Sesuai rencana Adiyaksa dan Cintia, keduanya akan melakukan pendekatan dengan menemani Cintia untuk pergi ke tempat yang ingin dia kunjungi. Cintia yang mendapat kesempatan seperti itu pun menggunakan hal itu untuk memberikan tantangan untuk Adiyaksa. Kalau memang laki-laki itu benar-benar menyukainya dan ingin menjadi suaminya, haruslah bisa bersabar dengan segala kerumitan dirinya.
"Udah sampai mas?" tanya Cintia yang baru saja keluar dari kamarnya dan melihat Adiyaksa sudah mendudukan diri di ruang televisi bersama kakak laki-lakinya. Cintia pun dengan refleks melihat jam tangan yang melingkar cantik di pergelangan tangannya.
"Sepagi ini sudah ada disini? " batin Cintia tak percaya. Pasalnya pagi itu masih menunjukkan pukul delapan dan Adiyaksa terlihat sudah siap berangkat. Berbeda dengan dirinya yang makan saja belum.
"Kamu ini lamanya dek, udah ditungguin Adiyaksa ini lo. Setengah jam dia nunggu kamu disini," ucap Bagas sambil mengganti saluran televisi.
"Tumben di rumah?" tanya Cintia bingung. Tapi mendengar pertanyaan seperti itu justru membuat kedua laki-laki tampan itu menoleh ke arah Cintia. Mencoba memastikan untuk siapa pertanyaan itu ditujukan.
"Mas Bagas," jelas Cintia menunjuk dengan dagunya.
"Capek kerja terus, lagian juga Adi mau kesini." Cintia mengernyitkan dahinya mendengar ucapan aneh kakaknya itu.
"Kan mas Adi kesini mau keluar sama aku, apa hubungannya sama mas?"
"Tuh! Apa aku bilang Di. Dia itu cuma mau sama kamu aja, dia mau buat kita berpisah. Dasar adik jahat," sinis Bagas lalu beranjak berdiri menuju ruang makan.
Adiyaksa dan Cintia pun sontak saling memandang satu sama lain melihat sikap Bagas yang terlihat aneh. Kening keduanya pun berkerut dalam seolah saling mengirimkan isyarat.
"Patah hati paling mas kamu itu dek." Cintia menganggukan kepalanya saja mendengar dugaan Adiyaksa. Hal itu mungkin saja terjadi karena kakaknya juga sudah lama tidak memiliki kekasih.
"Berangkat sekarang?" Adiyaksa memecah keheningan.
"Ehm… Boleh aku makan dulu? Mas sudah makan?"
Adiyaksa menganggukan kepalanya. "Sudah kok, tadi berdua sama mama."
Cintia yang bingung mencari bahan pembicaraan lagi lebih memilih untuk segera pergi ke ruang makan. Perutnya juga sudah meminta untuk diisi. Dia juga sedang tidak memiliki ide untuk mengajak Adiyaksa pergi ke ruang makan. Lagi pula laki-laki itu tidak sedang ingin makan, lalu kenapa dia ajak kesana.
Cintia bernafas lega saat melihat tak ada siapapun di ruang makan, jadi dia tidak perlu memberikan penjelasan pada semua orang kenapa dia harus makan sendirian sedangkan Adiyaksa sedang menunggu di ruang televisi.
***
"Yuk, " ajak Cintia setelah piringnya telah bersih ia cuci. Karena pantang bagi anak ibu Anita untuk tidak mencuci piring tempat makannya sendiri.
"Yuk," jawab Adiyaksa dengan senyum merekah. Laki-laki itu terlihat lebih diam dibanding saat keduanya pertama kali bertemu. Kalau memang laki-laki itu berubah diam begini juga Cintia tidak masalah, tipe lelaki idamannya juga dingin begitu.
"Jadi ke candi borobudur kan?" tanya Adiyaksa. Memastikan saat mobil yang akan ia kendarai ia nyalakan. Jujur saja dia sedang gugup saat ini, rasanya tangan, kaki dan bibirnya tidak bisa bekerja secara sinkron. Adiyaksa juga takut melakukan kesalahan.
Menurut Adiyaksa, acara pergi berdua yang pertama kali ini dilakukan Cintia untuk menilai dirinya laki-laki seperti apa. Tapi meskipun dugaannya salah, dia juga harus menunjukkan pada Cintia bahwa dia laki-laki yang tepat untuk menjadi calon suaminya.
