webnovel

Don't Go

Hara menunggu di ruang tunggu bandara yang penuh dengan orang yang sedang menunggu jadwal keberangkatan pesawat. Sebaliknya, Hara bahkan tidak ingin waktu berjalan maju.

Papa duduk disampingnya, merangkul bahunya erat. Kepalanya sedikit pusing karena sebenarnya kondisinya masih belum stabil. Tapi, keadaan yang memaksa Hara untuk pergi.

Sekalipun kesempatan yang waktu berikan untuk bersama orang-orang yang ia sayangi masih kurang, tapi Hara harus merasa cukup. Ia menatap satu persatu wajah dari setiap orang yang berlalu lalang didepannya. Dari sekian banyak orang, Hara hanya mengharapkan satu; hanya Rey.

Perempuan itu menatap lembaran tiket pesawat yang mengingatkannya; kalau ia benar-benar akan pergi. Untuk waktu yang lama, mungkin?

Panggilan yang ditujukan kepada seluruh penumpang pesawat yang akan terbang ke Bangkok sudah diumumkan lebih dari dua kali. Prama menatap Hara sekali lagi.

"Ayo," Katanya, lembut.

Hara mendesah. "Sebentar lagi aja, Pa, boleh?"

Hara bisa melihat Papa tersenyum samar. "Sebenernya, apa yang kamu tunggu?"

Kali ini, Hara menjawab dengan jujur dan yakin. Lagi-lagi, ada seseorang yang menahannya untuk tetap tinggal; dan kali dengan alasan. "Rey,"

"Aku pengen ketemu dia buat yang terakhir kalinya, jadi aku harap dia dateng."

"Dia pasti dateng," Prama menarik senyum simpul. "Kalaupun nggak sekarang, suatu hari nanti Papa janji, Rey bakal datengin kamu."

Pada akhirnya, Hara bangkit sambil menghela nafas berat. Sekali lagi ia mengedarkan pandangannya ke sekitar bandara. Hara ragu; Rey akan datang.

***

Cowok itu berlari secepat mungkin, menerobos kerumunan orang-orang yang sibuk mondar-mandir membawa koper dan barang bawaan mereka. Sesekali ia meminta maaf dan menundukkan kepala ketika tidak sengaja menabrak orang lain. Karena Rey berani bersumpah, ia tidak punya waktu lagi.

Rey berusaha mencari arah rute yang akan menerbangkan penumpang ke Bangkok. Kakinya seakan mati rasa karena terlalu banyak berlari, ia memegang lututnya sambil mengatur nafasnya agar stabil.

Secarik kertas itu bahkan masih ia genggam hingga lecek. Karena surat itu yang menjadi alasannya sampai kesini. Mungkin hanya selembar surat dengan tulisan tangan dari Om Prama, berupa ucapan terimakasih dan selamat tinggal. Tapi yang membuatnya seakan hampir serangan jantung adalah; apa yang Om Prama tulis.

Bahwa Hara akan berangkat sore ini.

Matanya melirik sebuah layar raksasa yang ada disana. Jadwal keberangkatan pesawat ke Bangkok tinggal...

lima menit lagi.

.

.

Rey kembali menegakkan tubuhnya, memacu kecepatan berlarinya sekuat tenaga, tak peduli bahwa tenggorokkannya terasa kering.

Ujung sepatunya berdecit, dan mengerem begitu ia melihat siluet wajah seorang perempuan dengan wajah pucat, memakai sweater abu yang sangat ia kenali. Hara berjalan dengan Om Prama menuju antrean imigrasi.

Sebelum ia kehilangan kesempatan terakhirnya, cowok itu berlari ke arahnya dan langsung menarik Hara dalam pelukan dengan gerakan yang cepat. Memeluknya erat dan menghirup aroma khas rambut Hara dalam-dalam.

Hara terlalu shock, hingga tanpa ia sadari jantungnya seolah berhenti berdetak. Dan tubuhnya kembali bekerja, setelah menyadari bahwa itu adalah Rey.

Hara membalas pelukannya, meletakan dagunya di pundak cowok itu. "Gue harus pergi, Rey."

Mendengar itu, Rey memeluknya semakin erat. Tidak peduli bahwa perlakuannya itu menyita banyak perhatian dari puluhan pasang mata termasuk Om Prama yang berdiri beberapa meter disana.

