webnovel

Prolog

Ku ingin terbang bebas. Melepas semua beban yang ada di pundak. Menjatuhkannya ke bumi, berharap ia tidak hancur karena menerima semua beban itu. Tapi sepertinya itu hanya angan belaka. Tidak apa, selama aku masih mendapat perhatiannya. Kasih sayangnya. Tapi sepertinya, itupun hanya angan. Lalu apa? Apa yang menjadi kenyataan dari sebagian mimpiku yang tidak banyak orang lain tahu, selain diriku sendiri.

Ku ingin menjadi warna putih. Polos, dan banyak disukai orang lain. Saat kotor, ia akan dibersihkan agar bersih dan kembali kepada warna asalnya. Indahnya ... Perhatian yang warna putih dapatkan bahkan membuat ku sebagai ras tertinggi dari mahluk hidup, atau mungkin itu pemahaman yang sampai sekarang belum terpatahkan yaitu manusia, merasa iri.

Aku ... Iri ... Dengan sebuah warna. Ya, inilah aku. Sosok yang berjalan di tengah dunia yang terus berputar mengejar suatu pencapaian demi kepuasan jangka pendek. Tunggu. Rasanya sudah lama sekali aku tidak mengucapkan kata itu, atau setidaknya sampai akhirnya ku bertemu dengannya. Seseorang dengan sepasang bola mata coklat pada malam bersalju penuh kenangan kota mati. Sepasang bola mata yang merubah hampir semua jalan hidup yang tertanam di otakku.

Pernahkah kalian merasa bahwa masuk ke sebuah asrama yang jauh dari keluarga—kalau kalian memang ingin menyebutnya seperti itu—membuat kalian merasa nyaman? Atau mungkin kalian akan sedih saat tidak lagi melihat wajah orang yang sudah bersama kalian selama ini?

Pertama kali ku mengetahui bahwa Ka, ayahku yang sudah lama sekali pergi sampai ku sendiri lupa bagaimana bentuk wajahnya datang dengan mengundang perang kepada ibuku—ibu bukan kandungku yang menolak pernyataan bodohnya untuk memasukkan ku ke asrama secara sepihak. Tidak bisa dikatakan sepihak sebenarnya, karena dia sempat menelponku beberapa hari sebelumnya, mengatakan akan meluangkan waktu untuk datang. Tetapi aku tidak menyangka akan berakhir dengan masalah seperti ini.

Tak cukup sampai di sana, orang bodoh itu bahkan menyerahkan surat tertulis mengenai penyerahan hak asuhku kepada Nor—ibu bukan kandungku. Kesimpulan surat tertulis itu adalah menyerahkan aku, Kina Harasawa sebagai anak kandung dari ayahku kembali padanya dan mencabut hak asuh dari Nor.

Tentu saja perang pun terjadi. Tidak cukup menggunakan mulut, namun barang lain pun menjadi barang yang bisa dikatakan anti gravitasi karena mampu melayang dari dapur menuju ruang tamu, dengan jarak yang menurutku cukup jauh. Seketika rumahku berubah menjadi sangat bising dengan beberapa kali terdengar suara gelas dan piring atau bisa kusebut prototype UFO pecah.

Aroma daun khas musim gugur pun tertutup amarah bercampur aroma keringat dan darah yang dapat kutebak sudah memenuhi ruang tamu itu. Ku takut. Sangat takut. Ku tutup pintu kamar rapat lalu mengambil bantal, berharap pertengkaran itu cepat berlalu.

Akhirnya, setelah pertengkaran sengit itu, aku pun dengan terpaksa, atau mungkin dipaksa akhirnya mengikuti ayahku. Jangan salah sangka, ini semua kulakukan demi keselamatannya. Walaupun bukan Ibu kandung—dan aku tidak tahu bagaimana rupa wajah ibuku yang asli—ia tetap saja menyayangiku seperti anaknya sendiri. Ku terharu jika mengingat semua perlakuan baiknya yang tidak bisa ku sebutkan satu persatu.

