webnovel

Masih Bayi

14 tahun yang lalu.

Jangjun menatap kagum pada gumpalan daging yang bisa bergerak itu. Jangjun tak pernah tahu jika gumpalan seberat 1.4 kg itu dapag memiliki nyawa dan bernapas meskipun berada di dalam akuarium, Jangjun menyebutnya.

Benda kotak yang terbuat dari kaca itu namanya apa, Jangjun tidak tahu. Yang jelas, tempatnya mirip akuarium di rumahnya, bedanya ini tidak diberi air.

Hanya ada lubang-lubang kecil yang entah apa fungsinya. Jangjun tidak ambil pusing dengan segala peralatan aneh di rumah sakit ini.

Terlepas dari itu semua, Jangjun baru saja menyaksikan keajaiban Tuhan. Tuhan bisa melakukan segalanya, bahkan membuat gumpalan daging yang sebesar anak kucing itu masih bernapas.

Tuhan benar-benar Maha Kuasa.

"Je! Apa yang kau lakukan, heh?"

Sebuah suara begitu mengejutkan Jangjun hingga hampir jatuh menimpa aquarium di hadapannya.

Jangjun berbalik. Terlihat Jia, kakaknya, baru masuk ruangan ini dengan menggunakan pakaian steril lengkap dengan masker.

Jia berjalan mendekat ke arah Jangjun yang lebih akrab disapa Jeje biasanya. Sudah sekitar sebulan ini ia harus pulang pergi ke rumah sakit demi gumpalan daging yang disebut adiknya tadi. Setidaknya, ia akan mengambil alih merawat gumpalan daging itu sembari menunggu adiknya cukup dewasa.

Baiklah, Jangjun memang seorang remaja yang masih jauh menuju fase dewasa. Ini gara-gara kejadian yang baginya coba-coba, kini ia pun harus menuai apa yang telah ia tanam.

Jia menatap lekat adiknya. Ia tak tahu isi otak adiknya seperti apa hingga adiknya itu tetap santai-santai saja menghadapi semua kenyataan yang begitu mengejutkan akhir-akhir ini.

"Kakak kenapa di sini?" tanya Jangjum dengan muka polos yang selalu membuat Jia kesal.

"Bodoh! Kau tidak bisa seperti ini terus, Bodoh! Kau harus tetap menjalani hidup seperti kawan-kawanmu," sejenak Jia mendongak untuk menahan air matanya, "hasshh, lupakan! Sekarang pergilah sekolah. Biar aku yang menjaganya di sini."

Jangjun tersenyum singkat. Ia merasa perlakuan kakaknya berubah baik akhir-akhir ini.

"Lalu, kakak tak sekolah?" ucap Jangjun.

"Aku sudah memutuskan untuk home schooling mulai hari ini. Jadi, jangan pikirkan aku ataupun dia!" Jia menunjuk pada bayi yang berada di inkubator, "Fokuslah belajar dan bersikaplah seolah tak terjadi apa-apa. Karena kau tak seharusnya menanggung ini semua seorang diri."

Meskipun tak sepenuhnya mengerti apa maksud ucapan kakaknya, tapi Jangjn tetap mengangguk patuh.

Memang apa yang bisa diharapkan dari remaja berumur 15 tahun yang selama ini hanya memikirkan game?

***

Sepulang sekolah, tak seperti biasanya yang selalu menghabiskan waktu di game center, Jangjun lebih memilih langsung pergi ke rumah sakit.

"Jun! Main game sampai malam lagi yuk!" ajak Rafa, teman sekelasnya.

"Nggak. Ada yang menantikanku pulang lebih cepat saat ini," jawab Jangjun sembari berlalu meninggalkan kawannya.

Sejak saat itu, Jangun yang manja dan kekanakan sedikit berubah. Ia merasa harus menanggung segala atas apa yang telah di perbuatnya.

Terlepas dari itu semua, ia tak menyalahkan siapa pun. Ia sanggup mengurus putranya sendiri. Tak peduli jika bahkan ayahnya pun tak menginginkannya. Jangjun rela meninggalkan segalanya. Meninggalkan kemewahan, meninggalkan cintanya, hanya untuk tinggal bersama putranya, Kim Ryushin.

