webnovel

Teman?

"Pindah!"

"Heh! Pindah, sono! Lo denger nggak, sih?!"

Pagi itu, hal pertama yang Hara lihat saat melangkahkan kaki ke dalam kelas adalah Rey yang duduk sambil menundukkan kepala. Sedangkan beberapa cowo meneleng kepalanya berkali-kali. "Pindah, woy! Lo budeg, ya?!"

Ada beberapa siswa lain disana, tapi mereka diam saja. Seolah aksi bully yang ada dihadapan mereka adalah tontonan yang layak. Aldo yang sudah kehabisan kesabaran karena Rey tak kunjung beringsut langsung menarik tas-nya.

Hara tak bisa menahan diri, ketika Aldo mengeluarkan semua isi tas Rey dengan cara menjatuhkan barang-barang cowok itu ke lantai.

"Isi tas lo nggak berubah, Girl."

Saat Hara mulai melangkah, tangannya di tahan oleh seorang perempuan. Wajahnya masih terasa asing. Tapi, Hara yang pasti, dia adalah teman sekeasnya. "Jangan ikut campur,"

Tapi, Hara tak peduli. Ia melepaskan tangan temannya itu pelan, dan menghampiri Rey disana.

Hara menatap Aldo tajam, dan cowok itu hanya tersenyum puas. "Bagus, lo disini."

"Ini masih pagi, Do. Bukannya jam ngebully orang itu pas istirahat, ya?"

Aldo menyeringai. "Gue cuma mau nunjukkin, siapa Rey disini. Sekelas udah pada tau dia siapa, dan karena lo itu murid baru, lo juga harus tau siapa dia."

Rey langsung berjongkok, dan segera mebereskan barang-barangnya yang berantakan saat Aldo menginjak cermin kecil miliknya hingga retak.

"Gue udah tau siapa Rey, tapi gue nggak peduli."

Setelah itu, Hara berjongkok. Membantu Rey memasukkan seluruh barang-barangnya ke dalam tas. Tidak perlu di tebak lagi isi tas-nya, yang pasti tidak jauh berbeda dengan barang-barang yang biasa di temukan di dalam tas seorang cewek. Hanya sebagian kecil, sih.

Rey menutup resleting tas-nya dan kembali duduk, sebelum akhirnya kerah seragamnya di tarik paksa. "EH! Ngapain duduk disini, Lo nggak denger?! Gue tadi nyuruh lo pindah, kan?"

Rey di seret, dan dipaksa duduk di kursi paling pojok. Tempat duduknya jauh dari Hara dan Rey tahu, bahwa kursi ini sebelumnya di duduki oleh Aldo. Rey hanya bisa menghela nafas, dan duduk disana sambil menenggelamkan kepalanya diantara lipatan lengan.

Rey kadang benci dirinya sendiri, karena tidak bisa melawan.

*

Hara menatap nanar sosok Rey di pojok sana. Ia memutar bola mata ketika harus menerima fakta bahwa Aldo yang kini duduk disebelahnya. Cowok itu tersenyum, karena puas dengan apa yang ia dapatkan sekarang. "Hai?"

Hara berdecih. "Lo malah lebih buruk dari yang gue bayangin."

First Impression Aldo di mata Hara memang buruk sejak awal mereka bertemu.

***

Selama jam pelajaran, Hara tak bisa menahan diri untuk tidak menolehkan kepala ke belakang. Memastikan Rey baik-baik saja, karena cowok itu terus saja menyembunyikan wajahnya.

Sampai sebuah penghapus mengenai kepalanya, membuat Hara menolehkan kepala ke sekitar untuk melihat siapa pelakunya. Dan, Aldo tersenyum.

"Diem, please. Gue nggak lagi mau bercanda."

"Gue bakal bilang ke Ibu Farah kalau lo main-main di kelas."

