webnovel

Semakin Kritis

Bab 17 - Semakin Kritis

Mas Azzam menatapku dengan tajam. Kupikir Umami yang menyentuh bahuku tadi, tapi ternyata Mas Azzam yang baru saja tiba. 

"Kok, udah sampai di sini aja. Bukannya tadi bilang belum bisa datang karena gak dapat izin dari kantor?" tanyaku mengalihkan perhatiannya. 

"Kamu lupa siapa yang punya kantor?" Mas Azzam malah balik bertanya juga.

Aku lupa kalau kantor tempat Mas Azzam bekerja itu milik Om Bayu, adik papanya Mas Azzam. Tentu saja Om Bayu akan mengizinkan keponakannya libur, apa lagi kalau Mas Azzam bilang yang sakit adalah mertuanya.

"Neti kirim salam, katanya semoga Mama cepat sembuh," sambung Mas Azzam. 

"Aamiin," ucapku senang. 

Kak Neti tak melupakan aku, padahal aku belum pernah menghubunginya setelah sampai di sini. Semuanya terjadi begitu cepat, penyakit Mama kambuh karena mendengar masalahku dan Mas Azzam.

"Kak Winda, apa kabarnya. Kenapa dia gak Mas bawa ke sini. Bukannya orang tua Mas sudah abu tentang dia?" tanyaku lagi. 

"Oh, ya! Siapa Umam yang kamu sebut tadi?" ulang Mas Azzam. 

Rupanya dia belum melupakan pertanyaannya tadi. 

"Dia ...." 

"Saya Dokter Umam, ada yang bisa saya bantu?" ucapanku terpotong karena kedatangan Umami. Dia memperkenalkan diri pada Mas Azzam. 

"Oh, saya Azzam. Suaminya Clara," sahut Mas Azzam sambil melirikku.

"Hmm, jadi Anda suaminya Clara. Salam kenal kalau begitu," ucap Umami kembali.

"Dokter Umam? Bukannya Dokter Abdi yang biasa menangani Mama, Ra?" tanya Mas Azzam sambil mendekat padaku. 

Tiba-tiba tanpa kuduga, tangannya melingkar di bahuku. Aku menoleh padanya dengan kaget, Mas Azzam malah tersenyum sambil mengedipkan sebelah matanya padaku. 

Aku melengos lalu berusaha melepaskan rangkulannya. Namun, Mas Azzam tak memberi kesempatan aku untuk menjauh darinya. 

"Mas, Aku mau ke toilet dulu. Kalian berbincang lah berdua. Sebentar lagi Papa juga datang," ujarku.

Mau tak mau, Mas Azzam menurunkan tangannya dari bahuku. Aku pun bergegas pergi ke toilet. Berada di antara dua orang yang aku sudah tak ingin temui lagi, membuatku sakit perut. 

Aku sengaja berlama-lama di dalam toilet. Lebih baik aku di sini dari pada harus menghadapi dua orang itu. 

Jujur sebenarnya aku merasa sedikit senang saat melihat wajah Umami tadi. Aku masih merasakan debaran halus di dadaku. Namun, saat mengingat penolakan mamanya dulu membuatku mengusir debar halus itu dari dadaku. 

Setelah sekitar setengah jam aku bersembunyi di toilet, aku pun keluar sambil berharap mereka sudah pergi. Namun, ternyata harapanku hanya terkabul setengahnya saja. 

Aku sudah tak melihat sosok Umami lagi, tapi Mas Azzam masih ada. Dia sedang asyik mengobrol dengan papaku.

Melangkah dengan malas aku mendekati mereka. Mas Azzam tersenyum begitu melihat kedatanganku. Kulihat Papa sekilas, tampaknya dia tak mau ikut campur urusan kami. 

Buktinya Papa malah pamit masuk ke ruang IGD. Tak ada pilihan lain, terpaksa aku menjatuhkan tubuhku di kursi bekas Papa duduki tadi. 

"Kamu dari mana, Ra. Mengapa lama sekali ke toilet saja?" tanya Mas Azzam. 

