webnovel

Restart [2]

"Ya ampun, Har... Lo kemana aja?"

"Lo sakit apa, sih? Sampe dua minggu absen?"

"Gila, tugasnya pasti numpuk, tuh."

"Har, kok lo kayak orang linglung gitu, sih?"

"Hara udah masuk sekolah?! Seriusan, Ih charger-an hp gue kebawa sama dia dua minggu lebih, astaga!"

"Kata Pak Sapto jangan lupa kerjain makalah, Har."

"Lo udah mendingan? Sakit apa, sih?"

"Kata Aldo lo di rawat, emang sakit apa?"

Hara kebingungan menanggapi rentetan pertanyaan dan keluhan ketika pertama kali menginjakkan kaki di lantai kelas. Beberapa teman mengerubunginya seakan seperti anak hilang yang baru saja ditemukan. Kepalanya menoleh kesana kemari memandangi wajah teman-temannya yang terasa asing, padahal Hara hanya tidak melihat mereka sekitar dua mingguan.

Tara yang memang berangkat bersama Hara langsung memecah kerumunan dan dengan cerewetnya mengomeli teman-teman mereka yang kelewat kepo itu. "Eh, udah ya. Lo pada jangan banyak nanya! Bisa-bisa Hara masuk rumah sakit lagi gara-gara stress denger pertanyaan kalian semua!"

"Lo, kok berangkat bareng Hara, sih? Rumah kalian kan beda arah. Jauh-jauhan lagi!"

"Iye, sejak kapan lo sama Hara deket?"

Pertanyaan satu itu membuat Tara berdecak sebal dan menyilangkan kedua tangan di bawah dada. "Eh, sebagai teman yang baik dan setia kawan, selama ini gue nginep di rumah Hara, ya! Nemenin dia, Bokapnya, kan nggak ada di rumah!"

"Lagian udah, deh. Nggak usah pada kepo nggak jelas," Suara berat dari arah yang berlawanan membuat mereka yang mengerumuni Hara diam seribu bahasa.

Aldo menyimpan tas-nya di bangku sebelah Hara. Bagaimana pun ia masih ingat betul, bahwa tempat duduknya adalah di sebelah cewek itu. Meskipun dulu Aldo harus membully Rey untuk mendapatkan kursi di sebelah Hara seperti sekarang.

"Eh, udah lo pada bubar-bubar!" Tara mengusir teman-temannya yang entah kenapa membuat atmosfer kelas menjadi sesak. "Sumpek semua, Ya Elah!"

Hara hanya terkekeh kecil melihat perilaku Tara yang heboh seperti biasa. Mungkin karena baru sekarang Hara mengenal dekat perempuan itu, hingga entah mengapa kebiasaan Tara yang hobi teriak-teriak menjadi terasa begitu menggemaskan jika dibandingkan dengan image dewasa-nya yang kemarin-kemarin.

"Har, lo duduk sini sama Aldo, ya?" Tara menunduk agar Hara bisa mendengar suaranya lebih jelas lagi. "Ntar kalau istirahat lo bareng gue, Oke?"

"Hmm." Hara mengangguk, dengan senyum tipisnya yang khas. Ia mulai terbiasa berdekatan dengan Aldo—seseorang yang dulu sangat ia hindari.

"Kalau gitu, gue balik ke bangku gue, yap!" Tara menunjuk bangku paling depan sekaligus paling pojok itu dengan jempolnya. Tubuh rampingnya segera berbalik dan berlari kecil menuju bangkunya sendiri.

Ketika Hara menoleh ke samping, hanya ada ransel hitam yang tertinggal di bangku sebelahnya. Entah Hara yang baru menyadarinya, atau memang ini kebiasaan baru Aldo. Cowok itu sudah menghilang begitu saja; mungkin ke kantin, mungkin merokok di toilet atau mungkin juga bermain basket. Tak peduli meskipun ini masih pagi sekali.

Selanjutnya, tanpa bisa Hara cegah, kepalanya menoleh ke bangku paling pojok belakang yang masih kosong dan sepertinya sepanjang hari ini bangku itu akan tetap kosong karena penghuninya masih absen. Hara menarik nafas panjang dan berusaha untuk tidak peduli.

Iya, Hara harus berusaha untuk berhenti peduli.

Karena menurutnya, mempedulikan Rey tak membuatnya beruntung. Tidak sama sekali.

