webnovel

Mama Mertua Curiga

Bab 11 - Mama Mertua Curiga

Aku, Mas Azzam, Kak Neti, dan tentu saja Kak Winda kaget mendengar celetukan Mama mertuaku. Beliau berkata pernah melihat wajah Kak Winda, tapi di mana? 

Apa Mas Azzam pernah mengirim foto kak Winda dulu? Bisa jadi seperti itu. 

"Mama ngomong apa, sih? Mungkin Mama salah lihat," sahut Mas Azzam. Dia mengusir Kak Winda dengan sorot matanya. 

Bukannya pergi, Kak Winda malah mendekat pada mertuaku. Dia tersenyum kemudian memeluk mertuaku dengan erat. 

Tentu saja kelakuannya itu membuat Mama mertuaku heran. Kak Winda melepaskan pelukannya lalu beranjak pergi menuju ke rumahnya.

Mas Azzam kelihatan menarik napasnya sambil melihat padaku. 

"Mama gak mungkin salah. Mama pernah lihat wajahnya, tapi di mana, ya? Uh, kenapa aku jadi gampang lupa sekarang," keluh mama mertuaku.

"Sudahlah, Mbak! Nanti saja mengingatnya. Sekarang kita masuk dulu, bukannya tadi bilangnya udah lapar?" sela mamaku. 

Mama mertua mengangguk, tapi matanya masih melihat kepada kak Winda yang sudah sampai di depan rumahnya. 

Kak Neti juga ikutan pamit, dia pulang ke rumah setelah berbisik padaku. 

"Kau selamat kali ini, Dek. Hati-hati sama si Winda itu!" bisiknya sebelum berlalu.

Hatiku sedikit takut juga mendengar peringatan kak Neti tadi. Kak Winda memang gak bisa diprediksi kelakuannya. Namun, yang penting sekarang dia sudah pulang dan Mama mertua tak bertanya lagi soal kak Winda.

Sambil tersenyum lega aku mengajak kedua mamaku itu masuk. Demikian juga dengan kedua papaku, mereka menyusul di belakang tanpa berkomentar. 

Rumahku yang biasanya sepi mendadak ramai oleh suara celotehan dan gelak tawa dari kedua orang tuaku dan juga mertua.

Mama mertua memuji masakanku. Setelah makan, beliau dengan ditemani mamaku berkeliling melihat keadaan rumahku. Lagi-lagi dia memuniku sebagai istri yang pintar dan bisa merawat rumah. 

"Rumah kalian bersih dan rapi, Ra. Gak sia-sia Mama kirim kamu uang. Kamu pintar memilih barang untuk dibeli," pujinya terus membuat telingaku rasanya semakin melebar. 

Tak terbayang jika Mama mertua melihat keadaan rumah kak Winda--menantu rahasianya--di depan rumahku. Bisa dipastikan dia bakal mengomel seharian penuh pada kak Winda yang jorok dan pemalas itu. 

"Tentu saja Clara rajin dan cekatan, Mbak. Dia dan Cleo sejak kecil sudah aku didik agar bisa menjadi wanita yang pintar mengurus rumah tangga dan suami," beritahu mamaku dengan bangga.

Memang begitu adanya, sejak kecil Mama selain belajar di sekolah, Mama selalu mengajarkan pada kami bagaimana caranya memasak, membersihkan rumah dan berbagai tugas rumah tangga yang lainnya.

"Iya, saya tahu itu. Makanya saya ngebet menjodohkan Azzam dengan Clara," sahut mama mertua sembari melirikku sambil tersenyum.

"Bagaimana Clara, Azzam? Apa kami sudah bisa menerima kabar baik dari kalian?"

Kali ini Papa mertua yang bertanya padaku dan Mas Azzam.

"Kabar baik? Kabar kami, kan, baik-baik saja, Pa?" tanyaku heran.

Mereka malah tertawa terbahak sambil menggeleng mendengar pertanyaanku. Sementara Mas Azzam hanya tersenyum tipis, dia menatapku penuh arti. 

"Apa maksudnya, sih, Mas?" tanyaku lagi karena mereka tak ada yang menjawab.

"Beritahu dia, Zam!" suruh Papa mertua. 

"Mereka ingin mendengar kabar kalau kamu itu sudah hamil, Ra," bisik Mas Azzam di telingaku.

Hembusan napas Mas Azzam di telingaku membuat bulu kudukku berdiri. Apalagi kata hamil yang diucapkan Mas Azzam tadi membuat hatiku semakin resah. 

Hamil? Maksudnya mereka mengharapkan anak dariku. Itu berarti aku dan Mas Azzam harus ... hiii!

---

Istri Rahasia Suamiku

Bab 22

Detak jarum jam yang terus berbunyi setiap detik di dinding kamar membuat mataku terus terjaga. Sudah lewat tengah malam, tapi rasa kantukku belum juga kunjung datang. 

Kata-kata Papa mertuaku tadi kembali terngiang. Mereka menginginkan anak dari kami. Bagaimana mungkin? Sementara aku dan Mas Azzam tak mungkin melakukan hal itu. 

Aku tak sudi karena Mas Azzam sudah mempunyai seorang istri. Yah, tapi sebentar lagi keinginan orang tua Mas Azzam akan terkabul. Kak Winda sedang hamil, dan mau tak mau itu juga cucu mereka.