"Mules," jawabku singkat. 

"Hmm, kamu gak suka dengan kedatanganku, ya, Ra. Maafkan aku, ya. Aku menyesal telah membohongi kamu selama ini, tapi aku serius ingin terus bersama kami, Ra. Aku gak cinta dengan Winda. Setelah dia melahirkan, aku akan ...." 

Dengan kesal aku memotong kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut Mas Azzam. 

"Stop! Cukup, Mas. Jangan buat aku semakin pusing. Kamu gak lihat di dalam sana, Mama aku sedang sakit karena aku, karena masalah kita. Semua itu karena kamu gak jujur. Terus, aku harus memaafkan kamu dan harus kembali hidup sama kamu? Kamu tahu kalau aku itu terpaksa menikah karena Mama!" 

Aku berbicara tanpa berhenti, sampai rasanya hampir kehabisan napas. Mas Azzam tak berani menatapku, dia hanya menundukkan wajahnya. 

Kelihatan Papa sedang berdiri mengamati dari pintu ruang IGD, aku kaget karena ada Umami di sampingnya. Pasti dia ikut mendengar semuanya sejak tadi. 

Umami menatapku dengan pandangan yang aku tak tahu apa artinya. Aku merasa kesal dengan semua ini. Dengan perasaan marah, aku mengambil tas yang terletak di kursi lalu menoleh pada Mas Azzam. 

"Kalau sampai mamaku kenapa-kenapa, aku takkan pernah memaafkan kamu, Mas!" 

Selesai berkata, aku pun pamit pulang pada Papa. Tak kuhiraukan Umami yang berdiri di samping Papa. 

Aku harus pulang untuk meredam emosi yang sedang kurasakan. Sebelum ada hati yang tersakiti karena kata-kataku. 

Sesampainya di rumah aku mencoba untuk beristirahat. Rasa kantuk segera membuatku cepat terlelap. 

Entah berapa lama aku tertidur, saat terbangun lampu di kamarku sudah hidup. Jendela kamar juga sudah ditutup, sepertinya hari sudah  malam. Pasti si Bibi yang menutup jendela dan menghidupkan lampu di kamarku. 

Aku pun keluar kamar, rasa lapar mendadak menyerang perutku. Bergegas aku menuju ke ruang makan. 

Tak ada siapapun di sana, tapi di meja makan sudah terhidang makan malam. Sepertinya si Bibi sengaja menyiapkannya untukku. Tanpa menunggu lama, langsung saja kulahap makanan di meja sampai perutku terasa kenyang. 

Setelah itu, aku menghubungi Papa.

"Assalamualaikum, Papa udah makan malam belum?" tanyaku.

"Waalaikumsalam, sudah, Ra. Tadi dibelikan sama Azzam. Kamu baru bangun?" 

"Iya, Pa. Kok, Papa tahu kalau aku tidur?" 

"Tadi Papa telepon ke rumah, kata si Bibi kamu masih tidur. Kamu gak ke sini lagi, Ra?" 

"Apa ... Mas Azzam masih ada di situ, Pa? Aku malas ketemu dia," jawabku.

"Dia sudah pulang ke rumah orang tuanya. Papa yang suruh dia agar tak mengganggu kamu dulu. Itu yang kamu mau, kan?"

Aku mengangguk, kemudian sadar kalau Papa tak bisa melihatnya. 

"Iya, Pa. Terima kasih, ya, Pa. Sudah mau mengerti keadaanku."

Papa yang sekarang berbeda dengan yang dulu. Jika dulu beliau sangat egois dan tak mau dibantah, sekarang Papa sudah berubah lebih lembut dan bijak menghadapi anaknya.

"Papa menyesal dulu selalu memaksakan kehendak pada kamu dan Cleo. Maafkan Papa, ya!" Suara Papa terdengar serak dan lemah. 

"Tidak, Pa. Aku yakin itu semua karena Papa sayang sama kami. Oh, iya, Pa. Apa Dokter Umam masih ada di situ juga?" tanyaku saat teringat pada Umami.

