webnovel

My Ètoile : Secret Love

Sebuah rahasia yang selama ini ku simpan. Tentang bagaimana aku mencintai seseorang diam-diam. Aku sadar betul tentang kami yang tidak bisa bersama. Bukan karena adanya perbedaan, tetapi mengenai suatu persamaan. Aku dan dia diciptakan dengan jenis kelamin yang sama.

JieRamaDhan · LGBT+
Pas assez d’évaluations
164 Chs

Dia Kembali

"Aku pikir kau masih tidur.."

Di sana, di ambang pintu yang terbuka dari luar. Berdiri seorang pria mengenakan kemeja motif kotak-kotak warna kuning hitam, beberapa helai putih menghiasi sebagian kecil kepalanya, tak ada janggut di wajahnya. Barangkali sudah di pangkas beberapa saat lalu, sebelum dia membuka pintu kamar, sebelum dia menyapaku dengan senyuman khas. Kerutan semakin terlihat jelas setiap kali otot-otot wajahnya tertarik.

"Dad.." Senyuman itu menular, membuatku tanpa sadar menarik sudut bibirku ke atas. Menonjolkan tulang pipi. Kakiku melangkah lebar-lebar, menghambur ke arahnya lalu pelukan tidak bisa terhindarkan. "Kenapa tidak memberitahuku kalau kau pulang?" tanyaku setelah melepas pelukan.

"Well, Aku tidak benar-benar pulang sebenarnya..." Ada rasa penyesalan dari tatapan mata. Bibirnya memang tersenyum, tetapi itu adalah jenis senyuman yang terukir ketika seseorang sedang menutupi kesalahan. "Beton-beton itu harus sampai besok, tujuannya melewati rute rumah kita. Dan, aku hanya mampir sebentar untuk mengecek apakah jagoanku ini sudah bangun atau masih terlelap," jelasnya sambil mengacak rambutku.

Menjadi sopir pengantar barang-barang kontruksi lumayan membuat Dad tak punya banyak waktu untuk singgah lebih lama, menempati rumah pemberian ayah dan ibunya, kakek dan nenekku. Dia adalah pria bertanggung jawab yang akan melakukan jenis pekerjaan apa saja untuk membuatku tetap makan, berangkat sekolah, menempuh pendidikan tinggi agar bisa merasakan kehidupan lebih baik di kemudian hari. 'Jangan melakukan pekerjaan berat kalau kau bisa memperoleh pekerjaan mudah dengan gaji yang besar.'

Aku meringis, menyadari bahwa pilihanku untuk masuk ke jurusan tari terkesan tidak masuk akal. Setidaknya untuk saat ini.

"Bersihkan dirimu lalu turun, Aku membawakan sesuatu, tidak terlalu lezat sih, tapi lebih baik daripada hanya sereal saja."

Aku mengangguk, masih tersenyum ketika dia keluar dari kamar dengan tak lupa menutup kembali pintu bercat coklat tua. Dad tahu benar jika remaja seusia ku membutuhkan privasi lebih banyak. Salah satunya pada sekat yang membatasi antara dunia luar dan empat dinding sebagai penghalang. Di sini dunia ku.

Sebelum aku kembali lupa —rasanya akhir-akhir ini aku selalu melupakan sesuatu— bingkai foto tak akan terganti dengan sendirinya. Lembar tanda tangan tidak bisa memasukan dirinya sendiri ke dalam bingkai kaca bertepian kayu hitam. Potret dua bocah yang sedang bermain pasir masih tetap terselip di sana, selama apapun, jika tak ada tangan-tangan lain mengeluarkan.

Ada sebuah pengait yang harus ku tarik sehingga penutup bingkai dapat terbuka. Suara 'Klik!' terdengar nyaring memenuhi ruang kamar yang memang sedang hening. Aku mengeluarkan lembar foto dari dalam sana, potret dua orang bocah masih dalam keadaan baik-baik saja. Tampak seperti baru. Mungkin karena bingkai bingkai ini telah ditinggalkan dalam waktu cukup lama, menghilang seiring waktu kian berlalu, terlupakan begitu saja seperti keping-keping kenangan yang tak terlalu berharga. Hingga semalam aku menemukannya, di loteng atas, menyempil sebatang kara di antara buku-buku usang.

"Yeah, dia terlihat manis dan gembul ketika masih kecil."

Lengah beberapa saat, tanpa melihat dengan jelas, dan ketika sadar sosok anak kecil berkulit kecoklatan telah menjelma menjadi pemuda bertampang sangar. Wajah yang bisa membuatmu gemetar ketakutan meskipun tidak melakukan kesalahan apa-apa. Bagai preman yang akan menjegal ketika kau melewati kawasan miliknya. Dan akulah salah satu orang yang cukup berani berada di dekat preman tersebut.

