webnovel

Tersangka

Blossom Factory Outlet merupakan toko pakaian yang sangat terkenal di internet. Toko ini juga ada offline shop-nya.

Mata Ryushin berbinar-binar saat ia berhenti di depan toko Blossom yang terkenal di kota Bandung ini. Ia sungguh kagum hanya melihat kemewahan toko ini dari luar. Sejenak ia menoleh ke arah Jangjun yang berdiri di sampingnya. Seulas senyum terpatri di bibir penuhnya.

'Apa mungkin Papa menang lotre ya sampai-sampai mengajakku ke toko ini. Uups, lupa. Aku harus memanggil papaku sendiri 'abang' kalau di luar rumah. Ini bukan kemauannya, tapi aku sendiri yang memutuskan,' bathinnya.

"Abang Ujang, kau sungguh ingin aku memilih baju di sini?" ucap Ryushin sambil melingkarkan tangannya ke pundak Jangjun.

"Tentu saja."

"Huwow! Untuk pertama kalinya dalam empat belas tahun umur saya, saya mengakui kalau Anda itu keren, Abang." Ryushin mengacungkan dua jempolnya ke arah Jangjun.

"Memang ke mana saja kau, heum? Kenapa baru sadar kalau aku begitu keren?" Jangjun lagi-lagi menarik sudut kanan bibirnya, ia kini menepuk bahu Ryushin. "Cepat pilih baju yang kau suka! Sesudah itu kita cari makan."

Ryushin mengangguk cepat. Ia melangkahkan kakinya menuju pintu masuk Blossom Factory Outlet. Namun, belum sempat ia masuk, ia merasakan ada yang menarik keras kerah baju bagian belakangnya. Ryushin menoleh.

"Kenapa lagi?"

"Siapa yang menyuruhmu memilih baju ke toko ini?" ucap Jangjun.

Ryushin menautkan alisnya. Ia menantikan perkataan Jangjun selanjutnya.

Jangjun tersenyum hangat. Ia memajukan dagunya untuk menunjuk ke suatu arah. Ryushin mengikuti isyarat papanya itu.

"Pilihlah baju di sana!" ucap Jangjun sembari masih menggeret kerah baju anak kesayangannya itu.

"Apa?" pekik Ryushin.

Yang benar saja? Ia kini berdiri di depan lapak tumpukan baju bekas yang berada tepat di sebelah toko Blossom. Tumpukan baju itu berada di emperan toko.

Jangjun berjongkok. Ia memilah-milah tumpukan baju, berharap menemukan baju bekas yang masih layak pakai untuk anak kesayangannya itu.

Namun, ia lebih sayang uang sebenarnya. Jangjun sekelebat melihat Ryushin yang masih berdiri mematung di sampingnya. Ia seolah dapat melihat aura hitam yang menguar dari tubuh Ryushin, aura kekecewaan.

"Huwaakh! Meninju orang tua dosa apa tidak, ya?" teriak Ryushin yang entah pada siapa.

"Ahahaha, dasar bodoh!"

Jangjun menarik celana putranya agar ikut jongkok, memilih baju.

"Cepat pilih!" perintah Jangjun.

"Tidak!"

"Yakin?"

"Tidak perlu!"

"Padahal nanti malam rencananya kita mau nonton di bioskop bersama, Shin," ucap Jangjun.

Ryushin membulatkan matanya. Nonton bioskop? Nanti malam kan tayangannya ....

"Ma-maksud Kak Ujang kita akan menonton film horror kesukaan saya itu?"

"Iya." Jangjun mengangguk.

"Yang judulnya Beranak Dalam Sumur itu, Bang?" Ryushin memastikannya lagi.

"Iya."

Mata Ryu-shin langsung berbinar. Membayangkannya saja sudah membuat jantungnya terasa ingin meloncat.

Sudah lama sekali sejak ia menonton bareng sama papanya. Terakhir kali nonton film horror 2 bulan lalu yang berakhir papanya kencing di celana. Papanya itu memang penakut parah

Jangjun mengangguk. Ia kembali fokus memilah-milah baju bekas tadi.

"Tapi, Bang. Apa Anda tega mendandani saya dengan pakaian bekas seperti ini, heh?" rengek Ryushin. Ia merasa jika ada penghargaan orang terpelit se-Bandung, maka papa-nyalah yang akan mendapatkannya.

"Jangan banyak protes! Untuk membeli tiket nontonnya saja, aku harus merelakan menunggak tagihan listrik untuk bulan ini," gerutu Jangjun.

Dengan terpaksa Ryushin menuruti. Lagipula tak apa juga. Siapa tahu jika ia beruntung, ia bisa menemukan baju bermerk di sini.

"Wah, kalian benar-benar sangat mirip. Kalian bersaudara, ya?"

Wanita paruh baya yang baru saja datang di lapak baju bekas itu berucap.

"Hahahaha, jangan bercanda, Nyonya. Saya ini papa-nya," ucap Jangjun ramah. Ia sambil merangkul Ryushin.

Ryushin mendengar bibi tadi berbisik-bisik dengan temannya. Ia segera melepaskan rangkulan Jangjun, yang sejak tinggal di Bandung berubah nama jadi Ujang.

"Ahahaha iya, Bibi. Saya memang adiknya Bang Ujang. Anda orang yang ke-199 yang mengatakan kalau kami ini mirip," ujar Ryushin yang langsung dihadiahi tatapan tajam oleh Jangjun.