Demi apapun, Hara nggak suka dengan senyum Aldo. Senyumnya lebar, tapi terkesan sinis. "Gimana kalau gue juga bakal bilang, lo tukang bully di kelas ini, deal?"

Tapi, Hara mengabaikannya dan menolehkan kepalanya lagi ke belakang.

Aldo mengangkat tangan, membuat seluruh siswa, terutama seorang wanita paruh baya dengan kacamata plus yang berdiri di depan papan tulis itu menolehkan kepala kearahnya. "Bu, Hara bisa jawab soal di depan!"

Anjir.

Hara mengerang dalam hati. Dan mau tak mau, ia bangkit dari kursinya. Untuk terakhir kalinya, Hara menatap Aldo dengan tatapan menusuk. Tapi, cowok itu terus saja tersenyum.

"Semua orang udah tau, gue selalu menang disini." Aldo bergumam.

Hara menarik nafas panjang dan melangkah untuk maju ke papan tulis. Sekarang memang masuk ke sesi latihan soal.

Sekarang Hara memikirkan sesuatu yang lain, daripada memikirkan soal yang rumit di papan tulis. Yaitu bagaimana caranya ia bisa membalas makhluk sialan itu?

***

"Mau ke kantin nggak?" Hara mengambil posisi duduk di sebelah Rey, menoel lengan cowok itu usil.

"Kantin, yuuuuk!"

Rey menggeleng. "Duluan,"

"Lo sakit? Mau gue anterin ke UKS?"

Rey menggeleng. "Minggir, jangan deket-deket,"

Hara mengerutkan dahi. "Ih, suka pura-pura gitu, kita... temen, kan?"

Rey menarik nafas, lalu mengangkat wajahnya dan menegakkan tubuh. Dari sini, Hara dapat melihat, betapa pucatnya wajah Rey sekarang.

"Gue nggak mau punya temen. Jadi jangan sok deket."

Rey membuka tas-nya mengambil sisir kecil untuk merapikan poninya yang sedikit berantakan. Ia juga memperbaiki letak bando hitam di kepalanya, sebelum akhirnya bangkit dari kursi dan meninggalkan Hara sambil membawa dompet di tangannya.

Hara tersenyum geli.

Makin lo ngejauh, gue makin gemes sama lo.

Dasar tai.

***

"Gue duduk disini, yaa.." Hara tersenyum, meletakkan semangkuk bakso di meja sekaligus mengambil sepasang sendok dan garpu.

Rey memutar bola matanya, ia lebih mengabaikan keberadaan Hara yang duduk didepannya, karena semangkuk bakso ekstra sambal ini faktanya lebih menggoda.

'Jangan anggap dia ada...'

"Gue baru pertama kali nyobain bakso di kantin ini. Lo tau? Di sekolah yang dulu, gue paling anti ke kantin."

Rey mengerutkan dahi, dalam hati ia ingin bertanya; kenapa?

Seolah bisa membaca pikiran Rey, perepmuan itu mengangkat bahu. "Soalnya, kalau ke kantin gue pasti di_"

"Minggir!" Suara berat tersebut membuat Rey dan Hara menoleh ke arah yang sama.

Seorang cowok berpostur tubuh tinggi, yang menbawa sepiring siomay menatap mereka bergantian. "Nggak denger? Minggir."

"Lo ngusir kita?" kata Hara, penuh dengan penekanan.

Aldo tersenyum. Terus saja tersenyum, seolah ia merasa senyumnya adalah senyum yang paling baik. Ia mengalihkan pandangan ke arah Rey. "Nggak gue nyuruh dia doang."

Rey hanya tak ingin makan siang seluruh penghuni kantin terganggu, ia mengangkat mangkuk baksonya, dan mulai berdiri. Lagi. Entah untuk yang keberapa kalinya ia harus mengalah.

"duduk, nggak ada yang nyuruh lo berdiri." Hara menatap Aldo, sekaligus tangannya menahan Rey agar tetap di tempat.

