Ini adalah hari kedua bagi para siswa-siswi lencana bangsa masuk sekolah. Setelah libur untuk beberapa minggu, mereka kembali memulai aktivitas belajar-mengajar mereka. Namun, karena baru masuk sekolah, guru-guru memutuskan mengadakan kegiatan ekstrakurikuler bagi para siswa-siswi mereka.
Guru-guru itu tidak mungkin langsung mengadakan aktivitas belajar-mengajar dikarenakan kehadiran murid baru kelas X.
Merekapun harus mengadakan kegiatan masa pengenalan lingkungan sekolah atau biasa dikenal dengan MPLS untuk peserta didik baru. Ini masih hari kedua, sedangkan kegiatan MPLS dilakukan selama tiga hari mendatang pada awal tahun pembelajaran baru.
Tak hanya guru dan peserta didik baru yang ikut berpatisipasi, tetapi kakak kelas XI dan XII ikut membantu dalam kegiatan MPLS ini. Mereka membantu peserta didik untuk lebih mengenal lingkungan sekolah baru mereka.
Terlebih karena diadakan kegiatan ektrakurikuler, membuat sekolah seakan menarik bagi siswa-siswi itu. Mereka berbondong-bondong melihat pertandingan Basketball antar kelas di lapangan yang telah disediakan.
Banyak kelas yang ikut dalam kegiatan ini. Murid-murid lain juga ikut menyemangati, dan sudah tentu yang mereka semangati adalah kelas mereka masing-masing.
Terdengar sorak riuh dari para penonton. Bahkan, suara mereka sangat memekakan telinga membuat seseorang yang merasa terisih terpaksa berteriak.
"Bisa gak kalian diam?!"
Mendengar itu, sontak para penonton langsung dibuat bungkam. Yang berdiri tadi perlahan-lahan duduk kembali. Sorot tajam dikeluarkan oleh seseorang yang berteriak itu tadi seakan menelan semua nyali para siswa-siswi itu. Setelahnya, tak adapun dari mereka yang mengeluarkan sedikit suara. Keheninganlah yang terjadi saat ini.
A. Nama yang sangat pendek. Ia adalah lelaki yang berteriak tadi. Sungguh! Teriakan itu sangat membuat telinganya sakit. Itulah mengapa ia berteriak demi menyuruh para murid itu untuk diam. Kalau tidak, maka gendang telinganya akan pecah dan ia akan dicap sebagai tunarungu setelah ini.
"Apa mereka tidak bisa diam? Menonton saja, kenapa harus berteriak segala?" ucapnya sedikit berbisik kepada seseorang di sampingnya.
Seseorang yang tak lain adalah kakak laki-lakinya mengusap pelan kepala A. Gilang namanya. Ia juga berbisik tepat di telinga A. "Jadilah seperti mereka, yang diidolakan para gadis."
A menatap sarkas sang kakak, tak lama ia kemudian pergi dari area itu dengan perasaan yang kesal. Sedangkan Gilang sudah tertawa renyah melihat wajah kesal sang adik.
"Kau selalu menggodanya," ucap Aksel, sahabat A dan Gilang.
Aksel. Dengan perawakan tinggi dan wajah yang memiliki sedikit kumis tipis di area bibir atasnya. Lelaki yang dikenal dengan sifatnya yang dingin itu ternyata bisa berbicara juga. Gilang selama ini menyangka bahwa Aksel adalah orang bisu.
Tiga remaja ini bersahabat dari kecil. Mereka dipertemukan saat di taman kanak-kanak dulu. Sampai sekarang, persahabatan mereka terjalin begitu erat.
Lanjut pada keadaan yang begitu menyebalkan bagi Alister. Lelaki itu terus menggerutu sepanjang perjalanannya. Diidolakan gadis? Bukan hal yang tepat untuknya. Ia tidak ingin pernah membahas seorang perempun di dalam hidupnya. Sudah cukup!
Lama berdebat dan menyalahkan diri sendiri akibat dirinya yang tak pernah diidolakan oleh para gadis. Gilang kakaknya juga selalu menggodanya. Tak pernah membiarkannya hidup dengan tenang hanya tentang dirinya.
A menghela nafas saat ia sudah berada di taman belakang sekolah. Saat tengah asyik melihat langit yang cukup cerah hari ini, tiba-tiba saja ia dikagetkan oleh seseorang.
"Hah kena kamu!" sarkas seorang gadis. Gadis itu menyengir kuda kala melihat wajah kesal dari sang empu.
"Kamu apa-apaan sih?!" A membentak gadis yang mengagetkan dirinya itu. Hampir saja ia terkena serangan jantung tiba-tiba. Untungnya, ia tak memiliki riwayat penyakit jantung.
"Yah, lo gak asyik banget deh. Dasar pemarah!" Gadis itu menggerutuki A dan langsung berlari meninggalkannya begitu saja.
Waktu sudah menunjukkan jam 12 siang. Satu jam lagi maka bel pulang sekolah akan berbunyi. Tak ada yang dilakukan banyak oleh A selain membaca buku perpustakaan.
