Melihat kesan Soa yang tak sesuai dengan harapannya, Arandra tak dapat berbuat apa-apa untuk menahan kepergian gadis itu. Ia tak habis pikir bagaimana mungkin Molek yang sekarang, menjadi wanita yang alergi terhadap bunga.
“Astaga! Bagaimana bisa kau terlahir sebagai gadis yang tidak suka bunga!” gusar Arandra, kala ia telah menyusul Soa menjauhi kumpulan bunga-bunga itu. “Kau berbeda dengan kehidupan pertamamu.”
Seketika Soa merasa tersudut oleh ucapan Arandra. Ia membenarkan apa yang dikatakan lelaki itu, karakternya memang sudah berbeda dengan kehidupan pertamanya, dan itu karena ia bukanlah orang yang Arandra maksudkan.
“Itu kan wajar! Yang hidup saja bisa berubah, apa lagi yang pernah mati,” elak Soa pada akhirnya.
Arandra memilih diam tak ingin menimpali. Mukanya masih cemberut, kesal karena rencananya gagal.
Soa menyadari sikap Arandra yang berubah dingin. Ia lantas mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, taman yang semakin sepi membuatnya merasa lebih bebas berbicara. Lalu dilihatnya lagi Arandra di sampingnya, penuh perhatian dan jadi merasa bersalah.
“Maaf,” ucap Soa memelas.
Arandra menengok bingung ke arahnya. “Hem?” gumamnya bingung.
Soa menghela nafasnya, raut mukanya terlihat penuh penyesalan. “Untuk semua yang telah kau lakukan. Dari menunggu aku datang, mengajakku pergi untuk menunjukkan bunga-bunga itu, sampai menerima penolakanku terhadap wanginya. Kau pasti sangat kecewa.”
Arandra mengangguk setuju. “Begitulah,” jawabnya cuek.
“Terima kasih.”
Pemuda itu kembali bingung. “Untuk apa lagi?”
Gadis itu menunduk mengakui. “Aku memang menolak mendekati bunga itu. Tetapi bukan berarti aku menolak kehadiranmu.”
Arandra mengangkat alisnya, dari matanya ada binar gembira yang perlahan muncul.
“Terima kasih. Kau datang dan selalu membuatku lupa pada masalahku. Aku berharap, perbedaanku dengan diriku yang dulu tidak membuatmu jadi menjauhiku. Aku sungguh-sungguh tidak ingin kita bertengkar karena masalah alergiku.”
Arandra langsung memalingkan muka. Diam-diam tak dapat menahan senyumnya yang ingin merekah indah, karena kegirangan mendengar ucapan gadis itu yang amat membesarkan hatinya. Kini ia tahu, ia hadir dan memiliki arti.
Sesaat kemudian Arandra kembali menunjukkan wajahnya kepada Soa, namun memilih bersikap lebih santai dari sebelumnya.
“Oh itu. Bukan masalah,” jawabnya pendek, karena tak tahu harus memberi kalimat apa lagi.
Soa langsung mengangkat wajahnya, memandang Arandra dengan senyumnya yang menunjukkan rasa lega. “Kau tidak marah lagi?”
“Aku tidak marah. Aku hanya sedikit kecewa saja, tapi ternyata –“
“Ternyata kau lebih penting dari bunga itu,” Soa langsung memotong ucapan Arandra, memberi ungkapan membesarkan hati lagi.
Arandra tersenyum malu-malu. Kalaulah ia punya tubuh kasar seperti manusia, pastilah kedua pipinya sudah terlihat memerah.
Sesaat kemudian Soa melihat ke arah jam tangannya.
“Aku harus pulang,” ujar gadis itu.
Senyum Arandra seketika pudar, matanya mendadak sendu menyorot dan sedikit pun tak melepaskan pandangannya dari Soa.
“Kenapa kau menatapku begitu?” tanya Soa menyadarinya. “Apa kau keberatan jika aku pulang?”
Arandra tersenyum tawar, lantas menggeleng lemah. “Tidak. Aku hanya berandai-andai. Jika saja aku bisa seperti pria lain yang dapat mengantar gadis istimewanya pulang. Aku akan sangat bahagia oleh hal sederhana itu.”
Soa tak tahan mendengar ungkapan hati terdalam Arandra. Sekejap saja hatinya terasa remuk. Perasaan bersalah di batinnya muncul, tak memberinya jalan untuk menampik apa yang pernah terjadi di antara mereka.
Lidah Soa terasa membeku. Tatapannya memaku pada duka. Pikirannya berkelana, semakin menyesakkan dada.
Arandra, orang yang membahagiakannya saat ini adalah orang yang telah ia buat terluka, sangat-sangat menderita.
“Ada apa denganmu, Soa?! Apa aku salah bicara?!” Arandra langsung panik, melihat setetes air mata Soa yang jatuh membasahi pipinya.
Buru-buru Soa menggeleng, tak ingin lelaki di depannya ikut larut menyalahkan diri sendiri.
“Ti – tidak,” gadis itu terbata-bata sambil berusaha menghapus air matanya, mencegah kesedihan semakin meluap. “Aku hanya... ingin sekali rasanya membebaskanmu.”
