webnovel

Avoid

"Rey!"

"Rey, Tunggu!"

"Rey! Gue mau ngomong!"

Ujung sepatunya berdecit, ketika akan mengejar cowok yang langsung melarikan diri begitu Hara baru akan menghampirinya. Mungkin, ini bukan kali pertama untuk Hara saat Rey menghindarinya.

Namun, entah kenapa. Hara merasa ada sesuatu aneh yang menyelundup saat ia menerima perlakuan aneh cowok itu. Diabaikan. Dijauhi. Dihindari.

Siluet punggung Rey tak lagi terlihat begitu cowok itu berbelok ke koridor kanan. Menghilang begitu saja. Hara menarik nafas dan memilih untuk memasukkan buku paket IPA yang terasa berbobot itu ke dalam loker dan menguncinya langsung.

Sekarang, Hara sadar; Bahwa ini adalah resiko yang harus ia terima. Kehilangan satu teman, padahal niatnya hanya ingin melindungi satu teman itu. Setidaknya, Hara sekarang senang Aldo nggak lagi mengganggu Rey.

Dan Hara merasa ini lebih baik.

Tapi, Tunggu.

Hara menghentikan langkahnya. Seolah merupakan respon dari apa yang diterima oleh sel-sel dalam otaknya. Berulang kali Hara berusaha untuk menolak, kenyataannya;

Enggak.

Ini nggak membuatnya menjadi lebih baik.

Pacaran dengan Aldo untuk melindungi Rey bukanlah satu-satunya opsi yang harus ia ambil.

Iya. Hara salah.

Seharusnya perempuan itu tetap berdiri di samping Rey, sebagai temannya. Bersama-sama melawan apa yang selama ini menjadi ketakutan Rey. Bukan malah meninggalkannya sendirian, meskipun Rey dalam keadaan baik-baik saja.

Karena yang sebenarnya cowok itu butuhkan adalah seorang teman.

Untuk saling berbagi.

Dengan memiliki teman, Rey bisa bangkit untuk melawan ketakutannya sendiri. Ia tidak lagi merasa sendirian. Seharusnya, Hara tidak begitu saja menerima ancaman halus Aldo dan tetap menjadi teman Rey sekalipun harus sama-sama dibully.

Setidaknya, itu lebih baik di bandingkan saling memunggungi seperti sekarang.

Lalu, ia merasa hatinya sedikit tergerak.

Sekarang Hara tahu apa yang harus ia lakukan.

***

Saat jam istirahat berbunyi, Hara dibingungkan dengan sikap dan tatapan aneh siswa-siswi sepanjang koridor. Kebanyakan dari mereka melemparkan tatapan meneliti dari atas sampai bawah, atau bersikap seolah Hara adalah mafia—karena saat perempuan itu melintas, semua siswa langsung menyingkir untuk memberi jalan dan tertawa sinis.

Kenapa, sih?

Dahinya berkerut begitu dua orang cowok yang wajahnya familiar, namun Hara tidak bisa mengingat nama mereka karena baru hampir satu bulan berada di sekolah baru.

"Ikut kita," Salah satu dari mereka menarik tangan Hara pelan.

"Tunggu, deh. Kalian di suruh Aldo?"

"Iya," Jawabnya. "Makanya ngikut aja."

Saat tubuhnya digiring, Hara hanya bisa mengikuti langkah mereka dengan eskpresi linglung. Pasalnya, sejak tadi Hara tak pernah lepas dari sikap sinis seantero sekolah. Dari awal, niatnya pindah sekolah agar bisa memulai hal baru yang lebih baik. Berusaha untuk berurusan dengan orang-orang yang biasa saja dan tidak terlalu famous di sekolah.

Tapi, sepertinya, prinsip yang sudah ia bangun harus dikubur dalam-dalam karena sekarang Hara terlanjur mengenal Aldo.

Perempuan itu mengerjap berkali-kali saat di dorong pelan ke tengah lapangan basket. Dimana semua orang berkerumun membentuk lingkaran besar dan menjadikannya pusat perhatian.

"I-Ini apaan, sih?" Hara menolehkan kepala ke belakang, bingung pada dua teman Aldo yang membawanya kesini.

Mereka berdua hanya mengangkat kedua alis, memberi gestur agar Hara tetap diam di tengah lapangan. Dan ketika ia menolehkan kembali kepalanya ke depan, ada Aldo yang berjalan ke arahnya.

Hara hanya bisa tersenyum kikuk sambil mengusap lehernya yang mendadak merinding. Hal-hal seperti ini bukanlah tipe-nya. Ini benar-benar membuatnya geli dan merasa tidak nyaman. Belum lagi puluhan pasang mata yang menjadikan aksi Aldo ini sebuah tontonan.

