Yuki
(Bahagia)
Setelah bosan berkeliling, aku menghentikan mobil di parkiran tempat kerja sahabatku. Selain ingin menghabiskan waktu di sana, aku juga sudah merasa rindu dengan sahabatku ini. Banyaknya pekerjaan membuat kita sama-sama tidak memiliki waktu untuk bertemu sekedar absen wajah. Dia ini sahabat baikku dari duduk dibangku sekolah, kami memang sering bertengkar dan terlibat perdebatan sengit, namun itulah yang justru membuat kita dekat dan semakin dekat. Aku merasa nyaman berbagi semua keluh kesahku ke dia, begitu juga sebaliknya.
"Wulan, Ica ada di dalam ?." Tanyaku pada asisten Ica.
"Ibu Yuki, ada bu. Kebetulan juga nggak ada tamu. "
"Oke, aku masuk dulu kalau begitu."
"Silahkan, bu. "
Tok tok
Meski kita sahabat dan saling mengenal dengan baik tapi untuk berkunjung entah itu di kantor maupun rumah kita berdua tidak lupa untuk saling mengetuk pintu ruangan masing-masing. Kita tetap saling menghormati privasi masing-masing.
"Masuk... " Meski samar tapi aku masih bisa menangkap suara Ica.
"Siang ibu, lagi sibuk?." Tanyaku sambil melangkah mendekati Ica, dia sedang asik mengolahragakan jari diatas keyboard laptop.
Ica mengangkat kepala dan menatap ke arahku. Kami berdua saling menebar senyum, ia beranjak dari meja dan menghambur ke dalam pelukanku.
"Kangen, " Rengek Ica.
"Aku juga. " Balasku. Singkat cerita setelah saling berpelukan dan menyapa, kemudian Ica mengajakku duduk di sofa empuk yang letaknya tak jauh dari meja kerjanya.
"Pasti ada sesuatu yang penting ingin kamu ceritakan?” Tebak Ica tepat sekali.
"Kamu ini," Jawabku, aku menyandarkan punggung mencari posisi nyaman sebelum bercerita padanya.
"Kamu habis ketemu sama dia ?."
"Ya, aku ketemu dia. Bahkan kami sempat mengobrol." Jawabku sambil menerawang mengingat kejadian beberapa jam lalu. Aku tersenyum kala melihat wajahnya dalam bayangan. Dia begitu tampan, manis, asik dan tidak membosankan.
"Sampai kapan kamu jadi orang gila? Berhentilah Ki, jangan sakiti hati kamu terus." Nasehat seperti ini sering kali Ica berikan kepadaku, tapi aku selalu abai dengan nasehatnya. Apalagi dia menyuruhku berhenti melakukan hal konyol ini, semua tidak akan mudah aku lakukan. Aku terlanjur nyaman dan juga sangat bersyukur meski hanya bisa memandangnya dari jauh.
"Tapi aku juga nggak bisa melakukan itu, aku dan dia...." Aku tak bisa melanjutkan ucapanku, aku yakin Ica sangat tahu alasanku. Ica merupakan salah satu saksi kunci kehidupanku baik dimasa lalu maupun sekarang.
Ica berdecak kesal. Aku paham jika Ica bosan dengan rengekanku, tapi masih saja tidak bisa move on. Berulang kali, tidak hanya Ica, semua orang dekatku mengatakan jika aku harus move on dari masa lalu dengan memperbaiki semua keadaan tapi aku belum berani.
“Sampai kapan kamu akan membiarkan kesalahpahaman ini berlanjut, tidak cukupkah dua tahun saja?.” Tanya Ica dengan gemasnya.
“Aku tahu semuanya tidak semudah membalikkan telapak tangan, namun jika kamu terus seperti sekarang semua nggak akan ada perubahan apapun. Apa kamu tega membiarkan dia tumbuh dengan kasih sayang yang kurang? Kamu membiarkan cinta kalian hanyut begitu saja padahal kalian masih saling cinta? Hanya orang bodoh yang melakukan hal itu, sungguh aku gemas dengan kalian berdua.” Kata Ica menyentuh sudut hatiku terdalam.
Diam, itu yang bisa aku lakukan ketika Ica mulai menceramahiku dengan kata-kata pamungkasnya. Sebelumnya aku bukan tipikal orang yang sulit untuk menyelesaikan masalah sebenarnya, namun permasalahan kemarin sudah membuat nyaliku menciut. Aku berubah menjadi pengecut dan lebih memilih untuk bersembunyi daripada menyelesaikannya. Dua tahun bagi sebagian orang itu mungkin sudah cukup lama untuk bersembunyi, tapi tidak buat aku.
