webnovel

Pisah Rumah

Bab 8 - Pisah Rumah

Suasana masih hening sejak tadi, aku belum menjawab pertanyaan dari Kak Neti. Apa yang harus aku khatakan?

Kak Neti tersenyum melihatku salah tingkah, dia menggenggam tanganku dengan erat. Aku bisa merasakan kalau Kak Neti tak bermaksud jahat padaku.

"Sudah aku duganya sejak melihatmu datang minggu lalu. Aku sudah tebak kalau kau itu bukan adiknya Mas Azzam," ucapnya lembut.

Aku tertunduk malu, ternyata kebohonganku sudah terbongkar. Sekarang hanya tinggal menunggu waktu sampai semua warga di sini tahu. 

"Gak usah kau takut, Dek. Kakak bukan ember bocornya. Bisanya kakak jaga rahasia, tenang aja kau!" ucapnya lagi.

Aku mengangkat wajah dengan senyum lega. 

"Terima kasih, Kak. Aku gak tahu bagaimana jadinya kalau sampai Kakak menceritakan hal ini ke semua orang."

"Kekmana rupanya awalnya. Kok bisa pula Kelen menikah tanpa cinta?" 

Kak Neti menatapku dengan penasaran, aku pun menceritakan awal mulanya sampai aku dan Mas Azzam menikah. Kak Neti memberiku semangat, katanya aku harus merebut hati Mas Azzam dari kak Winda. 

Dia memberiku tips, bagaimana caranya memikat hati suami. Aku sungguh bersyukur bisa bertemu dengan orang baik seperti Kak Neti. 

Kami masih terus berbincang sampai tiba-tiba terdengar teriakan Kak Winda dari teras rumahnya. 

"Clara, hebat kali kau, ya! Dari pagi buta udah bertandang ke rumah orang. Balek kau sekarang!" 

Kak Neti tertawa melihat kemarahan Kak Winda padaku. 

"Pulang dulu lah kau, Dek. Kau jinakkan dulu dia, baru nanti balek lagi ke sini!" suruh Kak Neti padaku.

"Iya, kak. Pamit dulu, ya. Assalamualaikum," salamku lalu bergegas pulang setelah Kak Neti menjawab salamku.

Kak Winda masih berdiri di teras sambil berkacak pinggang saat aku tiba di rumah, wajahnya kelihatan sedang marah besar padaku. Namun, dengan santai aku masuk ke dalam rumah tanpa menghiraukan pelototan matanya. 

"Bagus kali kau, ya. Kau pikir rumah ini punya nenek moyang kau. Jadi seenaknya mau jadi ratu di sini! Menggosip seharian di luar sana. Bagusan kau cuci itu pakaian, sudah segunung begitu gak kau cuci juga," omelnya lagi setelah ikut masuk ke dalam rumah menyusulku.

"Apa, Kak?! Cuci pakaian? Gak salah dengar aku? Aku udah bilang kemarin, kalau aku bukan pembantu di rumah ini. Pakaianku sudah aku cuci sambil mandi tadi. Pakaian kalian, kakak cucilah sendiri!" jawabku dengan cuek. 

Enak saja dia menyuruhku mencuci pakaian mereka. 

"Hah, apa? Mas Azzam sudah menyuruh kau membantu aku, kan? Sekarang, kau tolonglah aku. Jangan sampai perutku sakit lagi kayak tadi malam!"

"Hmm, mulanya aku kasihan sama kakak. Kupikir aku sudah salah menikah dengan Mas Azzam yang ternyata sudah beristri. Kukira kakak wanita baik-baik dan bisa mengurus suami. Namun, ternyata aku salah. Jadi mulai sekarang, aku akan mulai menuntut hakku sebagai istri Mas Azzam. Kakak lihat saja! Aku akan membuat Mas Azzam mencampakkan Kakak nanti!" 

Kak Winda tertawa terbahak mendengar ucapanku. 

"Jangan mimpi kau bisa merebut Mas Azzam dari tanganku. Gak akan kubiarkan!" ucapnya dengan sombong.

"Oke! Kita lihat saja nanti! Biar kakak tahu, ya, walaupun aku tak cinta pada Mas Azzam suami kita itu. Namun, sekarang aku kasihan sama dia jika terus punya istri macam kakak. Aku akan buat dia menyukaiku, ingat itu!" 

Aku masuk ke dalam kamar sambil memikirkan langkah selanjutnya. Kak Winda tidak bisa dibiarkan, rasa kasihan pada Mas Azzam membuatku berubah haluan. 

Mulai sekarang, aku akan buat Mas Azzam nyaman berada di dekatku.

Sore harinya saat Mas Azzam pulang dari kantor, Kak Winda langsung mendekatinya dan tak mau beranjak sedikitpun dari Mas Azzam.

Rupanya dia takut juga dengan ancamanku, hingga dia tak mau memberi aku kesempatan mendekati Mas Azzam.

Aku tak peduli, bukan Clara namanya jika tak bisa melaksanakan rencananya. 

"Mas, aku mau bicara!" ucapku dengan tegas.

Mas Azzam yang sedang memijat kaki Kak Winda di kursi menoleh padaku. 

"Ada apa, Ra? Sepertinya penting. Duduklah!" kata Mas Azzam tanpa peduli protes dari Kak Winda.

Aku tersenyum mengejek Kak Winda,  kemudian ikut duduk di sampingnya. 

"Mas, aku mau Mas mencarikan aku kontrakan baru! Aku tak bisa tinggal di rumah ini lagi!" 

