webnovel

BAB 44: Malam Sebelum Pertempuran Terakhir Bagian 1

"Bagaimana menurutmu, Isshiki-kun?" Touko-senpai, yang berdiri di sampingku dengan tatapan sedikit cemas, menanyakan itu padaku.

"Ya, ini enak. Sangat enak!" Aku dengan jujur memujinya.

Aku tidak punya keluhan apa pun soal hidangan ini!

"Yeeeay!" Touko-senpai tersenyum dan membuat pose kemenangan kecil yang kekanakan.

Saat ini, dia sedang mengenakan celemek dan tidak seperti biasanya, rambutnya yang panjang diikat dengan scrunchie.

Sungguh imut melihat tangan Touko-senpai melakukan pose kemenangan kecil di depan dadanya sambil membungkukkan tubuhnya.

"Ini baru pertemuan ketiga, tapi aku tidak menyangka kamu meningkat sebesar ini. Kamu sungguh hebat, Touko-senpai."

"Ehehe, aku yakin ini semua berkatmu." Dengan senyum yang tidak terlalu puas, Touko-senpai menjawab begitu.

***

Sekitar setengah bulan yang lalu, saat Touko-senpai mulai berkata ingin bisa memasak untuk Hari X.

Pada Hari X, yaitu Malam Natal, para anggota perkumpulan yang berhubungan baik satu sama lain akan berkumpul dan berpesta.

Touko-senpai mengatakan kalau dia ingin berlatih memasak masakan rumahan yang akan para gadis sajikan di sana.

"Aku akan berlatih memasak di rumahku, dan aku ingin kau mencicipinya."

Setelah diberitahu begitu, aku dengan gembira menuju rumah Touko-senpai.

"Sedang tidak ada siapa-siapa di rumah. Masuklah."

Saat aku mendengar kata-kata sambutan Touko-senpai yang seperti itu, mau tak mau aku memiliki harapan aneh.

"Sungguh rumah yang bagus." Saat aku dibawa ke ruang tamu, aku memberikan pendapat jujurku.

Rumah itu sendiri besar dan megah dari luar, tapi jelas terlihat bahwa interiornya juga cukup mewah.

"Tidak terlalu buruk, kan? Yah, kedua orang tuaku bekerja full time sih."

"Memangnya apa pekerjaan orang tuamu?"

"Orang tuaku dua-duanya dokter. Ayahku membuka rumah sakit jiwa di Tokyo dan ibuku bekerja di rumah sakit bedah kosmetik."

Haha, jadi begitu…

Anehnya aku merasa tidak heran.

"Orang tuaku ingin aku masuk ke sekolah kedokteran juga, tapi aku tidak tertarik menjadi dokter."

"Jika kedua orang tuamu bekerja full time, bagaimana soal tugas rumahan dan yang lainnya?"

"Kami punya pembantu rumah tangga yang datang tiga kali seminggu. Selain itu, rumah orang tua ibuku dekat, jadi nenekku datang hampir setiap hari untuk memasak dan mencuci pakaian."

Jadi, itulah sebabnya Touko-senpai tidak bisa memasak, ya?

Omong-omong, aku anak tunggal dan kedua orang tuaku semuanya bekerja, tapi aku bisa memasak dan melakukan semua tugas rumahan.

Lalu, aku teringat sesuatu. "Kamu punya adik perempuan yang tiga tahun di bawahmu, kan? Apakah dia sedang keluar hari ini?"

"Dia gadis yang berjiwa bebas, jadi aku tidak pernah tahu apa yang dia lakukan. Kurasa dia keluar bermain ke suatu tempat hari ini."

Dengan senyum malu di wajahnya, Touko-senpai menghidangkan makanan di depanku.

"Nah, cobalah. Aku ingin kau memberikan pendapat jujurmu."

Tapi, ketika aku melihat makanan di depanku, aku sudah bisa memprediksi hasilnya.

Sejujurnya, aku bahkan tidak perlu memakannya.

Karaage yang menghitam, nikujaga yang tidak berbentuk, dan iga yang hangus.

Satu-satunya hal yang tampaknya hampir layak untuk dimakan adalah nikujaga-nya.

"Apakah ini perpaduan Jepang dan Barat?" Aku bertanya santai.

"Ya, aku hanya ingin mencoba dan melihat mana yang lebih mudah kubuat." ​​Dia menjawab dengan ragu.

Pertama, aku menggigit nikujaga-nya.

Dan dengan satu gigitan itu, lidahku menjawab, "Tidak Enak."

