Sedang pada kafe milik Cintia sedang disibukkan dengan para pegawai yang menyiapkan pesanan Adiyaksa. Cintia pun dengan senang hati menyetujui permintaan pengusaha itu. Pikirannya saat ini adalah tidak masalah mengantar lalu lelah sedikit yang penting dia bisa mendapat keuntungan melimpah dari hasil makanan yang tiba-tiba saja dibeli dalam jumlah banyak.
Saat makanan sudah siap pun, Cintia dengan senang hati memasukkan makanan ke dalam mobil, menatanya rapi.
"Sit, kamu ikut saya ya. Takut makanannya tumpah nanti," ucap Cintia yang dijawab dengan anggukan semangat. Sita jelas saja tidak keberatan dengan permintaan atasannya itu, lagi pula siapa yang akan menolak saat diajak pergi ke kantor pengusaha kaya raya di Yogyakarta.
Tanpa ada rasa curiga sedikitpun Cintia melangkah masuk ke dalam Mahendra's Property. Gedung kantor yang Cintia akui sangat mewah dan berkelas. Semua ornamen yang ada sangat mencerminkan bahwa pemilik tempat ini memang kaya raya. Cintia membenarkan kalau sampai pemilik kantor ini membeli dalam jumlah banyak.
Resepsionis yang sudah diberi pesan oleh Adiyaksa pun melayani Cintia dengan baik. Bagaimana tidak, Adiyaksa sudah mengancam pegawainya kalau sampai tidak melayani Cintia dengan baik, akan dia pecat saat itu juga. Siapa yang tidak akan takut kalau diperlakukan seperti itu.
"Besar juga ya Sit, pantas dia borong makanan di kafe kita. Gak nyangka aku, kafe kita seterkenal ini," bisik Cintia saat mereka mengikuti langkah pegawai resepsionis menuju ruang pemilik kantor itu.
"Gak tahu aja mbak bos ini kantor siapa," batin Sita menahan tawa.
"Kafe mbak bos kali, bukan kafe kita. Lagian kan kafe mbak bos makananya emang top, buktinya semua cabang juga ramai. Kan kafe top Yogyakarta mbak," jawab Sita seraya menaik turunkan alisnya.
"Ini bu ruangannya, beliau sudah ada di dalam," ucap pegawai resepsionis yang dijawab dengan anggukan semangat oleh Cintia.
"Masuk," jawab Adiyaksa saat mendengar suara ketukan di luar ruangannya.
Adiyaksa dengan semangat merapikan jas yang ia pakai serta memutar kursinya untuk membelakangi Cintia. Dia tahu kalau yang mengetuk pintu adalah Cintia karena pegawai resepsionisnya sudah memberi informasi lebih dulu.
"Permisi pak, saya Cintia dari kafe mentari. Mengantar makanan untuk kantor bapak," ucap Cintia ramah.
"Gini aja ramah. Coba kalau dia sudah tahu kalau yang pesan aku. Jutek pasti itu ngomongnya," gumam Adiyaksa.
"Iya, letakkan di meja dulu. Oh iya, pegawai resepsionis saya bilang ada yang ketinggalan di depan. Minta teman kamu untuk ambil ya, biar pemilik kafenya disini untuk menyelesaikan pembayaran. Pemiliknya yang antar kan?"
"Iya pak, saya sendiri yang mengantar." Cintia yang tidak tahu apa-apa pun dengan polosnya meminta Sita untuk segera keluar menemui pegawai resepsionis tadi.
"Halo adek manis," sapa Adiyaksa seraya membalikan kursinya menghadap Cintia.
"Loh …." Cintia melebarkan matanya terkejut. Kedua tangannya pun membekap mulutnya agar tidak berteriak. Pasalnya dia bukan hanya terkejut, tapi ingin mencaci maki laki-laki yang ada di hadapannya. Berani-beraninya laki-laki itu mengganggunya lagi.
Cintia memang senang kalau menu di kafenya dibeli dalam jumlah banyak, tapi bukan Adiyaksa juga yang memesan. Pantas semua pegawainya mencurigakan hari ini, bahkan pegawai resepsionis pun memandangnya takjub.
Jangan kira kalau Cintia bodoh, dia sebenarnya sudah menyadari semua keanehan ini. Tapi ya baiklah, Cintia mengaku kalau dia bodoh karena tidak sadar sejak awal. Cintia hanya memandang sengit ke arah Adiyaksa.
