webnovel

Anak Ayam

"GAK MAU TAHU, POKOKNYA GANTI!" ancam Ryushin. Masih mengacungkan tembikar itu ke arah papanya.

Mata Jangjun melotot karena melihat putranya yang seperti orang kesurupan.

"Hey, jangan main-main, Shin. Itu berbahaya, Nak! Masa' kamu tega membunuh papanya sendiri cuma gara-gara uang sih, Shin? Kau mau viral kayak kasus anak yang bunuh ayah dan abangnya gara-gara nggak dikasih duit itu, hah?!" teriak Jangjun, panik. Dia terus mundur karena Ryushin masih mengacungkan pecahan tembikar ke arahnya.

"POKOKNYA PAPA HARUS GANTI DULU! ITU UANG UNTUK PERGI KE JAKARTA!" teriak Ryushin, masih mengacungkan serpihan tembikar ke arah papanya.

"Kalau nggak mau bagaimana?" sahut Jangjun, cepat.

"KALAU NGGAK PAPA GANTI, AKU AKAN MELAPORKAN PADA TANTE JIA!" ancam Ryushin kembali sambil berteriak.

"Nggak mungkin bisa! Kak Jia kan sudah pindah ke Korea Selatan, wlee!!"

"Meskipun begitu, Tante Jia pasti akan terbang langsung ke sini kalau Ryushin mengadu semua kelakuan papa!" ancam Ryushin kembali.

"Janganlah kalau gitu, Shin. Apa kamu tega melihat papa nanti di-smackdown sama tantemu yang jahatnya melebihi ibu tiri itu, huh?!!" Jangjun memelas. Dia memasang wajah semenyedihkan mungkin agar dimaafkan oleh putranya.

"Ya makanya ganti uangnya Ryushin, Pa! Ryushin kasih waktu satu minggu, kalau dalam satu minggu papa belum juga bisa mengganti uangnya Ryushin, Ryushin akan mengadu ke Tante Jia pokoknya. TITIK!!" teriak Ryushin, frustrasi.

Pada akhirnya, Jangjun mengganti uang tabungan Ryushin. Itu juga hasil menjual jam tangan Ryushin hadiah dari tantenya, tentu saja tanpa sepengetahuan Ryushin juga.

Jangjun jadi takut pada anaknya sendiri mulai sekarang. Ah tunggu! Sebenarnya, Jangjun memang sudah takut pada Ryushin bahkan ketika Ryushin masih berusia 10 tahun. Ryushin itu lebih licik dari kriminal, batin Jangjun.

***

Bocah berusia sepuluh tahun itu menatap malas ke arah piring yang berada di hadapannya. Menu yang sama seperti pagi tadi  Hanya nasi, telur mata sapi gosong dan sedikit kecap manis.

Setiap hari selalu sama. Tidak peduli itu pagi, siang, atau malam. Ryushin selalu diberi papanya olahan dari telur untuk dijadikan lauk pauk.

Terkadang telur gulung, terkadang telur ceplok, telur dadar, kadang juga telur rebus. Maka dari itu, dilihat dari segi mana pun, Ryushin terlihat mirip telur. Bulat oval.

Terkadang, hanya akhir bulan saja Ryushin merasa benar-benar makan enak. Tidak ada yang lebih enak dari mie instant ditambah telur.  Benar bukan? telur lagi.

"Kenapa hanya diperhatikan makanannya? Cepat makan dan tidur, Shin?" perintah pemuda tampan berusia awal dua puluh lima tahunan, Jangjun.

Jangjun duduk di hadapan bocah berusia sepuluh tahun tadi, putranya.

Keringat dingin bercucuran dari pelipis pria yang masih menggunakan pakaian kotor.

Well, Jangjun baru saja pulang dari bekerja. Menjadi kuli angkat barang adalah pekerjaan samping Jangjun selain bekerja di kafe pada malam hari.

Selain itu, terkadang Jangjun menjadi kuli bangunan juga pada siang hari. Menghitung uang koin yang berhasil Jangjun kumpulkan hari ini, pria itu lantas menatap lagi putranya.

"Papa sudah sering bilang bukan? Jangan pernah pilih-pilih makanan! Bersyukurlah kalau Shin masih dapat makan walaupun hanya lauk telur," ucap Jangjun.

Dalam hati sebenarnya Jangjun menangis. Jangjun merasa menjadi papa yang tidak berguna.

Bahkan, hanya untuk membeli ayam untuk anak satu-satunya saja Jangjun tidak mampu.

Kerja keras Jangjun selama ini hanya cukup untuk membayar sewa rumah, biaya sekolah putranya dan sedikit membeli bahan makanan.

"Papa?"

"Iya?"

"Apa papa tidak pernah merasa berdosa?" tanya bocah berusia sepuluh tahun tadi. Ryushin namanya.

Jangjun, sang papa, terdiam. Dalam hati Jangjun menjawab, 'Iya, Putraku. Papa merasa sangat berdosa padamu. Papa orang tua yang tidak berguna.'

