webnovel

Little Bit

WARNING!!!!

'Kata-kata sampah' mungkin akan ada di part ini. Harap cermat membaca, ya.

***

Aldo keluar dari ruangan BK dengan perasaan campur aduk. Tangannya mengepal, mengindikasikan kalau emosinya sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Baginya mungkin skors lima hari bukanlah sesuatu yang berarti, tapi bagi Rey... ini adalah satu ancaman paling mematikan.

Aldo kira, peringatannya beberapa minggu lalu bisa membuat Rey mengurungkan niat untuk melaporkan keterlibatan Aldo dalam Geng Motor yang belakangan ini menjadi buronan polisi. Namun ternyata, Rey salah presepsi. Bahkan jauh sebelum Aldo memberi Rey peringatan sore itu, Rey sudah jauh-jauh hari mengirimkan surat laporan dan bukti bahwa Aldo terlibat dalam anggota Geng Motor.

Kabarnya, beberapa anggota Geng Motor tersebut menjadi buronan polisi karena terlibat kasus Begal dan Balap liar. Meskipun Aldo tidak terlibat secara langsung, namun untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan terjadi, maka pihak sekolah memutuskan untuk menskors Aldo jika ia tidak keluar dari komunitas ilegal tersebut.

Poin pentingnya, pihak sekolah nggak akan semudah itu tahu jika Aldo masuk dalam Geng Motor tersebut kalau bukan dari seseorang. Dan dengan mudahnya, Aldo bisa menduga siapa dalang dibalik ini semua.

Mulut sialan Rey.

Sekaligus, Aldo harus menyiapkan diri untuk menghadapi Papanya malam ini. Karena berita ini akan secepat kilat sampai ketelinga Papanya melalui staf-staf sekolah.

***

Aldo membuka penutup kaleng minuman bersoda dan meneguknya. Yang ia harapkan adalah emosinya bisa segera terminimalisir, namun itu tidak akan pernah terjadi ketika mata elangnya langsung menangkap dua orang yang membuat seluruh tubuhnya panas.

"Lo mau makan apa?"

"Apa aja,"

"Bakso, yuk?! Mantep, nih."

Aldo dapat melihat Rey mengangguk dengan ekspresi yang menurutnya menjijikan. Juga Hara yang bersemangat menuju kios Pak Kardi, si penjual bakso.

"Minumnya mau apaan?" Hara menolehkan kepalanya ke arah Rey.

"Es campur aja,"

"Sip." Hara mengacungkan jempolnya dan meninggalkan Rey di meja kantin paling pojok untuk beberapa saat.

Aldo meneguk minuman bersoda-nya sekali lagi, tanpa peduli dengan efek oksida yang menyerang hidungnya. Mata cowok itu tak pernah teralih sedikit pun dari Rey, persis seperti seekor Singa yang mengintai mangsanya.

Bahkan saat Hara kembali ke meja itu sambil membawa  dua gelas Es Campur, Aldo tak mengurungkan sedikit pun niatnya untuk tetap menghampiri Rey meskipun ia tahu, kalau Hara pasti akan menghalanginya.

Bahkan ia juga bisa menyerang Hara sekalian, jika perempuan itu terlalu menyebalkan.

Hal pertama begitu Hara melihat kedatangan Aldo, perempuan itu langsung berdiri karena ia tahu sesuatu akan terjadi. Hara bahkan selalu ingat, Aldo tidak akan pernah main-main dengan ucapannya.

Seperti dugaannya, cowok itu langsung menumpahkan minuman bersoda yang berupa cola itu ke kepala Rey hingga ia berjengit saking kagetnya. Plus, Aldo melemparkan kaleng kosongnya tepat mengenai kepala Rey dengan mata berkilat. "Anjing lo,"

Belum puas dengan itu, Aldo menarik kerah seragam Rey menarik dan menghempaskan tubuh loyo cowok itu ke meja makan hingga membuat semua penghuni kantin, termasuk para penjaga Kios menoleh ke arah yang sama.

"Udah berapa kali gue bilang berhenti ikut campur urusan gue, anjing!"