"Mana sisa pembayarannya." Cintia menengadahkan telapak tangannya ke arah Adiyaksa.
"Tuh kan, tadi aja halus banget ngomongnya. Sini kali dek, deketan sama mas. Gimana mau kasih uang kalau jaraknya aja satu meter gini. Gak sampai nih tangannya nih." Tangan Adiyaksa seolah meraih tangan Cintia.
"Aku gak bakal ngapa-ngapain kamu dek, kantor ini ramai juga. Itu kamu duduk di sofa dulu sana," ucap Adiyaksa seraya berpindah duduk pada sofa.
Cintia yang tidak memiliki pilihan lain pun segera mendudukan dirinya pada sofa dan tetap memandang Adiyaksa penuh waspada. Cintia segera menggeser duduknya saat Adiyaksa justru duduk disampingnya. Cintia benar-benar duduk pada ujung sofa. Bergerak sedikit saja sudah dipastikan dia akan jatuh.
"Jauh amat sih dek kamu duduknya. Jatuh lo nanti."
"Gak bakal. Mana uangnya," jawab Cintia ketus.
Adiyaksa yang melihat sikap Cintia seakan alergi dengannya pun semakin membuat Adiyaksa ingin menjahili Cintia. Baginya sikap Cintia yang sarkas ini justru membuat hatinya berdebar. Marahnya Cintia semakin membuat Adiyaksa gemas dengan wanita itu.
"Kurang berapa tadi ya dek? Mas lupa nih." Adyaksa memandang Cintia dengan mata yang mengerjap.
Cintia hanya bisa mendengus kesal melihat sikap genit Adiyaksa. Fisiknya boleh mempesona, tapi kalau sikapnya seperti ini sama saja nilainya buruk dimata Cintia. Tangan Cintia bergerak cepat menyalakan ponselnya lalu menunjukan kekurangan pembayaran. Bibir wanita itu masih terkatup rapat. Malas berbicara dengan Adiyaksa.
Adiyaksa pun dengan santai menghitung lembaran uang berwarna merah di hadapan Cintia. Meletakkan uang itu di meja lalu memegang uang itu. Dia tidak ingin Cintia cepat-cepat pergi, lagi pula sahabatnya juga belum datang. Ingin rasanya Adiyaksa meneror sahabatnya agar segera sampai, takut Cintia sudah pergi lebih dulu.
"Kenapa sih, mana uangnya sini." Cintia menarik uang di atas meja. Berusaha keras untuk mendapatkan uang itu meski tenaganya tidak sebesar tenaga Adiyaksa.
BRKK
"Adiyaksa!" teriak sahabatnya keras setelah membuka pintu dengan keras, seolah mendobrak pintu ruangan Adiyaksa.
Cintia dan Adiyaksa yang terkejut pun membuat keduanya berjengit kaget, bahkan Cintia sebentar lagi akan jatuh ke samping karena posisi duduknya tidak sesuai. Adiyaksa yang tidak ingin Cintia jatuh pun dengan reflek menarik tangan Cintia hingga membuat keduanya terjerembab pada sofa, dengan keadaan Cintia yang menindih Adiyaksa. Posisi keduanya sangat dekat, wajah Cintia pun berada tepat pada dada bidang Adiyaksa.
"Wah! Apanih? Kok bidang, kok kaya enak buat bersandar," batin Cintia gelisah.
Harum tubuh Adiyaksa memasuki hidungnya dengan lancang, membuat Cintia seakan terbuai sekali lagi. Bahkan sampai tidak sadar dia sudah menghirup rakus harum tubuh Adiyaksa, membuat sang empu semakin kegirangan lalu mendekap pinggang Cintia erat. Melupakan seseorang yang tengah memandang keduanya dengan mata melotot seolah akan keluar dari tempatnya.
"Cintia! Adiyaksa! Kalian mau ngapain ha? Ini kantor, tempat umum. jangan mesum ya kalian. Aku gak mau tahu kalian harus secepatnya menikah!" Teriakan keras itu pun menyadarkan dua anak manusia yang sedang saling menghirup harum tubuh masing-masing.
Cintia yang merasa tidak asing dengan pemilik suara itu pun segera menolehkan kepalanya dengan susah payah karena Adiyaksa memeluknya semakin erat.
"M-mas B-Bagas …," ucap Cintia terbata.