"Hey, enak kali kau bilang minta pindah kontrakan baru. Kau pikir kau siapa?" tanya Kak Winda dengan marah.

"Kakak lupa, ya? Aku ini istri Mas Azzam, istri yang direstui keluarga. Sementara Kakak? Jadi lebih baik kakak diam aja dulu, gak usah banyak cakap!" tukasku mengikuti gaya bicaranya. 

Kak Winda hendak membalas perkataanku, tapi Mas Azzam melerainya.

"Sudah, Win! Kamu diam dulu! Hmm, bagaimana maksud kamu, Clara. Kamu gak mau tinggal di sini?" tanya Mas Azzam dengan sabar.

Aku menjawab tidak dan memberikan alasannya. Aku katakan bagaimana nanti jika tiba-tiba keluargaku atau keluarga Mas Azzam hendak datang berkunjung. 

Mereka bisa curiga melihat ada wanita lain di rumah kami. Mas Azzam tampaknya mulai paham dengan maksudku. Dia mengangguk berkali-kali sambil menatapku dengan bibir tersenyum. 

"Mas, aku gak setuju. Mana cukup gaji kau kalau ditambah membayar kontrakan dia lagi!" protes kak Winda.

Mas Azzam memandangku dan Kak Winda bergantian. Sepertinya dia sedang bingung untuk memberi keputusan. 

"Kalau Mas bingung, begini saja. Aku pulang ke rumah orang tuaku lagi. Mas bisa katakan kalau aku tidak betah, atau tidak becus jadi istri. Jadi Mas menceraikan aku," saranku membuat Mas Azzam kaget.

Kak Winda tersenyum senang, kepalanya berulang kali mengangguk sambil menggenggam tangan Mas Azzam.

"Bagaimana, Mas? Sepertinya itu jalan yang terbaik bagi kita. Mama dan papaku pasti mengerti kalau Mas yang bicara," sambungku lagi.

Mas Azzam melepaskan tangannya dari genggaman Kak Winda. Kemudian mendekatiku, matanya menatapku begitu lekat. 

Tatapannya seolah mengunciku lalu menyeretku ke kedalaman hati dan membuat dadaku berdebar. Aku merasakan sesuatu, rasa yang aku tak tahu apa namanya. 

"Mas tidak akan pernah menceraikan kamu, Ra. Kedua belah pihak orang tua kita akan merasa kecewa. Mas akan menuruti permintaan kamu yang pertama. Kita akan cari kontrakan buat kamu, tapi jangan terlalu jauh dari sini, ya!' ucap Mas Azzam masih dengan menatapku dengan lekat seperti tadi.

Aku tersenyum lalu tanpa sadar memeluknya. 

"Terima kasih, Mas. Besok aku akan minta tolong Kak Neti mencarikan kontrakan di sekitar sini," ucapku senang.

"Lakukan apapun yang membuatmu senang!" 

"Mas! Kau gak adil. Aku gak suka, ya!" teriak Kak Winda.

Mungkin dia marah karena merasa tak dipedulikan. Namun dengan santai Mas Azzam mengajaknya ke dalam kamar.

Aku masih bisa mendengar suara Mas Azzam yang berkata pada Kak Winda. 

"Jika kamu tak suka, mengapa tak pergi saja dari sini?" 

Wow! Apa itu, Mas Azzam mengusir Kak Winda. Apa dia melakukannya demi aku? Tidak, itu tidak mungkin. Bisa saja itu taktik Mas Azzam agar aku senang.

Mas Azzam tak mau menceraikan aku karena papanya akan mencoret dia dari daftar warisan keluarga. Aku tahu kalau itulah makanya Mas Azzam mau menikahiku. 

Harta, tahta, kenapa manusia bisa berubah sifatnya karena kesenangan dunia saja. Sementara aku merasa tak berdaya untuk menolak semua sandiwara ini. 

Kesehatan mamaku lebih penting diatasnya segalanya. Demi beliau, aku harus bertahan di sini. 

*

Keesokan harinya, aku menemui Kak Neti dan meminta tolong ditemani mencari kontrakan di sekitar rumah Mas Azza. 

Kebetulan sekali, rumah di sebelah kak Neti sudah lama kosong. Pemiliknya tinggal bersama anaknya di kota lain. Katanya pernah dikontrakkan tapi pengontraknya kabur karena sudah menunggak selama tiga bulan.

"Kekmana, Dek. Cocok kau rasa rumah ini?" tanya Kak Neti padaku. 

Kami melihat-lihat keadaan di dalam rumah itu. Walau sudah lama kosong, rumah ini masih bersih dan rapi karena selalu dibersihkan oleh saudara pemilik rumah yang tinggal tak jauh dari rumah itu.

"Bagus, Kak. Aku suka, hari ini juga aku akan pindah ke sini!" sahutku. 

"Baguslah kalau begitu, jadi kau tak bisa mengganggu kehidupan kami lagi!" sela Kak Winda. 

Aku menoleh ke belakang, entah kapan dia datangnya tiba-tiba saja sudah berdiri dengan angkuhnya di depan pintu. 

"Aku masih tetap akan menganggu kehidupan kalian, karena Mas Azzam itu juga suami aku. Dia harus adil pada kita berdua!" ucapku sambil tersenyum.

"Adil kau bilang? Enak kali kau cakap kayak gitu.  Kau itu cuma pelakor, kau dengar itu! Pelakor!" 

Bersambung.