webnovel

Mengawasimu

Wanita itu melepaskan pagutan bibirnya dengan bibir sang kekasih. Ia menatap wajah itu dengan senyum yang merekah, kembali mengecup singkat bibir merahnya yang sungguh begitu menggoda. Ia pun sama, rasa bibir yang dimilikinya begitu memikat hingga tak rela ia lepas begitu saja.

Tangannya mengusap rambut hitam Zia, berlanjut pada wajah tampannya dan berakhir pada bibirnya. Ia mengusap sedikit bibir itu, "Lipstiku sedikit menempel." Bisiknya. Sedangkan sang lawan bicara hanya menaikan sebelah alisnya tanda tak paham. "Nanti diomongin orang sekantor lagi.. Laki-laki gagah sepertimu mengenakan lipstik, kan enggak banget." Tambahnya lagi.

"Tak apa, selama ini adalah bekas bibir istriku. Sah sah saja.." Elaknya.

"No no no, aku tak akan membiarkan suamiku diinjak-injak orang lain. Karena kamu terlalu berharga untukku." Ucapnya, lalu ia mengecup bibir itu sekali lagi. "Sudah, aku turun. Nanti aku hubungi ya.. Fii amanillah, jangan ngebut-ngebut. Jangan terlalu memikirkan diriku.." Ucapnya dengan kedipan sebelah mata.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam.." Jawab Zia dengan tersenyum, sungguh ketika mendengarkan pembelaan dari sang istrinya hatinya begitu membuncah. Ia merasa ada seseorang yang memiliki dan memperhatikannya. Awalnya ia khawatir bahwa pernikahan ini akan gagal, terlebih melihat sikap pertama kali yang ditunjukan oleh Zara waktu itu. Namun, ia sangat paham sekarang. Hal tersebut merupakan pertahanan diri Zara dalam menghadapi setiap laki-laki yang bukan mahramnya.

***

Seorang wanita tengah terduduk di salah satu pojok bacaan perpustakaan bergelut dengan berbagai buku tebal dan juga laptop yang menyala, menampilkan ribuan kata yang membentuk satuan makna. Ia fokus dengan tulisan-tulisannya. Hingga tak sadar jika seseorang tengah terduduk di hadapannya.

"Lama tidak berjumpa, Ra.." Sapa seseorang dengan suara beratnya.

Wanita itu terhenti pada halaman seratus lima belas, dan dengan perlahan mendongakan wajahnya untuk melihat siapa yang tengah menyapanya. Ia sedikit terkejut melihat sosok yang ada di hadapannya, ia tak pernah sedikitpun berharap seseorang itu muncul dalam keadaan apapun.

"Bagaimana kabarmu?" Tanyanya dengan tangan yang terlipat rapi di depan dadanya. Lalu ia melepaskannya dan mendekat ke arah Zara, yang dengan refleks wanita itu memundurkan tubuhnya.

Zara hanya melihat kaos hitam yang dikenakan laki-laki itu, ia tak mau mengambil resiko untuk menatapnya. "Bisakah kau tinggalkan aku sendiri, seperti sedia kala?" Tanyanya datar. Ia tak mau menunjukam emosi apapun di hadapan pria itu. Dan ia tak mau memberikan sedikit celah kebaikan seolah-olah ia tengah menggantungkan harapan.

Pria itu tertawa hambar, "Ayolah Ra.. Beberapa bulan kita tidak bertemu, dan aku harus menuntaskan rasa rinduku." Ucapnya jujur.

Zara mengerutkan keningnya, "Kau pun tahu dari beberapa waktu yang lalu.. Aku tak pernah menyukaimu, bahkan untuk sedikit berbincang berdua tanpa ada hal yang benar-benar penting untuk dibicarakan." Ucapnya tegas. Ia kembali menunduk, membaca beberapa halaman pada buku yang tengah ia pangku. Ia menggertakan giginya, setelah dirasa laki-laki itu tak sedikitpun ada niatan untuk beranjak dari hadapannya.