Suatu saat nanti mereka harus menerima kenyataan itu. Sementara aku? Apa yang harus aku katakan pada Mama dan papaku nanti. Aku takut Mama syok lalu kesehatannya terganggu seperti dulu. 

"Kamu belum tidur?" tanya Mas Azzam mengangetkanku.

"Ini baru terbangun, Mas. Haus," jawabku berbohong. 

Aku pun duduk, lalu meminum air yang tersedia di nakas samping tempat tidurku. Kemudian berbaring kembali, kucoba menutup mata agar rasa kantukku segera datang. 

"Kamu gak bisa tidur, Clara. Sama, aku juga," bisik Mas Azzam. 

 "Kenapa gak bisa tidur? Kangen sama Kak Winda? Mas bisa pergi ke sana diam-diam. Mama sama Papa juga pasti sudah tidur," usulku padanya. 

"Tidak, aku bukan rindu padanya. Hmm, bagaimana pendapatmu atas permintaan Papa tadi?" 

"Memberi mereka cucu? Bukankah sebentar lagi Mas akan memberi mereka cucu?" tanyaku.

"Iya, memang benar. Akan tetapi ... itu bukan cucu yang diinginkannya bukan mereka. Mama sama Papa maunya cucu dari kamu, Ra."

"Maaf, Mas. Aku belum bisa mengabulkan keinginan mereka. Aku belum siap, aku masih bingung dengan pernikahan kita ini," tolakku.

Mas Azzam terdiam, mungkin dia masih mencerna semua ucapanku tadi. 

"Mas gak jadi ke tempat Kak Winda, ayo pergi saja. Nanti sebelum Subuh, Mas kembali lagi ke sini!" suruhku lagi.

Mas Azzam menatapku dengan tajam, kemudian menggeleng lalu berbalik membelakangiku. Sepertinya dia marah padaku, tapi kenapa dia harus marah? 

Bukankah usulanku itu sangat baik? Dia bisa kembali diam-diam ke kediaman Kak Winda. Nanti dia bisa kembali lagi sebelum orang tua kami bangun. 

Mas Azzam aneh, diberi usul yang bagus malah marah. Ya, sudahlah! 

Aku pun mengambil posisi membelakangi Mas Azzam. Posisi kami sekarang saling memunggungi. 

Kucoba memejamkan mata kembali, dan akhirnya ras kantuk itu datang juga. Tanpa sadar aku pun tertidur dengan pulasnya. 

*

Keesokan harinya, aku sudah selesai memasak untuk sarapan kami tepat saat jam berdentang enam kali. 

Masih sangat pagi, aku mulai memasak setelah selesai salat Subuh tadi. Dari pada aku bengong di kamar, kupikir lebih baik aku masak saja. 

"Ya, ampun, Clara! Kamu rajin banget, jam segini udah selesai masak. Pantas saja dari tadi Mama mencium aroma masakan, rupanya kamu yang sedang bekerja di dapur," ucap Mama mertua dengan senyum mengembang. 

Beliau baru saja ke luar dari kamarn disusul oleh Papa mertua di belakangnya. Tak lama mamaku juga ke luar bersama Papa. 

"Iya, Ma. Biar kita bisa cepat sarapannya," sahutku. 

Mereka pun duduk mengelilingi meja yang sudah terisi dengan masakanku. Ada nasi goreng, telur yang disambal, yang digoreng saja juga ada. 

"Azzam mana?" tanya papa mertua.

"Sedang bersiap, Pa. Sebentar, aku panggil dulu, ya," jawabku. 

Aku pun beranjak ke kamar untuk melihat Mas Azzam gak keluar juga. Perlahan kubuka pintu kamar, ternyata dia sedang memakai celana panjangnya. 

Otomatis kututupi kembali pintu kamar, dasar Mas Azzam! Kenapa pintunya gak dikunci, sih? batinku bertanya-tanya.

Tak lama pintu terbuka, Mas Azzam pun ke luar dengan senyum jahilnya. 

"Kenapa gak masuk aja, malah keluar lagi?" bisiknya dengan senyum makin melebar. 

"Huh, itu maunya, Mas, kan? Sudah, jangan bercanda lagi, ayo makan. Semua sudah menunggumu!" jawabku kesal. 

Mas Azzam berjalan sambil merangkulku. Kakiku membeku seolah tak bisa digerakkan. 

"Kenapa?" tanya Mas Azzam heran karena aku tak bergerak dari tempatku berdiri.

"Ngapain peluk-peluk? Mau modus, ya?" tuduhku.

"Bukan modus, Sayang. Ini hanya akting, biar kedua orang tua kita makin yakin dengan sandiwara kita," jawab Mas Azzam. 

Benar juga, aku malu karena sudah salah sangka padanya. Aku pun mengikuti akting yang dilakukan oleh Mas Azzam. 

"Nah, akhirnya muncul juga kamu, Zam. Ayo cepat makan!" seru Mama mertuaku.

Mas Azzam duduk di sebelah papanya, aku pun mengambilkan sepiring nasi goreng untuknya juga untuk diriku sendiri.

Sesendok nasi goreng baru saja kumasukkan ke dalam mulut, tapi aku sudah tersedak karena ucapan mamaku. 

"Clara, setelah ini, kamu temani kami keliling perumahan ini, ya. Mama ingin mengenal tetangga kamu yang lain."

Bersambung.