"Ahahahha, sudah kuduga. Soalnya kalian benar-benar mirip. Kalau saja kami tak jeli, pasti mengira kalian ini saudara kembar." Bibi yang satu lagi ikut menyahut.

Ryushin dan Jangjun kini saling membelakangi. Entah kenapa mereka merasa canggung saat ini.

"Huhuhu, bahkan aku tak bisa menyebut darah dagingku sebagai anak lagi," batin Jangjun alias Ujang.

"Saya tidak mau lagi disebut anak dari hasil kecelakaan. Menyebalkan!" jerit Shin dalam hati.

***

"Tidak!" jeritan memekakkan telinga memenuhi rumah kecil yang ditinggali Jangjun bersama putranya.

Jangjun menyadari kalau itu memang suara Ryushin. Ia segera berlari ke arah kamar Ryushin, meninggalkan cucian piring kotor yang ada di westafel.

Brak!!

Jangjun berada di ambang pintu kamar Ryushin. Raut kepanikan juga terlihat jelas dari wajahnya.

"Kenapa, Shin? Kenapa kamu teriak?"

"Huwaakkkhhh! Ini benar-benar bencana, Pa! Huhuhuhu," tangis Ryushin pecah. Ia menangis sesenggukan.

"Kenapa kau berteriak, Shin?" Jangjun berseru saat memasuki kamar putranya.

Di tengah ruangan sempit berukuran 3x2 meter itu, Ryushin menangis. Ia menatap pecahan tanah liat dari celengan babinya.

"Papa, sepertinya tadi ada pencuri yang masuk. Uang tabungan Shin untuk berwisata setelah kelulusan SMP hilang semuanya. Bagaimana ini, Papa? Apa yang harus Shin lakukan?" Ryushin bertanya di tengah isakan tangisnya.

Jangjun melangkahkan kaki, berjalan mendekat ke arah putra semata wayangnya itu. Jangjun mengusap lembut pucuk kepala Ryushin.

"Tenanglah, Shin. Itu hanya beberapa lembar pecahan dua ribu dan lima ribuan. Untuk apa kau menangisinya sampai seperti itu, Nak?" ucap Jangjun, lembut. Dia berusaha menghibur putranya.

"Tapi, Papa. Shin menabung uang itu dengan susah payah dari satu tahun yang lalu. Shin ingin mengajak teman saya dengan uang itu untuk berwisata, setelah upacara kelulusan. Sekarang, uangnya sudah hilang. Shin benar-benar sedih, Papa," ucap Ryushin.

"Kalau hanya berwisata, Papa dapat mengajak kamu dan teman kamu nanti di kebun belakang rumah Pak RT, di sana ada kolam ikannya. Jadi, sekarang relakan uangnya hilang ya, Anakku." Jangjun berucap begitu lembut.

"Shin belum bisa merelakannya, Papa. Shin harus menahan untuk tidak jajan di sekolah hanya demi tabungan itu. Shin berharap, tangan pencuri itu patah karena sudah mengambil uang berharga Shin." Mata Ryushin memerah. Selain karena dia menangis, itu juga karena dia sedang marah.

Tanpa Ryushin sadari, Jangjun sedang meremas kedua tangannya. Jangjun bergidik seram mendengar kutukan dari putranya sendiri.

Ryushin memperhatikan gerakan aneh yang ditunjukkan ayahnya. Ryushin mengerutkan dahinya. Ryushin menduga bahwa ayahnya tahu sesuatu tentang uang tabungan Ryushin yang menghilang itu.

Setelah terdiam beberapa saat, Ryushin menemukan ide untuk memancing ayahnya agar berbicara. Ryushin menunjukkan tangisannya kembali.

"Huweee, Papa. Shin masih begitu sedih. Apa yang harus Shin lakukan, Papa?" tangisan Ryushin terdengar begitu memilukan.

Jangjun berusaha menenangkan putranya kembali. Jangjun mengusap lembut punggung Ryushin.

"Tenang saja, Putraku. Uang bukan segalanya di dunia ini. Jangan sedih lagi! Papa selalu berada di sampingmu meski kita berdua tidak mempunyai uang sama sekali saat ini, benar?" kata Jangjun.

"Shin menaruh pecahan lima puluh ribuan dan seratus ribuan juga di tabungan berbentuk babi milik Shin, Papa. Bagaimana bisa pencuri itu tidak meninggalkan sedikit uang pun untuk kita?" Ryushin berkata lirih di tengah-tengah tangisannya.

"Tidak mungkin itu, Shin. Tabunganmu hanya ada pecahan uang dua ribuan." Jangjun menyela. Tanpa Jangjun sadari, sebenarnya putranya telah menjebaknya untuk mengaku.

Ryushin melirik tajam ke arah papanya. Jadi, sudah dapat dipastikan bahwa papanya yang telah menghancurkan tabungan berbentuk babi milik Ryushin.

"Jadi, papa yang telah mencuri uang Shin?" tanya Ryushin, marah.

Jangjun tidak menjawab. Ia lebih memilih pergi dari hadapan putranya saat ini juga. Melarikan diri adalah satu-satunya cara untuk menghadapi amarah putranya. Namun, langkahnya lebih dulu dihadang oleh Ryushin.

"Papa! Kembalikan uang saya!" teriak Ryushin, frustrasi.

Jangjun diam tercenung, mengingat Ryushin saat baru lahir.