Sejatinya, Hara bisa saja tetap tinggal disini, kalau saja Rey memintanya sekarang.

Tapi Rey sadar, Jakarta bukan lagi tempat yang aman untuk Hara. Bagaimanapun Rey tidak bisa menahan perempuan itu untuk tetap tinggal di tempat yang nggak lagi aman.

"Jaga diri lo baik-baik, Rey." Suara Hara bergetar, meskipun sekuat apapun ia samarkan.

Rey masih belum bersuara, mati-matian ia menahan air mata yang sejak tadi mendesak keluar. Cowok itu berusaha untuk menghindari kebiasaan lamanya. Tapi pada akhirnya, Rey tetap meneteskan air mata.

Hara melonggarkan pelukannya, menatap cowok itu lurus-lurus. "Lo sekarang udah nggak butuh gue lagi buat ngelindungin lo, kan?"

"Tapi gue butuh lo," Rey mulai bersuara. "Gue butuh lo buat selalu ada disebelah gue."

Hara melarikan jarinya, mengusap air mata yang keluar dari kedua sudut mata cowok itu. "Lo sekarang udah jadi Reynand, dan lo nggak boleh nangis lagi."

Rey menarik nafasnya dalam-dalam. Rey tahu, bahwa nggak ada jaminan buat Hara kembali lagi. Maka satu-satunya cara adalah, merelakan perempuan itu pergi. Entah itu untuk waktu yang singkat, atau selamanya.

"Belajar yang bener, Jangan jadi langganan BK lagi, dan jangan—"

Sebelum Hara menyelesaikan kalimatnya, Rey langsung meraih pucuk kepala perempuan itu dan mengecupnya lembut. Untuk beberapa detik, Hara terpaku.

"Gue sayang sama lo, Har." Rey berbisik.

Hara mengangguk pelan. "Gue bahkan lebih sayang sama lo."

"Kita bakal ketemu lagi, ya Har?" Tanya Rey, dengan senyuman yang sarat akan kesedihan.

"Pasti," Hara mengangguk, meng-iyakan. "Meskipun gue nggak tau waktunya kapan."

Terakhir, Rey melepas pelukannya. Membiarkan Hara melangkah menjauhihnya. "Take care, ya."

Disana, Rey melihat Om Prama tersenyum kepadanya. Senyum hangat yang mungkin suatu saat nanti akan Rey rindukan.

Cowok itu berusaha menegakkan tubuhnya. Berusaha berdiri stabil meskipun ia tahu kakinya melemas.

Hara baru mengambil beberapa langkah menjauh sebelum akhirnya perempuan itu memutar langkahnya dan kembali hanya untuk mengecup pipi Rey.

Dan kata terakhir yang Rey ingat saat Hara membisikkan itu ketelingannya adalah;

"I will love you from here to eternity."

Saat itu juga Rey yakin, ia akan sulit melupakan Hara.

Bahkan ia tidak ingin melupakan Hara.

.

.

Hara berbalik, menggandeng tangan Papa dan mulai mengambil langkah menjauh. Hara menguatkan diri untuk tidak menoleh kembali ke belakang. Pandangannya mulai mengabur, lalu air mata itu satu persatu menetes.

Siluet tubuh Hara perlahan-lahan menghilang dibalik kerumunan orang yang memadati bandara. Tapi yang Rey rasakan, semuanya kosong. Ia berdiri di tengah-tengah lalu lalang kerumunan tanpa memperdulikan apapun disekitarnya.

Kecupan ringan di pipinya masih terasa begitu nyata dan menyadari fakta bahwa Hara benar-benar pergi membuatnya merasa separuh dari dalam dirinya juga ikut pergi.

.

.

.

.

"there's always an ending to begin a new beginning."

—Short Hair, Catallenia

.

.

.

.

.

Jakarta, satu tahun setelahnya...

.

.

Hari ini adalah hari kelulusan. Seluruh siswa benar-benar mempersiapkan diri hanya untuk satu hari ini. Setiap anak laki-laki terlihat gagah dengan balutan jas hitam dan kemeja putihnya. Sedangkan yang perempuan berlomba untuk terlihat menarik dengan balutan gaun dan dress yang beraneka ragam.