"Tidak, dia sudah pulang. Jadwal tugasnya sudah selesai. Kamu jadi ke sini, kan. Kalau jadi, tolong bawakan sarung sama peci Papa, ya. Tadi buru-buru malah lupa membawanya."

"Iya, Pa. Nanti Clara bawakan. Sudah dulu, ya, Pa. Assalamualaikum." 

Aku menutup ponselku setelah Papa membalas salam. Lalu bersiap pergi ke rumah sakit. Tak lupa kuambil pesanan Papa dari kamarnya. 

"Non mau ke rumah sakit? Apa sudah makan malam?" 

Aku mengangguk pada si Bibi yang baru keluar dari kamarnya dengan masih mengenakan mukena. Rupanya dia baru saja selesai salat. 

Aku baru ingat belum mengerjakan kewajibanku juga. Langsung saja aku ke kamar mandi untuk berwudhu. Kemudian masuk ke kamar untuk menunaikan salat Magrib yang hampir saja terlewat. 

***

"Bagaimana keadaan Mama, Pa?" tanyaku pada Papa. 

Aku baru saja sampai bersama Cleo. Kebetulan saat aku hendak pergi tadi, dia baru saja tiba di rumah. 

Katanya dia aada tugas kuliah yang gak bisa ditinggalkan. Jadi baru pulang saat Magrib sudah lewat. 

Ternyata Mama sudah dipindahkan ke ruang ICU karena keadaannya masih memerlukan perawatan yang lebih intensif.

"Masih seperti tadi, besok Dokter Abdi sudah kembali. Jadi kita bisa bertanya padanya besok," jawab Papa sambil tersenyum. 

Tangannya mengelus rambut Cleo yang duduk sambil bersandar padanya. 

"Hmm, tadi Dokter Umam banyak bercerita pada Papa. Dia sudah menceritakan kisah kalian di masa lalu. Katanya dia ingin memperbaiki hubungan kalian, Ra," sambung Papa dengan berita yang mengejutkanku. 

"Clara gak berminat, Pa. Clara masih sakit hati dengan ucapan mamanya!" jawabku. 

"Siapa Dokter Umam, Pa?" tanya Cleo. 

"Anak kecil diam aja, deh!" tukasku. 

"Enak aja, siapa yang anak kecil. Aku udah mau lulus kuliah, lho, Mbak!" protes Cleo. 

"Tetap aja, kamu itu masih kecil," sahutku berniat meledeknya. 

Sudah lama rasanya kami tidak bercanda seperti ini. Aku kangen dengan masa-masa di mana aku dan Cleo masih tinggal bersama. 

Cleo sering sekali menangis karena kejahilanku dan Papa akan selalu membelanya. 

"Papa, lihat Mbak Clara. Masa aku dibilang masih kecil," rajuknya sambil memeluk Papa yang tertawa melihat interaksi kami berdua. 

"Nah, begitu itu gak mau dibilang masih kecil. Apa-apa masih suka merajuk terus mengadu," godaku lagi. 

Aku suka menggoda Cleo yang masih suka bermanja-manja pada Papa. Namun, kesenangan yang kurasakan tak berlangsung lama. 

Suster yang berlari ke luar kamar dengan tergopoh membuat kami bertiga terdiam. Pasti terjadi sesuatu pada Mama. 

Tak lama suster itu masuk kembali bersama dokter jaga. Kami yang hendak ikut masuk dilarang oleh suster lainnya. Akhirnya kami bertiga hanya bisa melihat dari jendela kaca yang kainnya tersingkap. 

Tampak dokter tersebut, memeriksa Mama. Aku tak tahu apa yang terjadi, tapi aku terus berdoa agar Malam segera diberi kesembuhan oleh Allah SWT. 

Waktu berjalan begitu lambat, kami menunggu dengan was-was. Tak lama kemudian, Dokter Umami datang dengan wajah cemas. 

Dia melirikku sekilas sebelum masuk ke ruang ICU. 

"Mama, bertahanlah!" Aku hanya bisa berharap dalam hati.

Bersambung.