yang membuat emosiku semakin naik.

"Persetan dengan itu! Diam kamu!"

Aku mencekiknya. "Cukup kali ini aku ceroboh. Aku akan membalasmu nanti."

Setelah merapikan pakaianku, aku pergi ke tempat parkir. Hari sudah gelap. Aku membuka ponselku. Ternyata sudah jam sebelas malam. Aku hanya memohon berharap tidak aku tidak memberikan benih di rahim Sherlin. Aku datang ke rumah ayah terlebih dahulu memastikan semua aman.

"Kakak ada apa denganmu? Kenapa kakak tampak kacau?" tanya Rena begitu membuka pintu.

"Ke mana kamu tadi siang?"

"Aku tadi bertemu klien baru. Di kafe BM yang dekat dengan hotel itu, kakak tahukan tempatnya? Kenapa memangnya?"

"Ada yang mengawasi pergerakanmu. Kamu harus tetap waspada. Kalau kamu berada dalam bahaya aku tidak akan datang jika bukan kamu yang meneleponku."

"Kakak jangan bilang kak Sherlin si pel*kor itu sudah menjebak kakak?"

"Hem. Makanya aku minta kamu untuk tetap waspada. Oh ya, bagaimana kondisi ibu? Ayah bilang ibu tidak ingin makan jika aku tidak datang."

"Ibu tadi makan bersamaku. Ah ya, kak. Tadi kak Kay ada menelepon. Dia menanyakanmu. Lebih baik kakak pulang saja sekarang. Aku khawatir telah terjadi sesuatu dengannya."

Setelah memastikan sendiri keluargaku aman, aku kembali menuju rumah Kayla. Sayangnya, di tengah perjalanan roda motor kempis. Terpaksa aku mendorongnya. Karena jalanan pun sudah sepi. Aku tidak bisa meminta bantuan Bayu karena pasti dia sedang beristirahat. Aku bingung meminta bantuan kepada siapa. Jalanan juga sudah sepi. Terpaksa aku mendorongnya.

Setelah sekian lama berjalan sampai juga di rumah Kayla. Aku mengetuk pintunya. Mencoba meneleponnya berkali-kali. Hingga dia menerima teleponku. Sungguh aku sangat menyesal tidak mengajaknya tadi. Mungkin jika aku tadi mengajaknya ini tidak akan terjadi. Dia pun membuka pintunya. Begitu hancur ketika aku melihat wajahnya yang sembab karena menangis. Aku pun memeluknya. Mengarahkan pandangannya untuk menatapku. Begitu kecewa terlihat di matanya. Dia pergi berlari kecil meninggalkanku. Pintu kamar pun di tutup kembali. Aku menutup pintu rumah lalu menghampiri kamar. Menyenderkan tubuhku di pintu itu.

"Maaf Kay, aku begitu ceroboh hingga melukai perasaanmu. Aku dijebak. Maaf. Maafkan aku," kataku berusaha menjelaskan meskipun dia tidak mendengarnya.

"Kamu bohong! Untuk apa kita menikah kalau kamu tidur juga dengan wanita lain, menemui wanita lain dengan alasan keluargamu. Aku benci kamu!" teriak Kayla yang diiringi dengan tangisan.

"Kayla, sungguh aku sangat menyesal."

Aku hanya bisa mendengar isak tangisnya. Aku tidak bisa melakukan apa pun sekarang. Aku merasa sangat gagal menjadi seorang pria. Aku merasa sangat gagal menjadi seorang pria. Aku tidak menyangka akan membuat orang yang aku cintai terluka begitu hebat dan itu penyebabnya adalah aku.

"Kamu bisa menghukumku, Kay. Tapi ku mohon berhenti menangis," ucapku kemudian.

"Aku tidak mau melihatmu setelah matahari terbit," sahutnya. "Aku benci kau, aku benci kau Adit," dia menangis kembali.

"Pukuli saja aku atau apakan saja aku, aku tidak mau jauh darimu lagi."

"Kita memang tidak bisa bersama Adit, tidak bisa."

"Jangan berbicara seperti itu, Kay. Aku membutuhkanmu."