Pokoknya, rasanya asin.

"Jadi, bagaimana?" Touko-senpai bertanya dengan cemas.

"Y-yah. Tidak terlalu manis, atau mungkin kecap asinnya…" Aku menjawab dengan halus.

Atau lebih tepatnya, ini bukan nikujaga tetapi 'niku dan jaga dengan kecap asin'.

"Bicaralah yang jelas!" Touko-senpai mendesakku bicara.

"Hmm, ya. Mungkin ini tidak cukup gula atau cuku beras. Menurutku rasa kecap asinnya terlalu kuat."

"Oh…"

Touko-senpai tampaknya sedikit kecewa.

Selanjutnya, aku mengambil segigit karaage hitamnya.

Untuk warna segelap ini, ayamnya tidak memiliki banyak rasa.

Kehitaman ini disebabkan karena digoreng dengan minyak yang terlalu panas.

Mungkin itulah sebabnya dagingnya sangat kering.

"Kupikir kamu mungkin terlalu lama menggorengnya. Dan menurutku kamu sebaiknya membumbui ayamnya lebih banyak…"

"Begitu, ya…" Nadanya masih murung.

Dan akhirnya, permukaan iga yang hangus.

Tapi, ini yang terburuk.

Ketika aku mencoba memotongnya, kuah merah keluar dari dalam.

Dilihat dari permukaan yang dipotong, bagian yang dekat dengan tulang masih mentah.

Karena ini adalah iga babi, mentah bukanlah hal yang bagus.

Aku berkata takut-takut, sambil memastikan kondisi Touko-senpai. "Um, Touko-senpai. Apakah kamu mengeluarkan ini dari lemari es dan langsung memasaknya? Permukaannya hangus terbakar, tapi bagian tengahnya masih mentah."

Ketika Touko-senpai melihat ini, dia juga mengatakan "Ah" dengan terkejut.

"Benar. Karena semua permukaannya sudah matang, jadi kupikir tak ada masalah."

"Menurutku, ini mungkin terjadi karena daging tidak dibiarkan di suhu ruangan terlebih dahulu setelah dikeluarkan dari lemari es. Dan juga, ovennya tidak cukup panas."

"Maaf…" Touko-senpai benar-benar menyusut.

Mengingat sikap Touko-senpai yang biasanya, aku tidak menyangka dia akan jadi seperti ini.

"Jangan berkecil hati. Semua orang seperti ini pada awalnya. Karena memasak adalah aktivitas yang membuat kita menjadi lebih baik dengan adanya kesalahan." Aku menyemangati Touko-senpai yang depresi dengan mengatakan itu.

Kali kedua aku dipanggil, menunya adalah kaarage, salad kentang dan chiffon cake.

Kaarage-nya jauh lebih enak dari yang terakhir kali.

Salad kentangnya juga sangat enak.

Plester pada jari-jari di kedua tangannya menunjukkan bekas perjuangannya.

Tapi, chiffon cake-nya sama sekali tidak enak.

"Jadi, ini gak enak?" Touko-senpai mengatakan itu dengan sedih. Sepertinya dia menebaknya dari ekspresiku saat aku memasukkan kue itu ke dalam mulutku.

Kuenya tidak mengembang, semuanya keras, seperti chiffon yang tergencet.

Dan ada gumpalan tepung di beberapa tempat.

"Chiffon-nya tidak mengembang. Dan tepungnya menggumpal di beberapa tempat." Kataku dengan jujur.

Touko-senpai murung lagi.

"…Kok bisa sampai begitu?"

"Itu karena… aku belum pernah membuat kue seumur hidupku."

***

Dan begitulah, di saat yang ketiga, aku dapat mencicipi dengan nikmat masakan buatan Touko-senpai.

Dua kali sebelumnya, rasanya lebih seperti jadi 'kelinci percobaan' daripada penguji rasa.

Iga babi, ayam goreng karaage, salad kentang, dan shortcake yang dibuat Touko-senpai kali ini semuanya terasa enak.

Ini adalah level masakan yang tidak akan membuat malu untuk dipajang di toko.

Aku tersenyum alami ketika memakannya, dan ekspresi di wajah Touko-senpai ketika dia melihatku juga terlihat puas.

Aku kemudian bertanya setelah selesai makan. "Ini akan disajikan sebagai hidangan untuk Hari X, kan?"

Ekspresi Touko-senpai tiba-tiba menjadi serius. "Benar. Tapi sebelum itu, ada satu hal yang harus kulakukan terlebih dahulu."