Satu tinjuan yang tepat mengenai sudut bibir Rey membuat semua perempuan yang ada disana memekik, termasuk Hara yang tepat berada di depan kejadian langsung itu mengepalkan tangan karena gemetaran.

Aldo terus meninjunya di atas meja makan, lalu membanting tubuh Rey ke lantai hingga membuat beberapa kursi berantakan. Rey tidak berani membuka matanya sekalipun untuk menatap wajah Aldo. Yang ia lakukan hanya menghindar, tanpa melawan.

Membiarkan pukulan demi pukulan itu terus mendarat di rahang dan sekitar wajahnya. Karena Rey tahu, Aldo takkan pernah berhenti. Sampai kapan pun, Pola pikir Aldo takkan pernah sejalan dengan pola pikirnya.

Satu tetes air mata itu langsung menetes melewati sudut mata Rey yang bengkak akibat pukulan. Aldo menendangnya dan membenturkan tubuh Rey kebeberapa meja. Sekalipun Aldo tahu, Rey takkan pernah melawannya, Aldo tak pernah berhenti.

Dan yang membuat Hara miris; karena tak ada satupun dari mereka yang peduli dengan Reynand. Mereka justru menjadikan kelemahan Rey sebagai bahan tertawaan. Bahkan mereka semua sama-sama menyadari, bahwa Rey hanya membutuhkan satu orang saja untuk berada disampingnya.

Namun, saat itu juga Hara sadar. Bahwa satu orang yang Rey butuhkan saat ini adalah Hara sendiri. Satu-satunya orang yang mengulurkan tangan pada Rey sebagai teman.

Tinjuan itu tidak juga berakhir, Aldo membenci segala sesuatu tentang Reynand. Keberadaannya dan Kelahirannya ke dunia membuat angan-angan Aldo terampas. Sekali saja, Aldo hanya ingin satu permintaan selain Reynand lenyap dari muka bumi;

Bersikap layaknya bukan siapa-siapa dan tidak saling mengurusi urusan masing-masing. Hanya itu.

"Aldo! Berhenti!" Hara nekad masuk ke lingkaran perang dengan segala keberanian yang masih tersisa. Perempuan itu menarik ujung seragam Aldo hingga robek saking kuatnya.

"GUE BILANG! BERHENTI ALDO!" Hara berteriak, hingga tenggorokannya sakit.

Dilepaskannya cengkraman tangan itu dari leher Rey dan membiarkan tubuh Rey tergeletak di lantai. Ketiganya sama-sama tidak peduli dengan puluhan pasang mata yang menjadikan mereka pusat perhatian. Beberapa anak cowok mendengus karena aksi pukul Aldo berakhir, dan anak ceweknya justru tetap disana, beberapa ada yang mencibir Hara dengan embel sok berani, dan beberapa lagi masih tetap membekap mulut sendiri karena melihat bagaimana babak belurnya Rey disana.

"Lo mau pukulin dia sampai mampus juga nggak bakal ngembaliin keadaan, brengsek!" Hara mengangkat dagunya, menantang. Meskipun jauh didalam sana, jantungnya berdegup kencang. "Lo mau Rey kaya gimana supaya lo puas, hah?!"

Aldo tertawa bengis. Atmosfir kantin yang tadinya hangat berubah menjadi sedingin Es. Tidak ada yang mengeluarkan sepatah katapun kecuali antara Aldo dan Hara yang perang verbal. "Eh, diem, ya! Gue nggak punya urusan lagi sama lo! Lo mau gue tonjok juga, atau gimana?!"

Hara mendorong dada Aldo hingga cowok itu mundur selangkah. "Kita emang nggak ada urusan, tapi selama itu berhubungan sama Rey. Itu jadi urusan gue."

Kalimat itu sontak membuat Aldo merenyahkan tawanya. Wajah cowok itu tak terluka sedikit pun karena Rey tak melayangkan tinjunya sebagai perlawanan. "Ah, gue tau... lo kaya gini karena lo suka sama Rey, kan?!"

Deg.

Seisi kantin langsung tertawa. Entah itu menertawai omongan ngawur Aldo atau justru menertawai Hara yang bisa-bisanya suka dengan cowok sejenis Reynand. Hara mengepalkan tangannya kuat-kuat meredam segala emosi yang akan sia-sia jika ia buang untuk Aldo.