Sosok bocah kecil di dalam foto memang berbeda dengan Lucas ketika telah dewasa. Pipi gembul tergantikan oleh rahang tegas dan tirus, membuat wajahnya semakin serius. Mata bulat lucu berubah menjadi lebih tajam, bahkan mungkin bisa melubangi pintu besi tebal, aku sering mengejeknya begitu. Tubuh gembul sekarang sudah bermetamorfosis menjadi atletis dengan banyaknya otot tercetak jelas meskipun Lucas memakai pakaian tebal.

Bagian luar memang selalu terlihat berubah, tetapi berbeda dengan yang ada di dalam. Waktu punya kendali penuh untuk merubah wujud seseorang, meski lajunya terkesan lambat, perubahan pasti terjadi. Hanya saja, di dalam mataku Lucas masih sama. Bocah menyebalkan yang selalu mengikutiku kemanapun aku pergi. Merengek karena aku terlalu lama. Kesal karena ku tinggalkan di taman bermain sendirian. Lalu menangis saat aku menggodanya dengan memasukan serangga mainan ke dalam tas sekolah. Dia bocah lelaki cengeng yang selalu menggembar-gemborkan akan melindungiku suatu hari nanti.

Entah kapan.

Setelah semua kenangan berkelibatan, ada perasaan bersalah ketika aku selesai menggantikan posisi tempat bingkai kepada lembar putih berisi tanda tangan dari Joshua.

Apakah ini yang terbaik?

Lembar foto itu menempel di dinding putih tulang berkat bantuan beberapa selai lem yang ku temukan di laci meja nakas. Di sebelah poster Deadpool.

"Ku rasa dia tak akan marah saat melihat ini," gumamku sembari membersihkan jari-jari tangan yang telah dinodai oleh lem. Aku cukup ragu kalau dia bisa mengingat semua yang terjadi di masa lalu, saat kedewasaan menjadi hal paling diinginkan setiap anak, padahal dewasa malah akan membuatmu banyak berpikir. Kebanyakan itu negatif, dan tentu saja buruk.

Aroma lezat masih dapat ku cium, Dad pasti sengaja melakukannya untuk menggoda ku. "Ku rasa aku harus cepat membersihkan diri." Tubuhku melesat meraih handuk di belakang pintu, setengah berlari begitu keluar dari pintu. Bahkan saking buru-buru tanpa sadar aku membiarkan pintu kamar melambai sangat cepat, lalu suara kayu terbanting terdengar di belakang.

"Jangan berlarian di lantai atas! Aku tak akan mengambil jatah sarapanmu!"

Dad selalu begitu. Dia menempatkan dirinya seperti seorang kawan, teman sebaya, berusaha membuatku tak merasa canggung. Padahal, kebanyakan seorang ayah memiliki kesan kuat dan kolot. Dad tak ingin kehadirannya yang jarang, semakin menghilangkan perannya sebagai ayahku. Dia ingin menempatkan kenyamanan di dalam hati serta alam bawah sadarku, menegaskan bahwa dia tetaplah Dad yang akan selalu menghibur anaknya.

"Udang asam manis?"

Aku menyerbu langsung ke arah dapur. Rambutku masih cukup basah, dan handuk masih tersampir di atas bahuku. Menghalangi tetesan air membasahi baju dan membuatku masuk angin.

Dad tersenyum di belakang meja pantry, tangannya masih bergerak ke kanan dan kiri, atas dan bawah. Membolak-balik masakan yang ada di dalam wajan.

Aku tak tahu kapan Dad mempersiapkan ini semua. Membeli seafood mentah lalu mengolahnya menjadi makanan yang lezat. Aku bisa mendengar suara perutku semakin nyaring.

Dad sepertinya mengetahui rasa penasaran yang terpancar di wajahku. Katanya, mataku selalu tampak berbinar-binar ketika sedang penasaran. Itu konyol. Tetapi itulah Dad, dan aku selalu menyukai bagaimana dia mendeskripsikan sesuatu seolah-olah itu adalah mahakarya paling menawan. "Aku membelinya saat di perjalanan ke mari. Tadinya masih hangat, tetapi udara dingin membuat suhu di dalam juga turun drastis. Tetapi ini masih segar, aku hanya menghangatkan agar rasanya tetap lezat ketika dikunyah," jelasnya sembari menuangkan udang asam manis ke dalam piring berukuran lebih besar daripada piringku dan piring Dad. Kami memang biasa memakannya bersama, mengambil dalam satu wadah yang sama.

"Terimakasih Dad~"