Raut lega memancar di wajah Arandra. “Kau ini,” lirih Arandra.
Untuk sesaat Arandra menaikkan wajahnya mengamati langit-langit malam. Lantas ia berkata, “Apa kau percaya, suatu saat aku akan bebas, Soa?”
Soa tergemap. Pertanyaan itu begitu sulit untuk ia jawab.
“Apa kau percaya, Soa. Suatu saat akan ada sepasang pahlawan bagi kami para budak, yang dapat menghancurkan batu Halvor?”
Semakin kuat pertanyaan Arandra mengunci bibir Soa. Perasaannya terombang-ambing, ia tahu betul dirinya bersama Arandralah yang memegang kunci kesempatan untuk menghancurkan Halvor. Namun untuk jujur pada Arandra bahwa ia adalah Sancho sangat-sangatlah sulit ia lakukan.
“A – aku tidak tahu.”
Arandra menurunkan pandangannya kepada Soa. Dilihatnya lagi wajah kebingungan gadis yang hanya setinggi dagunya itu. Lalu seketika Arandra menyesali khayalannya sendiri.
“Kau pasti sangat kebingungan menjawab,” lanjut hantu itu. “Ya... seharusnya aku tidak perlu berandai-andai. Karena itu hanya –“
“Aku percaya!” Soa menyela tiba-tiba. Matanya terbuka lebar penuh kesungguhan. “Aku percaya suatu saat akan ada orang yang mampu menghancurkan batu terkutuk itu! Dan di saat itu – kau, teman-temanmu, akan terbebas dari belenggu Grazian. Kalian akan menemukan jalan pulang yang sesungguhnya, dan kalian akan memperoleh kebahagiaan sejati. Aku percaya itu, Arandra!”
Seperti hujan yang menetesi tanah yang kering. Ucapan Soa menumbuhkan pohon harapan di hati Arandra. Lelaki itu mengangguk pelan, senyum di bibirnya bak perahu yang mengambang di sungai yang tenang.
Namun melihat senyum yang mengembang itu bukan berarti menjadikan hati Soa ikut tenang. Batin yang sedalam samudera itu melengkapi bibir yang berbicara, dalam kesunyian hati tanpa ada seorang pun yang bisa mengetahui. Soa berujar menyesali.
“Tetapi orang yang menghancurkan batu Halvor itu bukanlah aku, Arandra.
“Maafkan aku, aku tidak bisa melakukannya. Aku yakin, akan ada orang yang lebih tepat untuk dapat membebaskanmu. Biarkanlah aku tetap berdiri di sini. Sepanjang hidupku, menebus dosaku dengan menjadi Molek yang kau selalu cintai, bukan sebagai Sancho yang kau benci.
“Maafkan aku. Maafkan aku, Arandra.”
“Ah, lagi-lagi kau terlihat melamun!” seru Arandra tiba-tiba. Tak tahan terjebak sunyi bersama Soa. “Lamunanmu selalu membuatku takut, kalau-kalau kau menyembunyikan sesuatu dariku!”
“Emm!” Soa terkejut diserang oleh persepsi Arandra. “Aku – “ belum sempat Soa melanjutkan perkataannya, tiba-tiba tampak dari kejauhan seseorang datang menghampiri seraya memanggil.
“Nona Soa...!”
Soa dan Arandra kompak bingung. Untuk apa pria itu tergesa-gesa berlari mendekati mereka.
“Nona!” pria itu tiba di depan Soa. Membungkuk dengan nafas terengah-engah serta wajah yang bercucuran keringat.
“Daniel?!” tukas Soa. Membuat Arandra langsung melirik bertanya-tanya ke arahnya.
“Syukurlah – Anda baik-baik saja, Nona.” Nafas Daniel masih terdengar tak beraturan.
“Ya, aku baik-baik saja.” Soa semakin bingung. “Apa maksudmu?”
Daniel berusaha berdiri tegak lagi. “Saya mencari Anda kemana-mana, sementara taman sudah mulai sepi, saya khawatir ada orang yang mengganggu Anda.”
Soa mengedarkan pandangannya, sempat lagi-lagi melirik pada jam tangannya sejenak yang sudah menunjukkan hampir jam 9 malam.
Di dalam hati ia menyetujui ucapan Daniel. Pria itu benar, inilah Kota Melvin di mana masyarakatnya sangat menghargai jam malam sepulang bekerja. Kebanyakan dari mereka lebih menikmati waktu istirahat di rumah, agar besok bisa kembali beraktivitas dengan bugar.
Sebuah kota di Negara Denzel yang ketika terang begitu ramai, namun akan sangat sepi saat gelap menampakkan diri. Jika sekalipun ada beberapa orang yang berkumpul menikmati malam di tengah kota, paling-paling mereka adalah sekelompok pemuda yang belum mendapat pekerjaan. Atau... beberapa orang lainnya lagi yang terlihat berkeliaran adalah para petugas keamanan yang sedang berpatroli.
Akan tetapi yang menjadi keheranan Soa adalah, kenapa harus Daniel yang mengkhawatirkannya?