Tapi, sekian lamanya ia membaca, lelaki itu merasa risih dengan pemandangan dua remaja yang sedang berpacaran di depannya.
Lantas karena menyebalkan, A memukul meja seraya berkata dengan intonasi yang sangat tinggi.
"Apa kalian ke sekolah untuk berpacaran?! Dan kau sebagai laki-laki apa pantas mengajak kekasihmu untuk bercinta di dalam perpus. Kalo ingin bercinta sekalian nikah aja?!"
"Buat kalian semua di ruangan ini silahkan keluar. Tinggalkan ruangan ini secepatnya!" ujar A menekan kalimat terakhir.
Mau tak mau, para siswa yang sedang membaca menghentikan aktivitas mereka dan berbondong-bondong keluar perpustakaan. Begitu juga dengan pengurus perpustakaan yang ikut keluar juga.
Tak ada yang bisa menentang seorang Mr. A, tuan muda yang ayahnya sangat memiliki status penting di Indonesia. A termasuk dalam kalangan anak sultan. Sekolah lencana bangsa yang sekarang menjadi tempat belajar A merupakan sekolah yang sebagian sahamnya ayah A yang memegangnya.
Status penting itu A gunakan untuk menghancurkan orang-orang yang mengganggu ketenangannya.
"Hai!" Teriak seorang gadis dan lagi mampu membuat detak jantung sang Mr. A berdetak dengan sangat cepat.
A menatap tajam sang empu. "Kau lagi?" A berucap dramastis sambil memegang kepalanya.
Gadis yang sama yang mengagetkannya di taman belakang sekolah tersenyum menampakkan sederatan gigi putihnya itu.
"Iya, ini sudah tentu gue. Jadi, jangan takut gue ini bukan hantu, ya," ujar gadis itu.
"Kau ini punya kegiatan lain selain menggangguku tidak?" tanya A pelan, tapi penuh kekesalan.
Gadis itu mengambil duduk di depan A. Lantas ia menggelengkan kepalanya. "Tidak, tapi aku punya kegiatan lain nanti sore."
A tak menanggapi ucapannya. Membuat gadis itu kesal. Lantas gadis itu pun menarik rambut A hingga kepala Mr.A terbentur di atas meja.
Gadis itu menyengir kuda saat merasakan hawa panas mulai mengelilinginya. Segera ia mengambil seribu langkah untuk berlari keluar dari perpustakaan.
"A sabar A..." lirih A dengan wajah memerah akibat menahan amarah. Dengan santai ia kembali melanjutkan aktivitas membacanya.
Sangat butuh waktu lama bagi A bermain di dunia buku. Lelaki itu sangat menyukai buku dari kecil. Oleh sebab itu, nilai Alah yang selalu unggul dibanding nilai murid lain.
A tersenyum smirk, ia menutup bukunya. Kemudian ia berjalan mengembalikkan buku itu di tempat yang telah disediakan.
"Waktunya balas dendam gadis bodoh!" Tekan A seraya berjalan keluar dari perpustakaan.
Hari kedua masuk sekolah yang sangat membuat Gilang berkeringat banyak. Bahkan, baju almameternya terpaksa ia buka karena begitu sangat gerah menurutnya. Ia berjalan dengan tubuh yang telanjang dada menampakkan setiap lekuk-bekuk tubuhnya.
Sixpacknya yang sudah menghinggapi level enam membuat mata siswa tak berpaling darinya. Terlebih perempuan.
Kata "Wow" seolah mendeskripsikan bentuk tubuhnya yang indah itu. Namun, yang membuat para gadis itu langsung ilfeel adalah ketika Gilang ditabrak seorang gadis membuat Gilang terjerembab dalam keadaan yang mengeneskan. Tubuhnya yang indah itu malah kecebur diparit sekolah.
Tawa kini memenuhi koridor sekolah itu. Terutama dengan gadis yang menabraknya itu tadi yang tiada berhenti tertawa. Padahal, ini semua terjadi karena perbuatannya yang menabrak Gilang.
Aksel juga yang ada di sana sempat terkekeh, tapi kembali pada sifat dinginnya lagi. Ia membantu Gilang kembali berdiri yang dipenuhi amarah dan kekesalan.
"Jieee!" Gilang berteriak memanggil nama gadis yang menabraknya itu. Namun, seakan ditelan bumi, gadis itu tiba-tiba menghilang saja. Gilang mencium tubuhnya yang bau. Ia tak bisa mendeskripsikan bau itu yang menurutnya bermacam-macam. Yang jelas, bau itu sangat menyengat.
"Aksel ayo pulang! Gue mau mandi" Aksel mengedikkan bahunya, acuh tak acuh. Ia mengikuti langkah kaki Gilang yang sudah menuju parkiran sekolah.
Sedangkan disisi lain, A tengah tertawa renyah saat melihat mangsanya menangis memohon ampun kepadanya.
"Memohonlah ayo memohon," ucap A.
