webnovel

1. MIMPI BURUK WILONA

Pagi itu Wilona tak pernah menyangka, kalau mimpi buruknya baru saja dimulai. Di sebuah kamar hotel berukuran 8x10 meter bernuansa putih, seorang pria tertidur pulas di sebelahnya, sementara dirinya tanpa sehelai kainpun di tubuhnya kini gemetaran menutupinya dengan selimut.

"Apa yang terjadi?" lirihnya. Kepalanya terasa pening. Wilona tak bisa mengingat apapun.

Tiba-tiba Wilona baru saja mendengar suara ribut-ribut di pintu luar kamar hotel. Beberapa orang terdengar memaksa masuk ke kamarnya. Wilona panik ingin buru-buru bangkit namun selimut yang menutupi tubuhnya tertindih tubuh pria yang masih saja terlelap.

"Hei, bangun! Hei!!!" pekik Wilona sedikit panik sambil mengguncang-guncang tubuh pria itu.

Pria itu membuka matanya perlahan sambil memegangi kepalanya, telinganya terasa pengang. "Si–siapa kamu?" tanyanya.

Wilona membulatkan matanya. "Harusnya aku yang bertanya, siapa kamu? Kenapa kita bisa tidur bersama di sini!?"

Ucapan Wilona tentu membuat pria itu terkejut dan langsung bangun. Wilona yang kaget langsung menutup matanya dengan kedua tangannya. Seumur-umur dia tidak pernah melihat tubuh seorang pria yang polos tanpa busana.

Bersamaan dengan itu, orang-orang yang sudah berisik di depan pintu kamar, akhirnya masuk.

"Wilona! Astaga kamu ...." Seorang pria berperawakan tinggi dengan rambut coklat dibelah tengah bersetelan jas rapi kini sedang memelototkan matanya sambil berkacak pinggang.

"Kak Stevan ...." Wilona menggeleng kuat. Nyaris menangis. Baru kali ini dia merasa lidahnya kelu, kerongkongannya kering. Dia tidak bisa berkata-kata.

Di samping pria itu, ada seorang wanita berusia 50 tahunan. Wanita menghampiri Wilona lalu menampar gadis itu tanpa pikir panjang.

"Sungguh memalukan!" serunya. Dia adalah Nyonya Veronica.

Pria yang disebelah Wilona tentu terkejut, sama terkejutnya dengan Wilona yang memegangi pipinya yang terasa panas setelah pukulan mendarat ke wajah putihnya.

"Kalian berdua pakai kembali baju kalian! Benar-benar menjijikkan!" Wanita paruh baya itu berpaling. "Noura, urus Wilona! Setelah itu bawa mereka. Mereka harus menjelaskan semuanya," titah Nyonya Veronica.

Wanita berusia 40 tahunan bernama Noura hanya bisa mengangguk dan memandang Wilona tanpa menunjukkan ekspresi kasihan. Wanita itu menatap Wilona dingin. Dia merupakan asisten Nyonya Veronica.

"Ayo, Nona. Ikut saya!" ajaknya. "Dan kamu, cepat pakai bajumu juga. Urusanmu dengan keluarga Dominic belum selesai," lanjutnya sambil menatap nanar pria yang tanpa berbusana sibuk menutupi miliknya dengan bantal.

Namanya Ervan. Dia sendiri lupa, kenapa dirinya bisa terjebak dengan seorang gadis belia di sebuah kamar hotel. Dirinya hanya ingat terakhir kali, dia diundang ke pesta temannya ke sebuah club. Dia tidak datang untuk mabuk-mabukkan. Dia bahkan hanya duduk-duduk dengan minuman orange juice di sana.

Ervan langsung mengangguk dan berjalan seperti kepiting menuju kamar mandi untuk memakai pakaian yang sempat ia pungut di lantai.

Wilona menatap kepergian Ervan dengan pandangan jijik. "Mengapa aku memilih menghabiskan malamku justru dengan pria seperti itu? Wilonaaaaa ... apa yang sudah kamu lakukan!?" gerutunya dalam hati.

****

Kini Wilona dan Ervan sudah berada di sebuah rumah bak istana milik keluarga Dominic. Kakek Tristan memandang cucu perempuannya itu dengan wajah kecewa. Kerutan di wajahnya menggambarkan kesedihan.

"Ayah, aku tahu kesalahan Wilona sangat lah fatal. Saya sebagai orang tuanya sungguh meminta maaf atas perilaku Wilona," ucap Tuan Edwin berlutut memohon ampunan kepada kakeknya.

"Ayah, meskipun kami hanya orang tua angkat dari Wilona. Tapi semua perilaku Wilona adalah tanggung jawab kami. Kami siap, jika Wilona diberi hukuman. Kami tidak akan membelanya," timpal Nyonya Veronica sambil memusut bahu suaminya. Wajahnya nampak sendu berbalut murka saat menatap Wilona.