"Lo semua sekarang liat, kan? Tipe cowok Hara itu rendahan. Cowok yang cupu, loyo dan bego kaya dia! Liat, deh, Bahkan mau sampe gue robek celananya pun dia nggak akan mampu ngelawan! Rey itu nggak lebih dari cowok freak yang udah nggak pantes ada di sekolah lagi! Emang dasar banci, sih, ya?!"

Kali ini tawa yang lebih keras terdengar hingga memecahkan suasana yang tadinya tegang.

"DIEM LO SEMUA! NGGAK ADA YANG NYURUH KALIAN KETAWA!" Hara berteriak. Ia balas menatap Aldo sengit. "Dan lo, Aldo. Jaga, tuh mulut!"

Hara menarik nafas, kata-katanya belum selesai. "Gue nggak bilang kalau gue suka Rey, ya? Dan asal lo tau, yang banci itu elo! Sebenarnya, lo tuh cowok, Tapi mulut sama sikap lo yang emang kaya cewek!" Hara tersenyum kecut. "Suka bully sana-sini, tanpa tau, orang yang lo bully itu bisa kapan aja bikin lo mampus! Jadi, kurangin kebanyakan nonton sinetron, biar idup lo nggak mendramatisir."

Aldo mematung. Kata-kata itu nyaris membuatnya skak mat di tempat. Tapi, ia tak kehabisan kata-kata. "Eh! Lo jangan asal—"

"Kalian semua! bubar, bubar!"

Seluruh siswa yang tadinya berkerumun membentuk lingkaran dan menjadikan insiden ini sebagai tontonan otomatis berbalik badan dan kembali sibuk dengan kegiatan masing-masing. Meskipun ada beberapa yang masih bertahan untuk sekedar mencibir dan melihat kondisi Rey yang mengenaskan.

Ibu Farida, Guru BK yang dikenal killer langsung melotot begitu melihat Rey terkulai dilantai sambil memegangi perutnya. "Astagfirullah, Rey?! Kamu—"

"Maaf, Bu. Hari ini izinin saya bawa Rey pulang ke rumah. Boleh, ya. Bu?" Hara buru-buru membantu Rey berdiri. Mengalungkan tangannya ke pundak Hara agar Rey bisa berdiri dengan seimbang.

Ibu Farida menimbang sejenak dengan alisnya yang saling bertaut. "T-Tapi, kalian—"

"Saya janji, nggak akan bolos kemana-mana. Saya mau bawa Rey pulang, boleh? Besok Ibu boleh panggil saya sama Rey ke ruangan Ibu. Saya janji,"

Ibu Farida berdecak. "Ya udah, Ya udah. Jangan lupa obatin luka-lukanya, keburu jadi infeksi." Wanita itu menatap Aldo dengan tatapan sengit. "Kamu juga! Kamu itu baru aja keluar dari ruangan saya, sekarang udah buat ulah lagi?! Sini kamu!"

"Ikut ke ruangan saya sekarang!" Aldo hanya menghela nafas panjang dan mengekori Ibu Farida untuk masuk ke ruangan BK, lagi. Dan ia yakin seratus persen kalau hari ini juga wanita itu akan langsung menelfon Papa.

Aldo menatap nanar siluet tubuh Rey yang tergopoh-gopoh berjalan melintasi koridor dengan bantuan Hara. Membuat cowok itu mendengus jijik, sialan.

Hara tak peduli dengan pandangan prihatin dan aneh. Mereka semua hanya melihat dari sisi yang lain—tidak semua sisi. Yang Hara tau, Rey bukanlah sosok yang di katakan orang-orang. Bukan sosok yang selama ini diam saja ketika di caci maki. Ia yakin, ada sosok lain yang bersembunyi di balik sosok feminimnya. Sosok seorang laki-laki yang gentleman, yang lebih dari Aldo dan semua laki-laki yang pernah Hara bayangkan.

Hara tau. Ada saat dimana nanti Rey menguak semuanya.

Diam-diam Rey merasa sesuatu dalam dirinya hilang. Terbawa angin. Entah itu nyawa-nya, atau justru harga dirinya.