"Gue yakin lo bakalan bener-bener gila, Ki!." Kesal Ica sambil memijat kepalanya, menandakan dia benar-benar sudah pusing mengurusiku. Buktinya saja dia sudah mengganti sebutan dari kamu menjadi lo, panggilan dia dikala sudah benar-benar kesal padaku.
"Biarkan tetap seperti ini Ca, ini sudah garis tangan Tuhan. Aku bahkan benar-benar sudah tak ada niatan untuk menjelaskan apapun kepada mereka. Biarkan mereka menilai sendiri.”
“Mana Yuki yang pintar dan tidak mudah putus asa? Kamu mau seluruh bumi membencimu untuk kesalahan yang sama sekali tidak kamu buat?” Ica mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi ke udara, aku hanya tersenyum hambar untuk membalas tingkahnya sekarang di hadapanku.
"Aku butuh kafein, Ca. Please kasih aku satu cangkir aja nggak apa-apa deh."
"No....!" Jawabnya tegas sebelum akhirnya meninggalkanku sendiri di ruangannya.
Sepeninggal Ica yang aku sendiri nggak tahu dia mau kemana, aku mengambil telepon genggam di dalam tas. aku membuka kunci ponselku sendiri kemudian mengamati sebuah foto yang aku jadikan gambar layar. Bibirku tertarik ke atas kala melihat gambar menggemaskan itu, tak cukup dengan gambar yang terpampang di layar depan, jari-jariku bergulir untuk membuka galeri. ku buka folder demi folder yang aku kasih tanda dengan nama tempat di mana aku mengambil gambar itu. Sedikit air mataku menetes, nafasku sudah tak selanjar beberapa detik lalu, dadaku mulai terasa sesak dan hatiku terasa nyeri.
Terimakasih sudah hadir ke dunia ini, kamu adalah penyemangat dan sumber kehidupan bagi bunda. Bunda bahagia bisa melihat perkembanganmu meski dari jauh, bunda bahagia melihatmu tumbuh dengan baik dan sehat.
***
“Pulang cepat?!” Suara bariton itu membuatku yang hendak menutup pintu rumah terlonjak kaget.
"Kalau mau bikin gue cepet mati nggak gini caranya !" Kesalku pada seseorang yang sedang cengengesan tanpa ada rasa bersalah dan dosa sama sekali.
Siapa lagi jika bukan Verrel, si manusia jahil dan bermulut pedas. Entah dari mana datangnya, pria itu tiba-tiba saja sudah berada di depan pintu rumah. Verrel belum juga menjawab pertanyaanku saat aku meninggalkannya menuju dapur. Tenggorokanku sudah kering dan aku butuh air untuk membasahinya. Langkah kakiku pun diikuti Verrel, aku hafal betul ketukan langkah kakinya.
Ku teguk air mineral hingga tandas. "Gila sahabat gue ini, lo mirip sama onta sumpah Ki." Aku tau dia sedang mencoba mencairkan suasana, namun candaannya sangat garing. Tidak lucu sama sekali.
"Mending lo pulang deh, gue pengen istirahat." Bukan tanpa alasan aku menyuruhnya pulang. Aku merasa lelah dan ingin istirahat, aku butuh waktu untuk menenangkan diri lagi.
Verrel mencoba mencegah langkah kaki aku dengan meraih pergelangan tanganku dan menggenggamnya. "Aku akan pulang, tapi maafin aku dulu...." Ucapnya sembari mengangkat dua jari membentuk simbol perdamaian.
Jujur saja, sebenarnya aku tak marah pada Verrel, itu hanya reflek dari emosiku saja ketika mendengar sesuatu yang begitu menyentil hati. Aku ini perasa, sehingga membuat kondisi hatiku langsung tidak baik-baik saja. Emosiku yang mudah meluap karena lepas kontrol adalah reflek dari setiap apa yang aku rasakan.
"Pleaseeeeee....." Mohon Varel dengan muka memelasnya.
"Gue nggak marah kok sama lo, cuma sedikit kesel aja. Jadi nggak usah minta maaf, gue udah nggak apa-apa."
"Seriusan ?"
"Serius, tapi janji...." Jawabku sambil memandang wajahnya.
"Apa ?"
"Jangan bahas ataupun menyinggung-nyinggung masa lalu gue tentang yang satu itu. Gue masih sangat sensitif, Rel. Kali ini aku benar-benar memohon padanya.
Tangan Verrel seketika mengacak rambutku, seperti kebiasaan yang sudah-sudah. Rambutku yang memang sudah berantakan menjadi semakin berantakan. "Oke pricessssss, makasih. Sekali lagi maafin aku ya, aku pulang dan met istirahat."
"Oke, hati-hati di Jalan."