Namun, daripada mengungkapkan itu, Jangjun lebih memilih mengabaikan pertanyaan putranya. Kembali menghitung uang koinnya.

"Saya tidak yakin Papa akan berpikiran sama seperti saya. Ini benar-benar tindak kriminal, Papa!"

Ryushin berucap sedikit keras. Ryushin tidak bermaksud kurang ajar, tapi entah kenapa ia sangat marah pada papanya malam ini.

Bahkan, mata Ryushin terlihat berkaca-kaca akibat kemarahan yang dia pendam.

Jangjun memang bukan orang yang sabar. Jangjun sering kali lepas kendali dan memukul Ryushin, walau pada akhirnya Jangjun sangat menyesal.

"Apa maksudmu, Shin?!" bentak Jangjun.

Jangjun berjalan mendekat ke arah Ryushin. Jangjun mencengkeram kedua lengan putranya itu. Rasa lelah campur mengantuk telah membuatnya emosi.

Ryushin mengigit bibirnya, menahan sakit di lengan. Tidak berani menatap mata papanya, Ryushin mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Apa maksud kamu berkata kalau aku ini kriminal?! Benar, aku memang kriminal. Apa Ryushin menyesal tinggal bersama Papa?" bentak Jangjun. Dia semakin mempererat cengkeramannya.

Ryushin meringis kesakitan. Walau seberat apa pun hidupnya, Ryushin berjanji tidak akan pernah menangis. Ryushin ingin terlihat cool seperti kakeknya.

"Papa, maafkan saya! Bukan maksud saya seperti itu. Lepas, Pa! Ini sakit," Ryushin berucap.

Jangjun menghela napas dalam. Tidak seharusnya Jangjun melampiaskan amarahnya seperti itu.

Ryushin tumbuh dengan baik, seharusnya Jangjun sudah bersyukur tentang itu.

Kalau mengingat Ryushin saat lahir hanya memiliki berat badan hanya 1,4 kg, seharusnya Jangjun sadar. Apa karena Ryushin sudah tumbuh besar dan sedikit gemuk, membuat Jangjun berhak memukulnya?

"Ah lupakan saja!"

Jangjun menarik tangannya dari lengan Ryushin.

Jangjun mengusap kasar wajahnya, menyesal.

"Papa?" panggil Ryushin sambil menarik ujung bawah baju Jangjunn.

"Apa yang salah?" sahut Jangjun.

"Terima kasih," ucap Ryushin.

Sedikit takut memang, tapi Ryushin mencoba lebih terbuka dengan papanya. Di usianya yang sedini itu, Ryushin telah mengerti penderitaan papanya.

"Untuk apa?" tanya Jangjun lembut. Jangjun mulai bisa mengontrol emosinya saat ini. Diaa duduk di samping Ryushin.

"Awalnya Shin kira kalau Papa selalu memasak telur ayam itu adalah tindak kriminal," ucap Ryushin begitu pelan. Takut dimarahi papanya lagi.

"Kenapa?" Jangjunn sedikit terlonjak.

Masak telur? Kriminal? Berarti kriminal bagi nya itu bukan tindak pembunuhan atau semacamnya?

Hahahaha

Jaangjun menertawakan atas kebodohannya dalam hati. Kenapa Jangjun dapat begitu bodoh tadi? Seharusnya, Jangjun mendengarkan perkataan Ryushin sampai selesai dulu.

"Lalu?" Jangjun mengusap lembut ujung kepala putranya.

Ryushin mengangkat telur dadar yang ada di piringnya, lalu berkata,

"Kini Shin sadar, Papa, bahwa telur adalah makanan istimewa. Ada kehidupan kecil di dalamnya yang tidak dapat kesempatan melihat dunia.

Kemurniannya tidak pernah terjamah oleh dunia luar. Kesedihan yang hanya hidup sebentar, protein tinggi campuran dari daging, tulang dan kulit. Kemurnian dan tragedi adalah nutrisi yang baik untuk masa pertumbuhanku, Papa. Shin benar-benar berterima kasih untuk itu semua."

Seketika itu juga seolah Jangjun melihat bayangan anak ayam yang menangis.

"Chirp chirp chirp jangan makan aku chirp chirp! Biarkan aku hidup dan melihat dunia chirp chirp!"

Jangjun tersentak. Dia membuang jauh-jauh telur yang dipegang Ryushin tadi.

"Akh, sial! Mulai besok Papa janji tidak akan memasak telur lagi, Shin!" ucap Jangjun sembari berjalan menuju kamarnya.

Ryushin menatap punggung papanya hingga menghilang di balik pintu kamar. Ryushin menarik sudut kanan bibirnya.

Ryushin bergumam, "Hehehehe dasar papa payah! Saya tahu Anda tidak pernah berpikiran sampai ke situ, bukan?"

Dan sejak saat itu Ryushin mulai belajar memasak sendiri.

Bermodalkan buku resep masakan yang Ryushin pinjam dari bibi tetangga sebelah, Ryushin mulai menyiapkan makanan hampir setiap hari.