webnovel

"Lepas!"

"Gue bilang, Lepas!"

"Aldo! Lepasin gue!"

Hara berusaha melepaskan cengkraman tangan Aldo. Perempuan itu mati-matian menahan tangisnya, sejak Aldo menariknya menjauh dari Vanya dan Inez. Hara benci ini, karena kenyataannya ia bahkan nggak bisa menghadapi tudingan demi tudingan yang diarahkan kepadanya.

Semuanya ternyata nggak semudah yang ia kira.

Saat ia berhasil melepaskan tangannya dari cengkraman Aldo, Hara menatapnya tajam—penuh dengan amarah. "Lo bisa berhenti jadi sok pahlawan?!"

"Nggak," Jawab Aldo, tanpa ragu.

"Gue cuma pengen hadapin ini sendiri, tanpa bantuan siapa—"

"Lo nggak bisa." Aldo memotong kalimatnya, membuat Hara kembali mengatupkan mulutnya. "Lo bahkan nggak bisa buktiin kalau lo bakal baik-baik aja tanpa gue,"

"Siapa bilang?"

"Kenapa lo harus grogi di depan mereka? Kenapa lo harus nunjukin sikap seolah lo emang orang yang mereka maksud? Kenapa lo nggak berusaha cari alibi buat nutupin—"

"Kenapa harus ditutupin?!" Hara berteriak, tepat di wajah Aldo, "Itu semua fakta, gue emang bener orang yang ada diberita itu. Kenapa harus lari dari kenyataan? Toh mau segimanapun gue nutupin, pada akhirnya semua orang bakal tau,"

"Lo harusnya—"

"Harusnya gue ngambil keputusan awal gue, pergi dari sini sebelum semua orang pelan-pelan bakal tau semua. Harusnya juga gue nggak sok-sok an bakalan bisa hadapin semuanya dan nolak tawaran Papa yang sebenernya udah gue tunggu dari dulu. Karena pergi dari sini itu keinginan utama gue dari awal. Gue sebenernya udah pengen pergi, tapi selalu aja ada yang nahan gue tanpa alasan,"

Sekuat apapun Hara menahannya, air mata itu terus mendobrak keluar. Hingga akhirnya jatuh satu persatu membasahi pipinya yang mulus. Aldo mengepalkan tangannya, terlalu ragu untuk sekadar memberanikan diri mengusap pipi Hara yang basah karena tangisnya sendiri. Cowok itu hanya bisa menahan diri.

"Tapi karena sekarang udah kaya gini jadinya, mau nggak mau gue harus atasi sendiri. Entah meskipun itu nggak segampang yang gue—"

"Lo terlambat ngambil pilihan. Dan lo juga salah ngambil keputusan." Aldo menginterupsi, cepat.

"Gue tau! Jadi Lo nggak perlu ngasih tau gue!" Hara kembali memekik. Dadanya terasa sesak dan seolah kehabisan oksigen. "Dari dulu gue emang selalu salah memprediksi sesuatu; Sekolah baru yang gue kira bakal ngasih kenangan buat gue, Temen yang gue kira bakal ngelindungin gue dan Sesuatu sulit yang gue kira bakalan bisa gue atasi sendiri. Ternyata semuanya cuma perkiraan yang nggak sesuai sama fakta."

Aldo menghirup udara malam, ia menarik tangan Hara sekaligus tubuh mungilnya kedalam pelukan, namun Hara justru mendorongnya menjauh. "Gue benci karena lo narik gue ngejauh! Bikin mereka semua mikir kalau tuduhan itu bener!"

"Gue narik lo karena lo terus aja grogi di depan mereka!" Aldo menaikkan nada bicaranya. "Gue tau lo pengen hadapin semuanya sendiri, tapi lo nggak bisa. Jadi mendingan lo menghindar."

"Gue bisa,"

"Lo nggak bisa," Aldo tetap mempertahankan argumentnya. "Lo malah nggak tau sebenernya lo nyeselin keputusan yang lo ambil atau justru sebaliknya. Gue tau sebenernya lo udah nyerah, tapi lo masih nggak mau ngakuin kalau diri lo kalah."

Hara memutar tubuhnya, membelakangi Aldo dan berniat mengambil langkah untuk pergi. "Biarin gue sendiri, jangan pernah berani ngikutin!"

Aldo hanya melepaskan genggaman tangannya. Membiarkan punggung mungil Hara berjalan menjauh. Ia menghembuskan napas kasar. Oke, terserah.

Tiba-tiba ia merasa seseorang menarik bagian belakang jaketnya. Membuat Aldo terpaksa membalikan tubuhnya dan mendapati seorang perempuan menatapnya dengan mata sembab. Tara.

"Lo?"