***

"Kak Dinda datang!!"

"Yeee! Kak Dinda bawa apa?!"

"Asik! Cheese cake!"

Kedatangan perempuan manis dengan rambut sebahu yang dibiarkan tergerai itu langsung disambut ricuh oleh gerombolan anak berusia sepuluh tahunan yang tadinya sedang asyik bermain bola di halaman belakang.

"Eh, bentar-bentar... Kakak ambil piring sama pisau dulu, ya." Dinda berdiri, masih dengan cengiran lebarnya.

Kaki jenjangnya melangkah ke arah dapur. Namun, sebelum itu, Sosok Bunda Sarah muncul dari arah tangga. "Loh? Kamu dateng? Kenapa nggak bilang... kemarin udah Bunda bikinin Sop Buah tapi nggak jadi dateng..."

Dinda, namanya. Perempuan manis itu langsung menghambur ke pelukan wanita setengah baya yang masih terlihat awet muda itu. "Yaah, Bunda maaf... Kemarin Dinda kebagian tugas kelompok, terus pulang Sore. Lagian udah di telfonin Mama disuruh buat langsung pulang, jadi nggak sempet."

Bunda Sarah hanya terkekeh kecil. Kepalanya mendongak ke arah lantai dua seolah sedang mencari-cari seseorang. "Mana dia? Kok dari tadi nggak keluar kamar?"

"Siapa, Bun?" Dinda melonggarkan pelukannya.

"Itu si—"

"Kak Dindaaa! Piringnya mana?"

Dinda mengerjap, menepuk jidatnya dengan gerakan jenaka. "Eh, astaga, Piring... Bentar, ya Bun... Mau ngambilin piring buat adek-adek."

"Kamu emang bawa apaan?" Tanya Bunda Sarah, meskipun tubuh Dinda sudah berjalan beberapa meter ke arah dapur.

"Cheese cake!" Dan bahkan Dinda masih juga sempat menjawab pertanyaan Bunda Sarah walaupun dengan teriakan kecil.

***

Dinda bersenandung kecil, sambil matanya berusaha meneliti dapur untuk pencari sebuah pisau untuk mengiris. Sebuah piring kaca sudah dipegangnya, setelah ia ambil dari lemari tempat menyimpan segala jenis perabotan dapur.

"Pisau mana, sih?" Perempuan itu mendesah, dan matanya langsung berbinar begitu menemukan benda tajam itu di atas meja makan dekat semangkuk besar buah-buahan.

Entah sugesti dari mana, kepalanya menoleh begitu mendengar suara keran air dari kamar mandi. Kemudian suara air yang khas itu menghilang disusul dengan derit pintu kamar mandi yang terbuka. Dan matanya langsung membulat sempurna begitu mendapati sosok jangkung seorang cowok melangkah dari arah dapur.

Ia juga sama terkejutnya, ketika pandangan mereka sama-sama bertemu. Sensasi deja vu, dan memori yang dulu sempat terlupakan itu berputar kembali secara random di benak keduanya.

Earphone yang Rey kenakan terlepas begitu saja dari telinga kanannya, hingga hanya sebelah yang terkait di telinga satunya. Ia masih terus berkedip, dan tangannya hampir mencengkram erat ponselnya yang basah akibat tercebur ke bak mandi, tadi.

Dinda nyaris menjatuhkan piring kaca ke lantai, dan pisaunya juga bisa ikut jatuh lalu melukai kakinya jika ia tidak segera mengontrol diri dan mengumpulkan nyawa. Bentuk wajahnya mungkin berubah, tapi Dinda hafal betul siapa sahabat masa kecilnya yang hampir terlupakan. Perempuan manis itu memiringkan kepalanya, seraya menyipit untuk menerka-nerka sosok di depannya. "R-Reynand?"

"Hh?" Rey justru mengerutkan dahinya, sebagai respon otomatis ketika namanya di panggil.

Ia sebenarnya tidak terlalu terkejut begitu mendapati sosok perempuan yang tadi sempat ia dengar suaranya selama berada kamar mandi. Rey tahu, Dinda pasti akan kesini. Satu hal yang sejak tadi menjadi beban pikirannya—bahkan ketika ia memutar knop pintu kamar mandi dan membuat pilihan untuk keluar dari pada bersembunyi di bilik toilet; Rey hanya bingung bagaimana harus bersikap.