Di sudut kanan Lapangan berdiri sebuah panggung yang disana ada special performing artAlumni SMA Nusa. Beberapa ada yang menikmati hiburan panggung dan beberapa juga ada yang berdiri di depan Majalah Dinding Sekolah untuk memajang foto-foto kenangan atau sticky note yang berisi kata-kata ungkapan.

Aldo menatap ke sekitar, suatu saat nanti ia akan merindukan bangunan sekolah ini. Banyak sekali kenangan baik dan buruknya yang pernah ia lalui semasa sekolah. Masa-masa dimana ia mengalami fantasi tersendiri selama SMA. Masa dimana dia adalah siswa paling bad boy satu sekolah, masa dimana dia adalah anak paling sering bikin onar dan masa dimana kisah cintanya berawal, juga berakhir.

Tahun terakhir yang penuh dengan rumitnya rumus, Banyaknya teori dan kebosanan—karena mengulang materi pelajaran eksak tiap minggu—kini lepas sudah. Namun, itu semua cukup berkesan untuk Aldo. Karena di setiap detik, menit, jam, hari, bulan dan tahunnya selalu terselip kisah yang nggak bakal keulang untuk ke sekian kalinya.

Aldo merapat ketika teman-teman sepermainannya mengajaknya ikut berfoto. Ia tersenyum lebar dan merangkul mereka semua. Bagaimana pun, mereka pernah nakal bareng-bareng, ngerokok bareng-bareng dan diskors bareng-bareng.

"Anjing, parah gila lo ganteng banget, man."

Aldo mengangkat dagunya sombong, namun setelah itu ia tertawa. "Iya dong, turunan bokap gue!"

"Sekali lagi, deh! Lo yang fotoin, ya." Rinaldi memberikan kameranya pada Aldo. "Kan kalau kaya gini, gue nggak ada saingan gantengnya."

Aldo hanya mencibir. Tepat saat ia akan memposiskan kamera di depan wajahnya, mata cowok itu menangkap yang lain. Seorang perempuan dengan gaun selutut berwarna pastel. Melintas di belakang teman-temannya yang sudah berpose.

Aldo buru-buru memberikan kembali kameranya pada Rinaldi. "Gue cabut, ya! Bye!"

"Dih, tai lo!" Rinaldi menggerutu, tapi Aldo sudah berlari menjauh dan mengejar cewek itu sebelum menghilang di balik koridor.

.

"Tara!!"

Aldo berteriak, tapi yang dipanggil tak kunjung menghentikan langkahnya.

"Tara, mau sampai kapan lo ngehindarin gue gini?!" Suaranya menggema ditengah koridor yang kosong.

Tara menghentikan langkahnya. Ia berhenti, tapi belum mau memutar tubuhnya untuk menghadap Aldo yang berjarak sekitar enam meter dibelakangnya.

"Hampir setahun, Ra. Apa lo mau ngejauhin gue terus?!"

"..." Tara diam, tak membuka suaranya.

"Apa salah gue karena nggak bisa bales perasaan lo?!"

Perempuan itu mengepalkan telapak tangannya yang lembab. Ingin berbicara dan mengatakan sesuatu, tapi ia masih belum siap menatap wajah Aldo.

"Lo mau tau apa? Gue udah berusaha belajar buat suka sama lo, tapi rasa sayang gue sama lo masih tetep sama. Gue sayang lo," Aldo menahan kalimatnya. "Tapi nggak lebih dari sekedar sahabat."

Sesak.

Tara merasakan persis bagaimana rasanya. Terjebak dalam zona pertemanan yang selama ini sangat ia takuti.

"Gue cuma nggak mau kita berubah, Ra." Aldo menarik nafas dalam, dan menghembuskannya perlahan. "Selama ini kita jadi stranger, sementara gue tau kalau lo itu sahabat gue dari kecil."

Pada akhirnya, Tara berbalik. Wajah cantiknya bahkan masih terlihat cantik dengan make up tipis yang luntur karena air mata. Entah sejak kapan ia mulai menangis. "Lo nggak salah, gue yang salah."

"Terus kenapa?" Aldo balik bertanya.

"Gue ngehindar bukan karena gue marah sama lo, apalagi benci sama lo. Tapi selama ini gue ngerasa bersalah, karena nggak seharusnya gue egois, nggak seharusnya gue maksain perasaan lo, dan nggak seharusnya gue ngekhianatin pertemanan gue sendiri buat ngejar apa yang selama ini gue mau."