"Mulai sekarang, berhenti peduli sama Hara. Karena mau sampai kapanpun lo jadi pahlawan buat dia, dimata Hara lo nggak akan pernah jadi apa-apa," Tara berkata dengan penuh penekanan, ia meremas bagian dada jaket Aldo, mengguncangnya kuat. "Lo cuma buang-buang waktu, lo nggak berusaha ngeliat orang lain yang bahkan jauh lebih nganggap keberadaan lo, Do."

Aldo melepaskan cengkraman tangan Tara dari jaketnya, jengah. "Gue nggak ngerti lo ngomong apa, mendingan lo balik—"

"Gue suka sama lo!" Tara pada akhirnya berteriak, melepaskan seluruh beban yang selama ini mengganjal di hatinya. "Lebih dari sekedar sahabat, dan lo harusnya tau itu."

Terdengar egois, tapi kali ini saja... Tara terlalu lelah untuk mengalah.

***

.

.

.

Kayu sisa-sisa api unggun masih terlihat menyala dengan asap tipis. Area perkemahan mulai terasa sepi saat waktu mulai menanjak tengah malam. Sekitar pukul satu dini hari, Hara baru kembali ke tendanya dan tak menemukan Tara disana.

Terakhir, ia melihat Tara berjalan memasuki Villa. Perempuan itu bahkan menyingkirkan tangan Hara saat berusaha menahannya dan menanyakan apa Tara baik-baik saja. Tara cuma bilang, kalau malam ini ia tidak ingin tidur di tenda karena merasa kurang enak badan.

Setelah menutup resleting tendanya rapat. Hara meletakan senter disudut tenda sebagai sumber penerangan. Sebenarnya satu tenda bisa diisi dua sampai tiga orang; dan sejak awal Tara paling semangat mengenai perkemahan ini dan sengaja memilih satu tenda untuk dua orang. Namun, sekarang Tara bahkan seolah tidak ingin tidur di satu tenda yang sama dengannya.

Empat puluh lima menit setelah mata Hara terpejam, ia merasakan parfum beraroma Green tea dan mint, namun Hara masih mengenali aroma bedak bayi yang khas meskipun samar. Sepertinya, orang ini baru saja mengganti aroma parfum dan aroma parfum yang lama masih terasa kental.

Tunggu, Hara mengenali aroma ini. Sangat Familiar. Meskipun terasa berat, Hara memaksa matanya untuk terbuka saat ia merasa sebuah hembusan napas hangat mengenai wajahnya. Samar-samar, ia melihat siluet wajah seseorang yang begitu dekat.

Semakin jelas, ketika Hara mengerjapkan matanya berulang kali. Ia terkejut, mulutnya hampir berteriak jika cowok itu tidak segera membekap mulutnya. Ia melotot, memberi gestur agar Hara diam.

"Lo ngapain disini?" Hara berdesis. Mencubit perut Rey hingga cowok itu menggeliat dan meringis kesakitan. "Ntar kalau ada yang patroli kesini, terus tau kalau—"

Rey menyalakan senter bercahaya putih yang ia bawa, menyorotkannya usil tepat ke wajah Hara. "Nggak akan tau selama lo nggak bilang."

Hara menghembuskan napas kasar, sebut saja Hara gila karena jauh di lubuk hatinya perempuan itu senang saat mengetahui kalau Rey menyusup ke tendanya—entah mengapa sekarang ia merasa tenang. Ia menolehkan kepala kesamping, dan menyadari kalau lengan Rey yang menjadi bantalan untuk kepalanya.

"Mau cerita?" Rey retap menyorotkan senter ke wajah Hara, sangat terlihat jelas bahwa matanya membengkak karena menangis berulang kali.

Namun, yang Rey dapatkan, Hara justru menggeleng pelan. Tangan perempuan itu menarik selimut tipis untuk menghangatkan mereka meskipun hanya sebatas pinggang. Hara memejamkan matanya, dan menyembunyikan wajahnya di dada bidang Rey yang memiliki aroma menenangkan.

Rey gugup setengah mati, dan ia selalu berharap agar Hara tak bisa mendengar degupan jantungnya yang hampir seperti irama musik. Cowok itu mematikan senternya, dan membiarkan senter kuning disudut tenda yang tetap menjadi satu-satunya penerangan.

Rey menyimpan senternya di belakang tubuhnya, lalu telapak tangannya yang dingin mengusap lembut dahi Hara yang berkeringat, menyingkirkan helaian rambut yang menutupi wajahnya yang semakin pucat.

"Lo nggak perlu cerita pun gue udah tau semuanya." Rey berbisik, tak ingin membuat Hara terganggu.

Perempuan itu menggeliat kecil, membuat Rey menghentikan gerakannya karena menyadari Hara belum sepenuhnya tertidur. "Lo tidur?"