Karena ini adalah kali pertama mereka bertemu, setelah sekian lama.

"Hai," Rey hanya meringis dan tersenyum kikuk pada Dinda.

Dahi Dinda masih tetap berkerut. Belum terlalu percaya bahwa cowok ini adalah anak laki-laki ingusan yang dulu tingginya masih sebahu Dinda sendiri. "Kamu... beneran... Rey?"

Lalu, Rey hanya mengangguk gugup sebagai jawaban.

Apa kabar, Din?

Sayangnya, kalimat itu tertahan di ujung lidah dan sulit untuk terucapkan.

***

Hembusan angin sore seolah menjadi lagu penggiring, sekaligus pengisi kekosongan diantara Rey dan Dinda yang kini memilih duduk di kursi besi yang mulai berkarat. Jarak mereka bahkan diisi dengan dua potong Cheese Cake di atas sebuah piring. Satu potongnya kini tersisa setengah, dan satu potongnya lagi masih utuh.

Tebakan yang benar, sepotong Cheese Cake yang kini tersisa setengah itu milik Dinda.

"Kamu... nggak mau cerita tentang keseharian kamu di Jakarta?" Dinda berusaha mencairkan suasana.

Lama-lama Rey jadi nyebelin, karena Dinda sudah berulang kali bersikap ramah dan mengajak cowok itu bicara. Namun yang Rey lakukan hanyalah tersenyum kikuk, meringis dan memandangi ponselnya yang belum menyala sehabis tercebur ke bak mandi tadi.

Rey menggeleng. "Lagian nggak menarik," Lalu ia kembali mengusap layar ponselnya dan masih belum menyerah untuk menekan tombol power.

Dinda mengerutkan dahi jengah. "Itu handphone kamu kenapa bisa kecebur gitu?"

"Hh?" Rey menaikkan kedua alis tebalnya, dan tersenyum tipis memandangi ponselnya yang malang. "Gue... kalau di kamar mandi emang suka bawa handphone. Tadi pas berdiri, nggak sengaja jatuh ke bak mandi... jadi, ya gini."

Dinda mencibir. "Seriusan ke bak mandi? Nggak ke kloset? Ih jorok,"

"Jatuhnya ke bak mandi, kok. Beneran."

Perempuan itu balas terkekeh kecil, mulai merasa kalau candaannya itu agak garing. Ia menolehkan kepala ke sekitar, "By the way, aku ngobrol sama kamu gini ada yang marah nggak, nih?"

"Siapa?"

"Yaa.. cewek kamu, lah. Kamu ke Bandung nggak sendiri, kan?"

Mendengar itu, Rey tersenyum getir. Benaknya tiba-tiba melayang, dan wajah Hara begitu saja berputar memenuhi otaknya. "Gue belum taken, Din."

"Ah? Serius?! Masa, sih." Responnya ambigu, antara senang atau justru tak menyangka. Menurut Dinda, sih... untuk se-ukuran Rey agak aneh kalau masih belum punya pacar.

Dinda jadi geli sendiri begitu memikirkan itu. Kali pertama bertemu, kalau boleh Dinda akui... Rey ganteng, lah.

"Lo sendiri?" Rey menolehkan kepalanya. Respon yang didapat hanyalah kedua bahu Dinda yang terangkat. Sama ambigunya.

Tapi Rey nggak mau ambil pusing. Bodo amat Dinda yang sekarang udah taken atau belum. Intinya, menurut Rey, Dinda nggak pernah berubah. Masih tetap mengisi posisi sebagai sahabat masa kecil yang menyenangkan.

"Selama di Jakarta, emang nggak ada yang deket?"

Deket dalam artian apa? Rey mendesah karena Dinda terus saja memberi respon dan jawaban yang ambigu. Rey hanya mengerutkan dahi, sembari menjawab, "Ada... sih."

"Siapa? Cewek atau Cowok?" Dari ekspresi wajahnya yang terbaca, Rey menyimpulkan bahwa Dinda terlihat antusias menanggapi topik ini.

"Cewek," Rey menghembuskan napas. Entah sejak kapan ia mulai berhenti peduli pada ponselnya yang tak kunjung menyala. Matanya mulai mengamati satu persatu anak panti asuhan yang mulai mendatangi halaman belakang sambil berdebat tentang siapa yang harus masuk tim bola siapa.