Mulai, deh syuting film-nya, Prilly merutuk.

"Har," Suara berat itu menjadi jelas karena siswa-siswi yang menontonnya mendadak tutup mulut dan membuat suasana menjadi hening.

Bahkan, terlalu hening.

"Do.. ini apaan, sih?" Hara bersuara selembut mungkin, agar tidak ada yang bisa mendengarnya. Wajahnya mendadak pias dan seluruh perasaannya kalut.

Tapi, Aldo hanya tersenyum lebar. "Gue tau, lo nggak suka hal-hal romantis kaya gini. Tapi, gue cuma pengen satu sekolah ini tau, kalau lo itu pacar gue."

Hara menghela nafas, ekspresinya justru terlihat seperti sedang memelas. "Do, ini lebay banget sumpah. Gue nggak..."

Seolah tidak peduli, Aldo menunjukkan sesuatu dari belakang punggungnya. Membuat Hara semakin bingung dan tidak tahu harus melakukan apa.

"Gue sayang lo," Katanya.

Dan riuh tepuk tangan juga seruan tidak jelas itu semakin membuat Hara keringat dingin. Kalau kebanyakan orang justru merasa terbang atau seakan ada sesuatu yang menggelitik perut, Hara justru merasakan sebaliknya.

Merinding dan rasanya mual.

Hara baru tahu, kalau Aldo ternyata tipe orang yang terlalu berlebihan. "Do..."

Aldo mengangkat kedua alisnya. Meminta Hara agar meraih sebuket bunga yang ada di tangannya. "Ayo, terima,"

Hara mengepalkan tangannya yang lembab dan berkeringat. Masih terlalu ragu untuk meraihnya,  mengingat ini juga soal perasaan yang selama ini Hara rasakan. Sejauh ini, Hara tidak merasa ritme degupan jantungnya meningkat setiap dekat Aldo. Tidak ada yang istimewa dan cenderung biasa saja.

Oke. Mungkin hubungan yang Hara jalin belum seberapa, baru sekitar tiga atau empat hari.

Tapi, justru...

Sebelum semuanya berjalan terlalu lama, sepertinya Hara harus mengakhiri ini sekarang.

Membohongi perasaan sendiri terlalu lama juga bukanlah hal yang baik. Karena pada akhirnya, ini juga akan menyakiti Aldo sendiri ketika tahu kalau selama ini yang Hara lakukan hanya untuk membuat cowok itu berhenti mengganggu Rey.

Aldo mengerutkan dahi ketika Hara tidak juga meraih buket bunga yang ada ditangannya. Hara terus saja menunduk seperti sedang berpikir keras. "Kenapa, sih?"

Hara mengangkat wajahnya dengan tatapan sayu yang tidak Aldo sukai. "Sorry,"

"Kenapa?"

"Gue nggak bisa,"

Lalu atmosfir lapangan ini berubah. Setelah kalimat yang cukup objektif itu keluar dari bibir Aldo, mereka semua menutup mulut dan menghentikan aksi tepuk tangan.

"Ayo dong, Har. Lo jangan bikin gue malu." Aldo berdesis.

Tapi Hara tetap menggeleng. "Sorry, gue nggak bisa."

Aldo berdecak. "Ya udah lo terima dulu! jangan bikin gue malu, deh."

Tapi sebelum Hara mendengar penuturan Aldo lebih lanjut, perempuan itu sudah terlanjur memundurkan langkah. "Kita omongin lagi di tempat lain, ya?"

Ketika Hara keluar dari kerumunan, semua orang yang tadi menjadikannya pusat perhatian langsung mencecar Hara sedemikian rupa. Dan untuk kedua kalinya, Hara merasakan aura tidak suka dari semua orang di sekolah ini. Persis seperti apa yang ia rasakan di sekolah sebelumnya.

Harusnya, Hara tidak boleh berurusan lagi dengan orang-orang yang kelewat populer; Aldo, Contohya.

Sedangkan di tengah lapangan. Aldo hanya bisa menahan malu dan meremas buket bunga itu sekuat mungkin. Ia benar-benar sudah dipermalukan, wajahnya seperti ditampar oleh Hara secara tidak langsung.

***

"Ikut gue!"

"Ish! Sakit!"

Dengan nafas memburu, Aldo langsung memasukkan buku-buku Hara asal-asalan dan menarik tas juga mencengkram tangannya keluar dari kelas, beberapa menit setelah bell pulang berbunyi.

"Ya udah nggak usah tarik-tarik! Sakit!"