"Baiklah, silahkan Anda diam di sini. Saya yang akan pergi, selama tidak ada yang penting jangan pernah menemui Saya. Kalau pun ada sesuatu yang genting untuk dibahas, silahkan bawa mahram Anda. Saya tidak ingin, dengan duduknya Anda satu meja dengan saya meskipun di tempat umum seperti ini mengundang banyak desas desus miring yang tak bertuan. Terima kasih." Ungkapnya dengan amarah yang membuncah dalam hatinya, ia mengatakan hal tersebut dengan mempertimbangkan banyak hal. Ia sudah tidak perduli dianggap sombong atau apapun, ia hanya ingin menjaga diri terlebih ia yang telah berstatus istri, telah memiliki suami.

Zara dengan cepat membawa perlengkapannya dan pergi dari hadapan laki-laki yang memiliki rambut sedikit warna cokelat itu. Ia segera berjalan ke arah loker dan mengeluarkan tasnya, lalu dengan cepat memasukan laptop pada tas yang ia bawa. Kakinya melangkah tergesa-gesa keluar dari gedung perpustakaan itu.

Ia berjengit kaget ketika handphonenya berbunyi, di dalam layar memunculkan suatu nama yang telah ia setting sebelumnya 'Surga Utamaku ♡'. Lalu ia meletakan handphonenya di telinga sebelah kanan setelah ia mengusap layarnya untuk menerima panggilan.

"Assalamualaikum? Haloo? Sudah sampaikah?" Tanya Zara.

"Waalaikumussalam, Hmm.." Jawabnya singkat. Sungguh mendengar suara itu, hatinya merasa tentram. Kekesalan yang tadi berkobar dalam hatinya, tiba-tiba padam begitu saja.

Wanita berkerudung hitam itu mengerutkan kening tampak bingung, "Ada apa?" Tanyanya lagi.

"Ada apa? Apakah kau tipe orang pelupa hmm?" Tanyanya balik. Seseorang yang dibalik telpon hanya mendengus kesal.

"Maafkan aku, Zi. Aku tak mungkin langsung menelponmu tadi, takutnya kamu masih mengemudi. Dimaafkan kan?" Ucapnya setengah panik, setelah sadar apa kesalahan yang telah ia perbuat.

"Hmmm.." Gumam seseorang dari seberang sana.

"Zi, jangan marah dong." Bujuknya. Ia sangat sadar diri, tak mungkin ia melawan sang suami. Berdasarkan apa yang ia pahami, menuju JannahNya hanya satu syaratnya. Yaitu, patuh pada suami. Artinya mengikuti apa perintah suami, mudah bukan?

Tapi yaa itu.. Terkadang berat untuk di jalani, karena kita tak pernah tahu apa yang diinginkan suami. Tapi jika dengan hati ikhlas dan ridha, selama niatnya benar-benar lurus untuk mencapai RidhaNya. Insya Allah, Allah akan memudahkan urusan kita.

"Zi, telat gak tadi? Dimarahi atasan tidak?" Tanya Zara berusaha untuk mengalihkan pembicaraan. Ia mendudukan diri di salah satu kursi di taman gantung kampus.

"Mana ada yang berani, aku kan direktur." Ucapnya menyombongkan diri. "Kau baik-baik saja kan? Masuk kelas masih lama?" Tanyanya yang dijawab hanya dengan anggukan dari sang lawan bicara. "Semangat, jangan pecicilan yaa.. Aku di sini mengawasimu. Ohiya karena kamu lupa untuk mengabariku, hukumannya nanti malam siap-siap ya.." Godanya lagi.

"Hei..." Protes Zara yang terpotong oleh ucapan pamit dari sang kekasih. Ia hanya menghela nafas, tak apa selama orang tercinta memaafkan kesalahannya. Ia harus berjuang sekuat tenaga untuk mendapatkan JannahNya. Bukankah hidup penuh perjuangan, bukan?

"Waalaikumussalam" Lirihnya denga senyuman yang mengembang. Meskipun hanya membicarakan hal yang sangat sederhana, namun ia begitu menyukainya.