Aldo mendengus, menaruh piring siomay-nya kasar hingga menimbulkan suara gaduh dan menimbulkan suara gaduh dan mengalihkan perhatian seisi kantin. "Coba liat, ini bikin gue makin tertarik. Sebenernya ada hubungan apa lo sama Rey sampe sebegitu pedulinya?"

Rey menahan nafas, sekaligus degup jantungnya. Biasanya ia bisa mengatasi siatuasi ini, membiarkan Aldo mendapatkan apa yang ia mau tanpa harus ribut seperti sekarang. Tapi, semenjak Hara di sampingnya, Rey rasa tak ada yang berubah dan justru keberadaannya malah membuat ini semakin rumit.

"Udahlah," Rey bergumam. Sesekali melirik Aldo yang berdiri di sebelahnya.

"Minggir!" Kali ini, Aldo mulai main kaki. Menendang kursi Rey yang tak juga bangkit. "Hey! Minggir!"

Rey buru-buru mengangkat mangkuk baksonya. Tubuhnya gemetar saat mulai bangkit berdiri. Hara menarik nafas panjang, mood makannya langsung menurun drastis begitu Aldo datang.

"Gue juga mau pindah," Hara memutar bola mata. Lalu mulai berdiri.

Aldo berdecak, menarik mangkuk bakso Hara agar perempuan itu tidak pergi. "Gue nggak nyuruh lo pindah."

Hara tersenyum. "Kalau gue maunya pindah, gimana dong?"

Aldo berdecih. "Please, gue Cuma mau makan siang bareng lo, itu doang."

Hara memutar bola mata. "Cara lo salah, dan kebetulan, gue juga lagi nggak mau makan bareng lo."

Aldo mengepalkan tangannya. Nafasnya tertahan, dan sebisa mungkin ia berusaha mengendalikan emosinya. Tapi, sekarang tidak bisa.

"Jangan marah, karena ini lo yang maksa,"

Kesal, Aldo meraih gelas air putih di meja. Menatap Rey tajam dan akhirnya, ia menyiramkan air tepat pada wajah Rey hingga seragamnya basah. "Apa gue harus kaya gini dulu, baru lo nurut, hm?"

Hara membulatkan matanya. "Astaga! Lo gila, ya!"

Diam-diam, Rey menahan nafas. Tetap menjaga keseimbangan agar semangkuk bakso yang ia pegang tidak jatuh ke lantai. Tapi, Rey nggak bisa. Tangannya terlajur gemetaran, dan ia hanya bisa menaruh mangkuknya di meja lalu pergi keluar area kantin.

Matanya memanas. Harusnya Rey suadah terbiasa, tapi untuk kali ini, entah kenapa rasanya Rey benci dirinya sendiri.

Benci karena selalu gemetaran.

Benci karena ia tidak bisa mengepalkan tangan dan melayangkan tinjunya.

Benci, karena ia justru kabur.

Hara menyeringai sinis. "Gini ya kelakuan lo? Gue bener-bener baru tau."

"Dan lo juga harus tau, kelakuan gue masih mending daripada kelakuan Rey."

"Lo emang-"

"Liat, kan? Kalau dia ngerasa cowok, harusnya dia nonjok gue, nggak kabur gitu aja. Tingkahnya emang kayak cewek. Dan sekarang gue tau, yang kaya gitu tipe cowok lo?"

Hara menarik nafas. Ia menatap Aldo tajam dan tidak peduli lagi berapa pasang mata yang kini menatapnya aneh. Menganggapnya murid baru yang 'sok' karena terlalu berani menghadapi Aldo.

"Sayangnya, gue nggak bakal mau jadi Rey. Kalau pun itu satu-satunya cara buat bikin lo suka sama gue."

Di kalimat terakhir, Aldo mengecilkan suaranya. Persis seperti gumaman tapi Hara masih tetap bisa mendengarnya.

Situasi ini benar-benar lucu.