Aldo tertegun. Cowok itu membiarkan Tara mengungkapkan semuanya. Saat Aldo mengambil langkah mendekat, Tara justru mengambil langkah mundur.

"Sekarang, Please, biarin gue sendiri."

Tara segera membalikkan badannya untuk pergi. Namun, tangannya ditarik hingga Tara merasakan sebuah pelukan hangat. Degupan jantung itu bahkan masih belum hilang, padahal ia sudah berusaha untuk melupakannya.

"Nggak masalah kalau lo buat kesalahan sekali, nggak akan ada yang nyalahin lo."

Tara berusaha untuk mengendalikan perasaannya, karena ia sadar, pelukan ini nggak akan memiliki arti lebih.

***

Rey berjalan di sekitar koridor yang penuh dengan beberapa siswa yang bersenang-senang di hari kelulusan. Selama SMA, menurutnya nggak ada kenangan yang pantas untuk dikenang selain moment saat ia bersama Hara.

Moment di saat semua orang berjalan memunggunginya, hanya ada satu orang yang berjalan di punggungnya. Cuma Hara.

Dan saat ia sudah berhasil bangkit, perempuan itu kini berjalan disampingnya.

Cowok itu memasukkan kedua tangannya ke saku celana, berjalan sendirian diantara teman-temannya yang lain sedang sibuk mengambil foto atau tertawa renyah. Tubuhnya terlihat lebih tegap dengan jas hitam dan kemeja putih serta dasi longgar di lehernya.

Mungkin karena kurang fokus, tapi saat itu Rey menabrak bahu seseorang yang berjalan cepat dari arah yang berlawanan.

Dan itu Aldo.

Kali ini, Rey hanya menghela nafas dan membiarkannya pergi. Dia bukan tipe orang yang membuat segalanya menjadi lebih rumit.

Aldo masih diam ditempat, tatapan mata mereka sempat bertemu untuk beberapa detik. Saat itu Rey menyadari, ekspresi wajah Aldo yang melunak jauh dari biasanya. Tapi Rey berusaha untuk tidak peduli, sampai Aldo memanggil namanya.

"Reynand," Panggil Aldo.

Rey menghentikan langkah dan memutar tubuhnya. Dahinya berkerut seolah mengisyaratkan, apa?

Rey hampir tertegun ketika untuk pertama kalinya Aldo tersenyum. Senyumnya sangat, sangat tipis. Dan Rey masih melihat sisi arogan cowok itu.

Aldo memanggil salah satu dari siswa yang sibuk mengoperasikan kamera polaroid ditangannya. "Fotoin kita, ya."

Siswa laki-laki itu awalnya menatap Aldo heran, sejak kapan cowok itu mau berada di dekat Rey? Bahkan seantero sekolah tahu kalau Aldo dan Rey nggak pernah akur. Sebagai seorang penindas, dan orang yang ditindas.

Aldo mengerutkan alisnya tak sabar, namun akhirnya siswa laki-laki itu mengarahkan lensa kameranya. Rey merasa gugup dan heran dalam waktu yang bersamaan, ia bisa merasakan rangkulan Aldo dipundaknya.

Dalam tiga hitungan mundur, wajah keduanya terbidik dalam lensa kamera. Siswa laki-laki itu memberikan lembaran kertas foto hitam yang keluar dari bagian atas kamera polaroid, sampai akhirnya membentuk sebuah warna dan memuat wajah mereka.

Aldo tersenyum tipis, sementara Rey tak memberikan pose sama sekali. Cowok itu mengelurakan pulpen dari dalam saku kemejanya, dan menuliskan sesuatu dibalik foto polaroid itu.

Setelah selesai, Aldo memberikannya pada Rey dan menepuk dada cowok itu dua kali, lalu melangkah pergi.

Rey membalik bagian belakangnya, dan menemukan tiga huruf kecil yang ditulis oleh tulisan tangan yang berantakan.

bro.

Rey menghela nafas dan menarik senyum tipis, menolehkan kepalanya kebelakang untuk menatap punggung Aldo yang berjalan menjauh. Sekarang, Rey mulai mengerti pola pikir Aldo.