***

Setelah beberapa bulan, akhirnya Ryushin diperbolehkan untuk pulang. Organ dalam tubuh Ryushin juga sudah sempurna. Bayi Ryushin sudah sehat sekarang.

Ryushin menunjukkan kesehatan yang ajaib dan luar biasa. Saat ini, berat badan Ryushin sudah seperti bayi umur 6 bulan pada umumnya. Tidak ada yang menyangka bahwa bayi malang itu lahir dengan berat hanya 1,4 kg.

Jangjun menidurkan Ryushin di kasur bayi yang dibelikan oleh kakak perempuannya, Jia. Tentu saja segala perlengkapan bayi yang menyediakan adalah Jia.

Kalau Jia tidak turun tangan langsung, entah apa jadinya Ryushin di tangan Jangjun. Mungkin bayi itu akan dijadikan perkedel.

Ah entahlah, karena bagi Jangjun, bayi itu adalah mainan bagi dirinya. Tidak jarang Jangjun akan mengusap-usap wajah anak lelakinya itu karena gemas.

Jangjun memilih-milih buku yang bertumpuk di meja belajar. Terdapat berbagai judul buku. Ada buku tentang Etika Sebagai Orang Tua, Cara Merawat Anak, Cara Mengasuh Anak dari Bayi hingga Dewasa, Memasak Makanan Bayi, Menjaga Bayi dan sebagainya.

Ketika Jangjun sedang sibuk memilah-milah buku, tiba-tiba Ryushin menangis keras.

Jangjun tersentak. Jangjun tidak menyangka jika tangisan itu jauh lebih keras dari yang Jangjun dengar saat Ryushin berada di rumah sakit.

"Oeee! Oeee! Thatha eum!" Suara nyaring Ryushin.

Jangjun mencoba bersikap tenang, karena kepanikan akan membuat Jangjun salah langkah. Dia masih ingat benar ketika rasa panik yang membawa dia ke kecelakaan.

Panik saat mencoba menghangatkan seseorang, tetapi dia malah berbuat kesalahan fatal

Jangjun tercenung lama, hingga Jangjun mengingat ucapan kakak perempuannya tadi pagi.

"Jun, kalau Ryushin menangis, itu artinya Ryushin lapar atau mungkin bayimu mengompol. Jadi, Jun harus mengganti diapers Ryushin tiga jam sekali. Lalu, buatkan susu!"

Jangjun kembali terdiam. Jangjun menebak-nebak alasan kenapa putranya menangis.

Ryushin baru saja diganti diapers 10 menit lalu, jadi tidak mungkin kalau bayi itu mengompol.

Berarti kemungkinan kedua. Ya, pasti Ryushin sedang lapar. Astaga, bahkan Jangjun lupa kapan terakhir kali memberi susu pada Ryushin.

"Ooeee! Oeee! Tata! Eum!" teriakan Ryushin semakin menjadi. Bahkan, kini Jangjun harus menyumpal telinga dengan kapas.

"Tunggu sebentar ya, Baby. Papa akan membuatkan susu untuk putraku," ucap Jangjun lalu pergi, meninggalkan Ryushin yang masih menangis di kasur bayi, sendiri.

***

Jangjun membaca panduan takaran bubuk susu. Jangjun memasukkan 3 sendok bubuk susu ke dalam botol.

"Ooeeekkk!"

Suara nyaring lagi-lagi terdengar.

Jangjun begitu terkejut hingga menumpahkan satu bungkus penuh susu formula untuk putranya.

'Tangisanmu begitu keras, Baby. Mungkin jika sudah besar kamu dapat menjadi idol terkenal,' batin Jangjun. Dia berkhayal tentang kesuksesan putranya kelak.

"Ooeeekkk!" Tangisan Ryushin kali ini menyadarkan Jangjun dari kegiatan berkhayalnya tadi.

Jangjun menatap sendu bubuk susu yang berserakan di lantai. Bibirnya mengerucut. Semuanya sudah tumpah. Kalau membeli lagi, butuh lebih dari sepuluh menit.