Mereka nggak bosan bermain bola setiap sore, seolah sudah menjadi tradisi.

"Gue yang bikin dia ngedeket, tapi gue juga yang bikin dia ngejauh." Rey melanjutkan.

Dinda memiringkan kepalanya, sulit mencerna kalimat Rey. "Maksud kamu?"

"Yah, kayaknya cuma lo yang tau gimana masa kecil gue, kan?" Rey menoleh dengan dahi berkerut.

"Lo yang tau kebiasaan gue, lo juga tau tingkah laku gue dan lo juga pasti masih inget dari kecil gue sering di olok-olok kalau gue itu—"

"Iya, Iya. Aku tau, dan itu nggak perlu di bahas lagi, Nan," Rey tersenyum getir.

Tentu saja ia masih ingat betul gimana Rey dulu sering dijauhin anak laki-laki seusianya hanya karena nggak bisa nendang bola, kalah di ajak berantem dan cengeng padahal umurnya mulai menanjak dua belas tahun. Dinda masih ingat, karena kalau boleh jujur, Dinda itu hampir kaya bodyguard sukarelawan yang siap nonjok siapa aja yang bikin Rey nangis sampe hidungnya mimisan.

"Nan?" Rey mengernyit.

Dinda mengangguk. "Etnan? Kamu nggak inget? Aku lebih suka manggil kamu Etnan dari pada Rey. Lupa, ya?"

Rey mengusap tengkuknya sambil meringis. "Nggak, sih. Kerasa Asing aja. Soalnya nggak ada yang manggil gue gitu."

"Iya, Kecuali aku," Dinda tersenyum sarat akan ekspresi bangga. "Aku yang inisiatif panggil kamu 'Etnan' biar keliatan lebih 'berani' aja kesannya."

Rey hanya mendengus. "Gue suka, kok sama nama yang Bokap gue kasih."

Perempuan itu kemudian terkekeh kecil. "Ah, lagian. Itu, kan cuma panggilan waktu kecil. Nggak usah dibawa ribet."

Setelah itu hening beberapa saat sampai Dinda melirik sebuah piring yang diatasnya masih tersisa Cheese cake utuh kepunyaan Rey. "Ini nggak mau di makan?"

Rey menggeleng pelan. "Perut gue lagi nggak enak,"

"Oh, Ya udah. Piringnya mau gue taro' ke dalem, ya." Dinda kemudian bangkit berdiri, serta-merta membawa piring tersebut. Tapi itu sebelum sesuatu membuatnya merinding dan mengurungkan niatnya untuk kembali masuk ke dalam.

Saat Rey menahan tangannya dan menatap kedua bola matanya lurus-lurus, seolah menunjukkan bahwa cowok itu sedang membutuhkan posisinya sebagai sahabat. "Din, gue punya sesuatu buat di ceritain,"

Nalurinya mengatakan; bahwa ia harus duduk kembali dan memasang telingannya lebar-lebar.

***

Hara mengetukkan kelima jarinya ke atas meja rias. Entah ini sudah keberapa kali ia melakukan hal random seperti mengunlock-screen ponselnya kemudian mematikan kembali layarnya atau memandang refleksi wajahnya sendiri dari cermin besar yang ada dihadapannya kemudian gantian memperhatikan jemuran yang melambai-lambai tertiup angin dari jendela yang terbuka.

Singkat kata, sekarang Hara bingung.

Dan sekali lagi, Hara menyalakan ponselnya yang masih menampilkan interface Dial Pad. Dengan nomor yang sudah ia ketik sejak tadi dan hanya membutuhkan satu langkah lagi untuk memanggil si pemilik nomor. Iya, Hara hanya tinggal menekan tombol hijau dan menempelkan ponsel ke telingannya.

Hara menarik nafas dan menelungkupkan wajahnya di atas meja, gelisah.

"Ah, tai. Tinggal telfon aja pake ribet, deh!" Hara menggerutu, kemudian segera menyentuh opsi "Call" dan menempelkan benda itu ke telingannya, kali ini tanpa pikir panjang.

Kurang dari dua detik, Hara langsung meletakkan kembali ponsel tersebut ke permukaan meja secara kasar.

Setelah ia mendengar suara seorang perempuan dari seberang sana.