Lalu ku masuk ke tempat ini. Sebuah asrama yang dipilihkan oleh ayahku tanpa sedikitpun ku mengetahui tentang latar belakangnya. Seperti, apakah asrama ini mempunyai seorang psikopat di antara gurunya, atau mungkin banyak dibumbui cerita mistis. Atau kemungkinan lain, itu hanya anganku saja karena terlalu banyak menonton dan membaca hal-hal berbau mistis? Entahlah, namun satu hal yang pasti. Aku muak dengan lelaki ini.

Maksudku, ayolah. Kalian akan mengerti saat melihat suasana asrama yang ku maksud. Bagian luarnya memang cukup bagus, aku akui itu. Namun tidak dengan penghuninya. Dan ku bisa meyakinkan kalian bahwa pendapatku benar saat cerita ini dimulai. Beberapa hari terasa menyenangkan dan cukup normal. Teman, makanan, tenaga pengajar yang baik. Tapi setelahnya, hal itu tidak terjadi lagi.

Semua bermula saat pembagian kelas berdasarkan talenta dari setiap murid baru yang masuk ke dalam asrama ini. Dan entah karena suatu kebetulan atau memang sudah ditakdirkan, namaku dipanggil dalam jajaran orang dengan talenta luar biasa. Dan ku tersadar bahwa ini adalah awal dari semua bencana di hidupku.

Lalu semua menjadi semakin menarik saat ku bertemu dengannya. Sejak saat itu, hidupku mengalami sesuatu yang sulit dijelaskan. Lebih sulit daripada pertanyaan mengapa aku bisa dimasukkan ke dalam jajaran orang bertalenta luar biasa. Dia yang sering kali salah mengucapkan namaku, dari Kina menjadi Hina benar-benar membuatku kesal. Namaku Kina Harasawa, dan aku merasa bahwa diriku normal. Perlu kalian garis bawahi, normal dalam pemahamanku mungkin cukup berbeda dari kebanyakan orang di luar sana.

"Hei Hina!" Sahutnya dalam balutan hoodie kebesaran berwarna ungu miliknya. "Cepat rapihkan bajumu lalu kita berangkat."

"Namaku Kina! K-I-N-A. Jangan salah mengeja namaku dasar kau penganggu!" Aku mendengus kesal. Sudah kesekian kalinya dia memanggilku dengan panggilan Hina. Aku bukan orang hina dengan nama Hina, tetapi Kina Harasawa! Dan aku tegaskan sekali lagi, aku tidak hina! Setidaknya itulah kata yang sudah sejauh lama ku katakan padanya. Tapi ya... Kalian lihat sendiri hasilnya.

"Aku menyelamatkan hidupmu Hina, jangan lupakan itu." Aku terdiam mendengarnya. Memang benar mahluk satu ini sudah menyelamatkanku, tetapi lihatlah dia sekarang. Menaik turunkan alisnya dengan memutar pensil menggunakan tangan kirinya seolah dia telah melakukan sesuatu yang luar biasa. Ditambah lagi gayanya yang duduk manis sambil menyilangkan kaki panjangnya di atas kasurku. Kalau saja ku bisa memotong kakinya itu, aku akan menyelamatkan banyak sekali pohon.

"Ku harap ada seseorang yang bisa memutar waktu agar aku tidak harus bertemu denganmu yang selalu memanggil namaku dengan panggilan yang salah." Dia tertawa dengan—terlihat sangat menikmati kekesalanku. Bahkan terlihat kilauan pada sudut matanya. Apa dia menganggap kemarahanku sebagai sesuatu yang lucu untuk dipandang? Mahluk satu ini memang tidak diajarkan tata krama. Atau begitulah dugaanku.

"Kau lucu saat marah," ucapnya.

"Dan kau menyebalkan saat tertawa," sahutku. Lantas mengambil beberapa buku termasuk alat tulis, lalu melengang pergi dengan menyunggingkan tatapan sinis disertai senyuman kesal kepadanya sebelum pintu tertutup rapat.

To be continued (っ˘̩╭╮˘̩)っ