Belum lagi Jangjun harus meninggalkan Ryushin di rumah, sendiri. Padahal, sebenarnya waktu berpikir Jangjun jika digunakan untuk membeli susu, dia pasti sudah pulang dari tadi.

Jangjun melihat sekeliling. Aman. Tidak ada kakak perempuannya yang jahat. Jangjun menyendok ceoat bubuk susu yang dia rasa masih bersih itu.

Kini, saatnya kembali membaca panduan yang tertera di kardus susu. Seusai mencampur bubuk susu dan air hangat, kini saat bagi Jangjun untuk mengecek suhu air apa sudah pas atau belum?

Umumnya kalau mengecek suhu air, orang tua akan meneteskan ke tangannya. Namun, Jangjun berbeda. Jangjun memasukkan dot langsung ke mulut. Agar lebih akurat mengecek suhu air.

Sluurrrp!

Satu tegukan.

Sluurrrp!

Dua tegukan.

"Eh, susu ini enak?" gumam Jangjun.

Sluuuurrrpppp!

Beberapa tegukan hingga satu botol habis diminum Jangjun.

"Ah, tanpa sengaja saya sudah menghabiskan semua susu di botol ini." Jangjun menyesal

Jangjun kembali menyendok bubuk susu yang ada di lantai. Seperti tutorial di atas, kini Jangjun juga melakukan hal yang sama hingga berulang kali.

Keadaan Ryushin bagaimana?

Suara tangisan Ryushin saat ini sudah serak dan hampir tidak terdengar.

Jangjun baru tersadar dari kegiatan konyolnya, saat pintu rumahnya terbuka kasar.

Di ambang pintu dapur, Jia berdiri sambil berkacak pinggang. Napasnya memburu. Amarahnya membuncah.

"Apa saja yang kamu lakukan, Bodoh! Kenapa Ryushin menangis sampai sepertu itu!" teriak Jia. Jia berjalan dan memukul kepala Jangjun dengan kejam.

"Aku sedang membuat susu, Kakak perempuan Jia. Tapi ... tapi saat aku mengecek suhu airnya ... hmm itu ... anu ... tiba-tiba habis."

Jia melotot ke arah adik lelakinya. Jia melihat sisa-sisa susu di sudut bibir Jangjun. Kini Jia memahami situasi.

"Kim Jangjun! Berhenti meminum susu itu dan cepat beri susu itu ke Ryushin! Kau ingin putramu kelaparan, hah?!"

Sejak saat itu, Jangjun bersumpah tidak akan mencoba memakan makanan putranya lagi.

Jangjun jadi terkenang masa-masa itu kembali. Jangjun masih berada di kamar putranya saat ini.

"Huweee, Papa. Shin masih begitu sedih. Apa yang harus Shin lakukan, Papa?" tangisan Ryushin terdengar begitu memilukan.

Jangjun berusaha menenangkan putranya kembali. Jangjun mengusap lembut punggung Ryushin.

"Tenang saja, Putraku. Uang bukan segalanya di dunia ini. Jangan sedih lagi! Papa selalu berada di sampingmu meski kita berdua tidak mempunyai uang sama sekali saat ini," kata Jangjun.

"Shin menaruh pecahan lima puluh ribuan dan seratus ribuan juga di tabungan berbentuk babi milik saya, Papa. Bagaimana bisa pencuri itu tidak meninggalkan sedikit uang pun untuk kita?" Ryushin berkata lirih di tengah-tengah tangisannya.

"Tidak mungkin itu, Shin. Tabunganmu hanya ada pecahan uang dua ribuan." Jangjun menyela. Tanpa Jangjun sadari, sebenarnya putranya telah menjebaknya untuk mengaku.

Ryushin melirik tajam ke arah papanya. Jadi, sudah dapat dipastikan bahwa papanya yang telah menghancurkan tabungan berbentuk babi milik Ryushin.

"Jadi, papa yang telah mencuri uang Shin?" tanya Ryushin, marah.

Jangjun tidak menjawab. Ia lebih memilih pergi dari hadapan putranya saat ini juga. Melarikan diri adalah satu-satunya cara untuk menghadapi amarah putranya.

"Papa! Kembalikan uang Shin!" teriak Ryushin, frustrasi.