Cukup lama berada dalam keheningan hingga Adiyaksa mulai menemukan bahan pembicaraan yang sesuai. Meski dia sedang mengumpati dirinya sendiri sekarang karena setelah sepuluh menit berlalu dia baru menemukan bahan pembicaraan. Bukankah momen berdua di dalam mobil begini biasanya digunakan pasangan untuk melakukan hal romantis.
"Kemarin tidur jam berapa?" sayangnya Adiyaksa kembali mengumpati dirinya saat bahan pembicaraan yang dia gunakan untuk membuka keheningan sangat terdengar bodoh. Untuk apa bertanya jam berapa Cintia tidur saat Cintia sudah dewasa dan akan tidur sendiri saat mengantuk.
"Ha? J-jam berapa ya? Kayanya jam sebelas," jawab ragu. Bahkan raut muka Cintia terlihat begitu terpaksa untuk menjawab pertanyaannya. Baiklah kalau begini caranya, lebih baik dia diam saja dan berbicara saat dia menemukan bahan pembicaraan yang sesuai.
Adiyaksa hanya mengangguk mengerti setelah Cintia menjawab pertanyaannya dan keheningan pun kembali menyapa keduanya.
Cintia sendiri juga ingin tertawa melihat raut muka Adiyaksa yang terlihat seperti sedang menahan sakit perut. Dia sudah seperti mendapat hiburan tersendiri dengan menatap Adiyaksa. Laki-laki yang sejak awal bergerak cepat lalu bersikap genit ke arahnya ini ternyata bisa mati kutu juga.
"Semoga dia gak bilang apa-apa lagi. Soalnya kalau dia tetep ngajak ngomong, dijamin aku bakal ketawa keras, " batin Cintia menahan tawanya.
Cintia pun juga memainkan bibirnya, berharap hal itu bisa ia gunakan untuk menahan tawa. Sayangnya Adiyaksa tidak mengerti niat baik dari Cintia karena laki-laki itu justru merasa tergoda dengan bibir Cintia. Adiyaksa diam bukan berarti matanya hanya menatap lurus ke arah jalan saja. Tapi juga melirik Cintia penuh dengan kekaguman. Terlebih bibir wanita pujaanya yang terlihat sangat seksi.
"Tahan Di tahan… Nanti bisa sepuasnya lihatin Cintia kalau udah menikah, tapi sekarang harus jadi anak baik dulu biar adek manis terpikat, " batin Adiyaksa menahan diri. Dia beruang kali menghembuskan napasnya lirih, takut sampai Cintia mendengarnya. Apalagi kalau Cintia tahu bahwa dia tergoda dengan wanita itu. Bisa-bisa acara pendekatannya gagal total.
"Waduh! Sial! Tahan lagi tahan…, " batin Adiyaksa menangis melihat Cintia yang baru saja menyibakkan rambutnya. Semakin mempesona di mata Adiyaksa. Kesan seksi pun semakin terlihat meski pakaiannya tertutup, bahkan bisa dikatakan sangat sopan. Celana panjang dan kemeja santai berwarna putih,
"Mas, nanti temani beli printilan kecil ya di pinggiran candi." Cintia menolehkan kepalanya ke arah Adiyaksa yang tengah mengemudikan mobilnya dengan muka yang memerah sampai telinga.
"Mas kenapa? kok merah banget mukanya?" tanya Cintia dengan mengubah posisi duduknya untuk lebih mengarah ke arah Adiyaksa.
"Hah? Cantik kok, seksi lagi," jawab Adiyaksa dengan suara sedikit keras. Cintia sendiri sedang mengerjapkan matanya terkejut dengan jawaban Adiyaksa yang menurutnya tidak ada hubungannya itu. Terlebih … Seksi?
"Mas ini mikir apa?" tanya Cintia sengit. Cintia semakin memandang Adiyaksa dengan mata memicing curiga saat melihat adiyaksa yang terlihat gelisah.
"Mas mikir macam-macam ya?! Mikir kotor?!" teriak Cintia cemas. Pandangan curiga dari wanita itu pun sekarang tergantikan dengan pandangan penuh waspada seolah Adiyaksa adalah laki-laki hidung belang.
"Hah?" Bolehkah Adiyaksa mengutuk dirinya sendiri saja? Kenapa kata itu yang justru keluar dari bibirnya? Tidak tahukah mulutnya ini kalau Cintia sedang menilainya, tapi kenapa mulutnya ini justru mengucap asal? Ingin sekali Adiyaksa menepuk mulutnya sendiri.