Dan hembusan nafas teratur itu menjadi jawaban untuknya, kalau Hara mulai terlelap. Rey melarikan jemarinya, menyelipkan sejumput rambut kebelakang telinga Hara. Meskipun dengan penerangan yang minim, Rey tak menyiakan kesempatan untuk mengamati wajah Hara dari dekat. Ia berusaha tetap terlihat santai, meskipun jantungnya seakan ingin lompat.

"Tadinya, gue cuma mau nanya, sebenernya apa yang nahan Lo buat nggak pergi? kenapa harus betah tinggal ditempat yang sebenernya nggak bikin lo tenang?" Suaranya sangat lembut bahkan ketika sampai ke telinga Hara.

Hara menikmati setiap perlakuan lembut cowok itu dari dulu hingga sekarang. Santai, tanpa paksaan, namun membuatnya bisa terbuka perlahan-lahan.

"Lo," Lima detik setelah Rey bertanya, Hara bersuara kecil.

Samar-samar, Rey dapat melihat mata Hara terbuka, berkedip dan akhirnya menatapnya lurus. "Sekarang gue tau, Lo itu alesan kenapa gue masih betah disini."

"Kenapa gue?"

"Gue masih pengen lebih lama ngabisin waktu sama lo, karena waktu yang selama ini ngasih gue kesempatan itu masih kurang. Gue pengen lebih, lebih lama lagi."

Rey terpaku, mematung dan tak dapat bergerak, statis. Tubuhnya semakin kaku ketika ia merasa Hara memeluk pinggangnya, dan mempersempit jarak diantara mereka. Rey sempat merasa bahwa ia bisa mati karena kehabisan pasokan udara dengan posisi seperti ini.

"H-Har—"

"Lo yang bikin gue tetep tenang, ditempat yang sebenernya nggak bikin gue tenang, Rey." Hara menuturkan kalimatnya, dengan mata terpejam. Rey tak menginterupsi, dan membiarkan Hara melanjutkan.

"Kenapa gue nggak pergi dari awal? dan milih buat balik lagi ke sekolah meskipun gue nggak mau. Sekarang gue tau alesannya, ya karena gue pengen ngeliat lo lebih lama lagi, pengen ninggalin kenangan bagus sebelum gue pada akhirnya bener-bener nggak akan bisa ketemu lo lagi."

Rey menarik nafas sejenak, menyisir lembut helaian rambut Hara dengan jarinya. "Sekarang, apa lo masih pengen pergi?"

Awalnya, Hara diam, namun ia menggeleng. "Gue masih nggak ngerti sama diri gue sendiri, Gue pengen pergi tapi Gue juga masih tetep pengen disini. Masalahnya, ini bukan dari kota ke kota, bukan dari satu pulau ke pulau, gue bakal pindah ke tempat yang jauh, dari satu negara ke negara lainnya."

Rey menyadari, bahwa Hara mulai menangis, perempuan itu membekap mulutnya untuk menahan isakan tangisnya sebisa mungkin agar tidak mengeluarkan suara. Rey menepuk bagian belakang punggung Hara lembut. "Kalau itu emang terlalu sakit buat ditahan, lo boleh nangis."

Hara terkekeh, mengusap pipinya yang basah dan menertawa dirinya sendiri karena tak terhitung sudah berapa banyak ia menangis semalaman ini. "Ah, ya ampun... gue cengeng banget..."

Rey tersenyum tipis, ikut mengusap mata Hara secara lembut. "Nangis itu bukan ciri kalau seseorang lemah, tapi karena dia udah berusaha kuat terlalu lama."

Hara mengguk pelan, dan selama ini ia mengakui kalau berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja ternyata melelahkan. Ia memeluk pinggang Rey, menyembunyikan wajahnya di dada cowok itu lagi. Tubuhnya hangat, dan memberinya kenyamanan.

"Jangan pergi, gue nggak mau tidur di tenda sendirian."

Hara dapat merasakan kalau Rey menyeringai geli meskipun ia tak melihatnya secara langsung. Seharian ini untuk pertama kalinya, Hara menyunggingkan senyum. Dan Rey satu-satunya orang yang membuatnya tersenyum sepanjang hari ini.

Menjelang pukul setengah tiga pagi, Rey menahan tawanya ketika mendengar Hara mendengkur halus. Kali ini, perempuan itu benar-benar terbang ke alam mimpi. Lengan kirinya perlahan mulai terasa kesemutan, karena terlalu lama menjadi bantalan untuk kepala Hara. Tapi, itu bukan masalah.

Rey kembali mengusap dahi Hara yang berkeringat, sebelum mengecupnya lembut.

Gue nggak akan ninggalin lo, nggak akan pernah kabur lagi. Karena terakhir kali gue kabur ninggalin lo, lo dalam bahaya.