"Diem aja, bisa nggak, sih?!"

Sekuat tenaga, Hara menghentakkan tangannya di pertengahan koridor yang agak sepi. Beberapa kelas memang belum usai meskipun bell sudah berbunyi. "Ngomong disini aja, mau lo apa?!"

Aldo berdecih. "Giliran gue udah mulai serius sama lo, lo malah kaya gini, Har! Lo tau? Yang lo lakuin tadi siang itu bikin gue malu banget, sumpah!"

Hara mendengus. "Ya, lagian suruh siapa bikin acara lebay kaya gitu?! Lo tau, kan gue paling nggak suka hal-hal kayak tadi!"

"Walaupun lo nggak suka, seenggaknya lo hargain gue. Nggak pergi gitu aja sok-sok jual mahal, lah! Lo pikir lo siapa bisa ngelakuin itu ke gue, hah?"

Hara tertawa getir. Seperti meremehkan beberapa kosa kata yang baru saja Aldo lontarkan. "Gue nggak harus jadi siapa-siapa buat ngelakuin itu ke lo, Do. Berhenti buat jadi orang paling sok di sekolah ini! Sekarang udah nggak zaman lagi pake sistem kasta, sistem blok-blok an, sistem bully-bully an. Lo, tuh terlalu—"

Cewek brengsek, Aldo berdesis. "Gini, ya? Keliatannya aja sok manis, padahal sebenernya lo itu—"

"Mendingan kita udahan aja," Hara memotong kalimat Aldo tak kalah sengit.

"Hh?" Aldo berkedip. "Kita baru jadian bahkan kurang dari seminggu, hey!"

"Nggak masalah, menurut gue lebih cepet malah lebih baik, kan? Dari awal gue emang nggak pernah ngerasa nyaman sama lo, Do."

Hara menyilangkan tangannya di bawah dada.

"Lagian gue tau, endingnya gue juga bakal kaya mantan-mantan lo sebelumnya. Udah terlalu banyak tipe cowok yang nggak serius kaya lo."

Aldo memutar bola matanya. "Lo nggak nganggap gue serius? Lo pikir kemarin-kemarin gue ngungkapin 'aib keluarga gue itu lo anggap sepele gitu aja? Lo tau sendiri kalau gue nggak bakal ngumbar 'aib ke sembarang orang, Har! Kalau gitu, itu artinya gue percaya sama lo."

Hara menahan nafasnya. Diam-diam membenarkan penuturan Aldo. "Ya udah kalau gitu kita jadi temen aja."

Aldo tergelak. Tidak menyangka bahwa kata-kata itu akan meluncur mulus dari bibir Hara. Aldo nggak mengenal hubungan baik setelah putus dalam kamusnya. "Gue baru tau, kalau ternyata kata 'temen' itu nyakitin."

"Ya terus lo maunya gimana, sih?!" Hara menghentakkan kakinya ke lantai, kesal.

Aldo melengos, mulai mengambil langkah untuk pergi. "Ya udah, Semerdeka lo aja! Gue nggak peduli."

Baru sekitar dua langkah, cowok itu memutar tubuhnya dan kembali mendekat ke arah Hara.  Dan membisikkan sesuatu yang tajam dan menusuk. "By the way, gimana sama Rey?"

Anjir.

Reflek, Hara menahan tangan Aldo sebelum ia kembali melanjutkan langkahnya. "Tunggu, lo udah janji sama gue buat nggak ganggu Rey lagi?! Gimana, sih?!"

"Itu udah nggak berlaku lagi," Aldo tersenyum getir. "Lo inget? perjanjiannya, kan selama kita pacaran."

Ternyata, itu benar-benar sebuah perjanjian.

Semakin hari, rasanya Aldo ingin membunuh Rey. Tanpa ada yang memberi tahu, ia sendiri juga tahu salah satu alasan mengapa Hara bersikap seperti itu. Itu hanya sekedar kemungkinan, tapi pasti.

Ah, Rey menang banyak...

Diam-diam, sekarang Aldo nggak ingin menjatuhkan Rey saja. Tetapi, juga orang-orang yang berusaha melindunginya.

Sekarang Hara mengerti, Setiap keputusan yang ia ambil selalu memiliki resiko. Itu udah jadi hukum alam. Karena nggak ada keputusan yang tidak beresiko.

Ketika punggung Aldo mulai berjalan menjauh, dan akhirnya menghilang di persimpangan koridor, Hara menghentakan kakinya ke lantai saking kesalnya. Perempuan itu menggerutu sambil mengacak-acak rambutnya sendiri.

"Dih! Kenapa, sih jadi cowok, tuh sinetron banget orangnya!"