"Nggak mau!!" sergah Jangjun.

"Kembalikan pokoknya!!" jeritan memekakkan telinga memenuhi rumah kecil yang ditinggali Jangjum bersama putranya.

Jangjun menyadari kalau teriakan itu mungkin akan mengganggu tetangganya. Jangjun segera mendekat ke arah kamar Ryushin dan membekap mulut putranya, yang kini tingginya sudah setinggi telinga Jangjun.

"Jangan teriak-teriak, Shin!! Nanti kalau Ryushin Lovers datang menyerbu rumah kita gara-gara teriakanmu, bagaimana hah?!" bentak Jangjun kembali. Dia masih membekap mulut Ryushin.

"Huwaakkkhhh, nggak mau tahu!"

"Iya, kamu emang nggak suka tahu dari kecil kok, papa paham itu, Nak!" sahut Jangjun, tidak nyambung.

"Ini benar-benar bencana, Pa! Mana ada orang tua yang mencuri tabungan putranya sendiri, hah?! Kenapa papa tega sama Ryushin?!," tangis Ryushin kembali pecah. Ia menangis sesenggukan.

"Papa cuma minjem, Shin! Kamu ini pelit amat sama papa sendiri!"

"Papa itu dzalim sama anak sendiri! Udah tahu Ryushin mengumpulkan uang itu dengan susah payah. Bahkan, sampai jualan koran juga. Tapi, kenapa tega nyuri uang Ryushin, hah?!" teriak Ryushin, kesal. Dia masih ingat bagaimana perjuangannya mengumpulkan itu. Tapi, papanya seenaknya saja memakai.

"Lha ... yang kamu buat beli baju dan belanja-belanja tadi itu kamu kira uangnya siapa, hah?!"

"Ja-jadi? Yang kita pakai buat belanja pakaian tadi itu uangnya Ryushin, Pa? Hah?" pekik Ryushin, kecewa.

"Buwahahahha sebenarnya Papa yang mecahin celenganmu memang buat untuk belanja tadi,," ucap Jangjun tanpa rasa bersalah sedikit pun.

"APA?!"

"Kenapa? Katanya kamu mau mengorbankan apapun demi menonton film horror Beranak Dalam Sumur, huh?" ucap Jangjun kembali. Kali ini disertai tawa yang sungguh nista.

Bahu Ryu-shin naik turun. Napasnya terengah karena menahan emosi. Ia mengambil serpihan tembikar dari celengannya dan mengarahkannya pada Jangjun.

"GAK MAU TAHU, POKOKNYA GANTI!" ancam Ryushin. Masih mengacungkan tembikar itu ke arah papanya.

Mata Jangjun melotot karena melihat putranya yang seperti orang kesurupan.

"Hey, jangan main-main, Shin. Itu berbahaya, Nak! Masa' kamu tega membunuh papanya sendiri cuma gara-gara uang sih, Shin? Kau mau viral kayak kasus anak yang bunuh ayah dan abangnya gara-gara nggak dikasih duit itu, hah?!" teriak Jangjun, panik. Dia terus mundur karena Ryushin masih mengacungkan pecahan tembikar ke arahnya.

"POKOKNYA PAPA HARUS GANTI DULU! ITU UANG UNTUK PERGI KE JAKARTA!" teriak Ryushin, masih mengacungkan serpihan tembikar ke arah papanya.

"Kalau nggak mau bagaimana?" sahut Jangjun, cepat.

"KALAU NGGAK PAPA GANTI, AKU AKAN MELAPORKAN PADA TANTE JIA!" ancam Ryushin kembali sambil berteriak.

"Nggak mungkin bisa! Kak Jia kan sudah pindah ke Korea Selatan, wlee!!"

"Meskipun begitu, Tante Jia pasti akan terbang langsung ke sini kalau Ryushin mengadu semua kelakuan papa!" ancam Ryushin kembali.

"Janganlah kalau gitu, Shin. Apa kamu tega melihat papa nanti di-smackdown sama tantemu yang jahatnya melebihi ibu tiri itu, huh?!!" Jangjun memelas. Dia memasang wajah semenyedihkan mungkin agar dimaafkan oleh putranya.