Gadis yang tak lain yang selalu mengagetkannya itu, merengek saat kecoa itu mendarat di kepalanya. Gadis itu memberontak penuh kekuatan. Namun, apa daya tangannya diikat dan kakinya juga diikat. Ia hanya bisa duduk dengan rengekkannya.
"Mr. A please ... lepasin gue!" teriak gadis itu.
"Lepasin kamu? Sorry ya setelah kau buat kakakku terpental di parit sekolah, aku juga akan membuatmu merasakan apa yang kakakku rasakan!"
"Hei, gue, 'kan gak sengaja. Etdah pendendam amat dah," cetus gadis itu seraya berusaha melepaskan ikatan tangannya.
A menatap tajam gadis itu. Ia perlahan jongkok, menyetarakan dirinya dengan gadis itu. Ia mencekeram dagu gadis itu membuat sang empu meringis sakit.
"Sa-sakit...," ringis gadis itu.
A memperhatikan setiap inci wajah gadis itu. Lantas berucap, "Tunggulah sampai ada orang yang melepaskanmu." A kemudian berlalu meninggalkan gadis itu sendirian.
"Gue sumpahin lo jadi kodok setengah babi. Awas lo! Mr. A...!"
A terkekeh saat mendengar gadis itu menyumpahinya kodok setengah babi. Bahkan, membayangkannya saja sudah membuat A geleng-geleng kepala.
Tiba-tiba saja A menjadi datar saat melihat ada seseorang di sampingnya yang ikut tertawa. A terkejut, kemudian menetralkan jantungnya.
"Kau siapa?" Tanya A heran.
"Hehe Mr. A kok ada di sini? Pake ketawa segala lagi," ujar laki-laki berkacamata itu.
"Lah? Apa urusanmu? Kau juga tertawa kenapa?"
"Karna melihat Mr. A tertawa." Lelaki berkacamata itu terkekeh saat melihat A terkekeh. Juga menjadi datar saat melihat ekspresi A menjadi datar.
Kini, A sudah tahu jelas siapa lelaki di sampingnya ini. "Apa gak ada orang yang benar-benar normal selain gue?"
Lelaki berkacamata itu menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Maksudnya apa ya?"
"Gak! Udah keburu ditelan bumi," cetu A.
Tanpa aba-aba, A langsung berlari meninggalkan lelaki berkacamata itu. Membuat sang empu tersenyum. "Astaga Mr. A tampan sekali saat melihatnya dari dekat," ujar lelaki berkacamata itu.
A sekarang tengah mencari Gilang dan Aksel. Sedaritadi ia mencari kedua pria yang tak waras itu baginya. Keluh kesal dan umpatan ia keluarkan terus menerus. Tiba-tiba, A memanggil seorang gadis yang melewatinya.
"Hei, kakakku dan Aksel ada dimana?"
"Mr. A kok tanya sama aku? Aku, 'kan gak tahu," ujar gadis itu.
"Dasar! Gak bisa banget diandalkan. Yaudah kau pergi sana."
Gadis itu menggerutu seraya meninggalkan Alister. A mengambil handphonenya dalam saku celananya yang tiba-tiba berbunyi. Namun, saat ingin menjawab telfon dari kakaknya Gilang, seseorang tiba-tiba memegang bahunya.
Tatapan A menjadi datar saat melihat siapa yang memegang bahunya. Ia kemudian menepuk bagian almameternya yang disentuh seseorang itu dan berlagak angkuh.
"Ada apa?!" sentak A dengan sombongnya.
Guan, lelaki yang memegang bahu A tadi, menaikkan alisnya sebelah. Ia memandang rendah A. Begitu pula dengan A yang juga memandang rendah Guan.
Dua lelaki ini memiliki perselisihan yang tiada habisnya saat dari SD. Kini mereka dipertemukan lagi saat SMA. Guan adalah anak yang sangat pintar. Namun, ia tak pernah bisa menyaingi nilai A yang begitu lebih tinggi. Yah meski kepopularisannya dikalangan siswa tak ada, tetapi A sangat terkenal dikalangan para guru.
Ia selalu menjadi teladan bagi siswa-siswi yang nakal. Tak ayal, musuh A sangatlah banyak. Namun, A tak ambil pusing, selama mereka tidak mengganggu ketenangannya, maka mareka masih bisa berada pada global "fine."
A hanya mementingkan dirinya dan keluarganya. Dari luar itu, ia tak akan mempedulikan yang lain lagi. Hatinya telah tertutup untuk keluarganya. Keluarganyalah satu-satunya yang paling penting baginya.
"Aku menemuimu untuk mengundangmu ke acara ulangtahunku dua hari lagi," ucap Guan dengan sinis.
A tak kalah sinis, "Ulangtahunmu? Masih dua hari lagi, tapi kenapa mengundangku dengan begitu cepat?"
"Karena kau istimewa." Guan tersenyum smirk. Ia kemudian meninggalkan A yang hanya acuh terhadap Guan.
"Ulangtahun apaan? Gue berharap umurlo pendek."
Hai para Readersku tolong support saya ya. Terimakasih telah membaca cerita saya. Jangan lupa vote dan komen.