"Ayah, Ibu ...." Wilona matanya berkaca-kaca. Selama ini dia sudah menganggap paman dan bibinya adalah orang tua aslinya. Semenjak kedua orang tuanya meninggal, hak asuhnya diambil alih oleh paman dan bibinya itu.

Wilona sungguh merasa beruntung karena paman dan bibinya sangat menyayangi dirinya seperti anak sendiri. Tak ada perbedaan antara dirinya dengan Stevanus. Putra dari Edwin dan Veronica itu bahkan harus beberapa kali mengalah karena orang tuanya lebih sering membela Wilona daripada Stevanus. Hal itu yang membuat Stevanus membenci Wilona dan merasa tersaingi.

"Wilona, kau dan pria ini harus menikah." Satu kalimat dari Kakek Tristan yang membuat Wilona merasa tersambar petir di pagi hari.

"Kakek, aku tidak mau. Aku tidak mengenalnya. Aku ...."

"Kamu tidak mengenalnya tapi kamu memberikan kesucianmu kepada pria keparat ini? Ck," decak Stevanus marah.

"Kakak, aku sungguh tidak tahu mengapa bisa aku dan dia bersama. Aku ...."

"Kamu mabuk. Itu salahmu! Melihatmu tidak mengingat apapun, itu berarti kamu mabuk berat." Bibi Jessica ikut memojokkan Wilona.

"Kakek, tapi aku masih muda. Aku bahkan baru lulus sekolah. Aku masih ingin melanjutkan kuliah dan ...."

"Haahahaa, sudah salah masih saja mengelak. Sudah terima saja pernikahan ini. Apa kata orang di luar sana, hah! Bikin malu saja," cecar Bibi Jessica.

Wilona putus asa. Tidak ada yang membelanya kali ini. Dia kemudian beralih kepada pemuda yang masih berdiri bak patung di dekatnya. Wilona mengguncang tubuh pria itu dengan penuh emosional.

"Katakan kepada mereka, katakan kau tidak mengenalku! Katakan kalau kita tidak melakukan apapun! Katakan kalau ini semua pasti hanya jebakan! Katakan, jangan diam saja!"

Ervan tak berani menatap Wilona, pemuda itu sendiri masih syok dan bingung dengan semuanya. "Apakah ini adalah sebuah jebakan seperti yang dikatakan gadis ini ataukah ini murni kesalahan kami? Jika benar, itu artinya aku harus bertanggung jawab," pikir Ervan tanpa bersuara. Dia seperti linglung.

"Lihatlah itu, Kek! Pria itu bahkan tidak bisa mengelak. Itu artinya mereka memang sudah berbuat hal di luar batas." Stevanus begitu puas melihat Wilona kini tak bisa berkutik.

"Wilona, apa jangan-jangan kau bukan hanya berhubungan bebas? Kau juga menggunakan obat-obatan terlarang?" tuduh Bibi Jessica.

"Jessica! Jangan terlalu jauh menuduh putriku!" sahut Nyonya Veronica sengit.

"Dia bukan putrimu, kakak ipar!" balas Bibi Jessica.

"Kalian berhenti berbicara tak penting!" tegur Tuan Edwin.

Kedua wanita itu dan Stevanus langsung diam tak berani bersuara lagi.

Kakek Tristan menghela napas berat. Dia tidak pernah menduga cucu kesayangannya melakukan hal yang memalukan. Selama ini, dia cukup memaklumi kelakuan Wilona yang manja, boros, dan arogan layaknya anak muda yang kaya raya. Ia bisa mengerti karena Wilona kehilangan orang tuanya dan amnesia. Sejak saat itu Wilona anak yang baik dan pengertian, berubah menjadi Wilona yang pemberontak dan sesukanya.

Tapi apakah Wilona berbuat sejauh dan sebebas itu?

"AKU TIDAK AKAN MENIKAH, KALIAN DENGAR ITU!" Wilona mulai berteriak. Ia melirik ke arah Ervan dan menatap pria di sampingnya dengan tatapan aneh. "Pria ini bukan seleraku, dia kampungan!" Mata Wilona menyapu bersih pandangannya kepada Ervan mulai dari atas hingga ke bawah. Bola matanya memutar dan setelahnya membuang pandangannya itu.

Ervan tertawa getir. "Dari tadi kalian sibuk mencecar, dan sibuk menjadi hakim. Ckckk." Ervan memperbaiki posisi kaca mata tebalnya. "Bagaimana kalau aku tidak mengakui semua tuduhan itu dan menolak menikahinya? Kira-kira apa yang terjadi dengan keluarga ini dengan segala pemberitaan di luar sana?"