webnovel

MENYEDIHKAN

Jayden tahu kalau apa yang dia lakukan pada saat itu adalah suatu hal yang memang harus dia lakukan dan kalau boleh jujur, dirinya tidak merasa bersalah atau menyesali perbuatannya tersebut.

Karena dalam situasi seperti itu, pilihannya hanyalah dua; dirinya yang mati mereka bunuh atau dialah yang membunuh mereka lebih dulu.

Memang ke dua pilihan tersebut bukanlah hal yang menyenangkan untuk dilakukan, tapi bila harus memilih tentu saja Jayden memilih untuk hidup.

Hanya saja, walaupun Jayden tidak merasa bersalah, dirinya tetaplah hanya seorang anak remaja berusia lima belas tahun yang tidak pernah benar- benar berada dalam situasi bahaya, karena dirinya selalu dikelilingi oleh bodyguard- bodyguard yang akan melindunginya.

Maka dari itu, peristiwa tersebut akan selalu membekas di hatinya dan tidak akan mungkin bisa dia enyahkan begitu saja.

Pembunuhan pertama tersebut membuat Jayden harus keluar masuk ruang terapi dan bertemu psikiater serta psikolog yang membantunya untuk berbicara, membicarakan masalah yang dia alami.

Hanya saja, Jayden merasa enggan untuk membangkit memori tersebut lagi, dia merasa kalau hal tersebut lebih baik dipendam saja dan tidak perlu diingat.

Tapi, sebagai efek sampingnya, Jayden menjadi terobsesi pada organisasi tersebut, dimana dia tidak bisa memikirkan hal lain kecuali menjatuhkan mereka.

Ramon memang telah berhasil menangkap orang- orang yang terlibat dalam penculikan Jayden, tapi dia tidak ingin menyelidiki masalah ini cukup dalam dan keberatan untuk mencari tahu dalang dari organisasi tersebut.

Tapi, tidak bagi Jayden.

Dia ingin mendapatkannya.

"Apa yang kau rasakan saat kau tahu kalau kau telah membunuh pria itu?" tanya Apple, dia mendengarkan setiap kata- kata yang Jayden ucapkan dengan seksama.

Untuk sesaat, Jayden sedikit terkejut mendengar pertanyaan tersebut, karena dia pikir Apple akan memandangnya dengan berbeda, tapi ternyata tidak, gadis itu tidak menunjukkan rasa takut sama sekali ataupun sikap penuh judgmental padanya.

Membicarakan masalah ini dengan Apple seperti dirinya sedang membicarakan sebuah rencana bisnis yang memang dirinya minati. Jayden tidak merasa terpaksa atau tertekan ketika harus membicarakan ini pada gadis itu.

"Tidak ada," jawab Jayden dengan jujur. "Aku memang sempat terdiam sejenak, tapi pada saat itu, kurasa aku tidak memiliki waktu senggang untuk merasa kasihan pada mereka."

Apple terdiam ketika mendengar hal tersebut, matanya menunjukkan kalau dirinya mendengar dengn cermat apapun yang Jayden tengah katakan sekarang.

"Mereka akan membunuhku bila mereka tidak kubunuh lebih dulu." Jayden mengangkat bahunya dengan sikap acuh tak acuh. "Aku pikir, pada saat itu, instingku untuk hidup mulai bekerja."

Apple mengagguk, dia tahu bagaimana rasanya itu. Dia juga mungkin akan melakukan hal yang sama, ketika dirimu sedang berada dalam bahaya, tentu kau akan melakukan apapun untuk menyelamatkan diri.

"Lalu apa yang membuatmu merasa takut pada kapal?"

Jayden tertawa kecil ketika mendengar hal tersebut. Mungkin ini adalah efek dari obat yang dia minum, atau juga ini adalah efek dari suasana hujan di luar sana, dimana cuaca seperti ini membuat pertahanan dirimu sedikit menurun dan membuatmu agak vulnerable dalam mengungkapkan perasaanmu.

"Aku tidak takut pada kapal, aku merasa tidak nyaman berada di atas air yang banyak." Jayden lalu memejamkan matanya. Efek dari obat itu mulai bekerja, dia merasa jauh lebih tenang sekarang. "Aku tidak suka berada di atas kapal yang terombang- ambing, membuatku merasa berada di tengah laut."

Dan pada saat itulah Apple baru menyadari sesuatu.

Dia mengingat cerita ini dari ayahnya, dimana pada saat penyelematan tersebut, Jayden berada di perahu boat kecil, setelah dia berhasil melarikan diri dari perahu besar yang akan membawanya entah kemana setelah mereka mendapatkan uang tebusan dari Ramon Tordoff.

Jayden yang pada saat itu masih berusia lima belas tahun terombang- ambing di tengah laut lepas selama lebih kurang delapan belas jam sebelum dirinya ditemukan dan diselamatkan.

Maka dari itu, dia merasa takut untuk berada di dalam kapal ataupun di laut lepas. Itulah asal mula dimana dia developed his trauma.

"Jayden?" Apple memanggilnya lagi, tapi mendapati pria itu telah tertidur dengan suara dengkurnya yang halus dapat terdengar.

===================

Seharian ini Jayden tertidur, dia bahkan melewatkan beberapa meeting dan membuat Adrian geleng- geleng kepala atas kelakuan bosnya tersebut.

Bagaimana bisa dia tertidur sepanjang hari dimana mereka aka nada misi besar malamnya untuk menangkap 'pengiriman' yang akan terjadi.

Tapi, sepertinya Apple bisa memahami hal tersebut, karena dia dapat mengerti mengapa Jayden melakukan hal itu. Itu adalah caranya untuk cope up with his trauma.

Dimana nanti malam dia akan lagi- lagi berhadapan dengan situasi yang akan mentrigger traumanya sendiri.

Maka dari itu dia mempersiapkan dengan cara demikian, walaupun itu terdengar sedikit aneh, tapi memang itulah yang terjadi.

Tapi, sepertinya Jayden sudah jauh lebih baik, karena ketika mereka berada dalam perjalanan ke tempat yang telah ditentukan, dia sudah bersikap seperti biasa.

Bahkan Apple tidak menyangka kalau ini adalah pria yang sama, yang membicarakan rasa takutnya beberapa jam lalu.

"Jangan menatapku seperti itu terus, kau bisa tergoda oleh pesonaku." Jayden winked at her and Apple mendengus sebal, merasa kalau rasa khawatirnya hanyalah perasaan yang sia- sia.

Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari makhluk ini. Apple lalu memakai helmnya dan naik ke atas motor.

"Kau yakin akan mengendarai ini?" tanya Jayden, melirik ke arah motor Apple dengan sorot mata tidak yakin.

"Tentu saja," jawab Apple untuk kesekian kalinya.

"Dia jauh lebih pandai dalam mengendarai motor, daripada mobil." Sebuah suara bergema di dalam basement sebelum sosoknya muncul.

Karena mendengar suara yang tiba- tiba itu, Jayden dan Apple hampir saja melompat dari tempat mereka berdiri karena terkejut.

"Hentikan melakukan itu!" omel Jayden. "Berhenti muncul secara tiba- tiba. Kupikir kau hantu."

"Benar," Apple menimpali.

Tanpa mereka berdua sadari, keduanya memiliki ketakutan yang sama pada hantu, entah bagaimana mereka sangat berani dalam melawan musuh, tapi tidak begitu berani bila berhadapan dengan makhluk kasat mata.

"Both of you are pathetic," ucap Misha sambil masuk ke dalam mobilnya.