‘Keinginan yang melebihi segalanya.’
Pintu kaca sebuah mini market terbuka. Han Seung Woo keluar dengan menjinjing kresek hitam. Menggerutu pelan tentang apa yang diinginkan artisnya jika sedang dalam keadaan bad mood.
Di tempat lain Se Rin tengah kesulitan melakukan adegan disiram air oleh pemeran utama laki-laki dalam drama yang dibintanginya. Mengepalkan tangan menahan rasa kesal, saat ia kembali mendapat guyuran air di wajah. Haruskah ia bersabar lebih lama lagi?
“Sudah aku bilang kau harus menyiram dari depan wajah jangan dari atas!” seru sutradara ikut jengkel, sedang aktor itu meminta maaf sambil membungkuk dalam-dalam dengan senyum kemenangan. “Keringkan dulu dia!” suruh sutradara mengerling pada Se Rin yang langsung dihampiri penata riasnya.
“Dia sengaja, ini sudah keterlaluan, awas saja jika ia melakukannya untuk kelima kalinya!” sungut Se Rin setelah menghempaskan pantatnya ke kursi, mengelap wajah kasar dengan handuk yang tersampir di bahunya.
Di sekitarnya beberapa staff jelas membicarakan Min Ho yang terus saja membuat kesalahan, dengan sengaja menyiram Se Rin tidak menurut arahan sang sutradara. Mereka menyimpulkan bahwa Min Ho sedang melampiaskan kemarahannya pada Se Rin, tak terima karena diputuskan. Siapa yang betah berlama-lama dengan laki-laki macam dia, hanya membicarakan tentang kesenangan dan tak berniat menikah setelahnya.
“Seung Woo Oppa ke mana lagi, lama sekali!” selanjutnya Se Rin akan marah-marah pada manager-nya, dia juga butuh pelampiasan.
Seung Woo sendiri sedang terpaku melihat berita tentang ledakan yang terjadi di lumbung padi, mulai menerka-nerka dan ia teringat perjalanannya menuju Busan, dua hari lalu. Ibu-ibu pemilik restoran chiken itu memanggilnya, memberitahu bahwa pesanan sudah siap. Mata Seung Woo beralih dari televisi ke kasir, tempat ahjumma (panggilan wanita paruh baya) berdiri menyodorkan plastik putih berisi sekotak chiken kesukaan Se Rin.
ΘΘΘ
Setelah menghabiskan masing-masing satu mangkuk samgyetang (sup ayam ginseng), Se Jun dan kakek keluar dari restoran sederhana namun ramai pengunjung. Mereka berjalan saling memandang puas, Se Jun mengaku belum pernah merasakan makanan seenak itu. Mendadak sang kakek meringis seraya mengelus perut buncitnya, dia menatap Se Jun sedih.
“Kenapa? Apa kau sakit perut?” khawatir Se Jun menebak kakek kekenyangan sampai harus ke toilet.
“Bukan,” kakek menggeleng menunjukan selembar uang lalu melanjutkan, “Kita harus lebih bekerja keras jika tidak ingin ketinggalan kereta terakhir menuju Seoul,” ternyata harga makanan mereka tak sesuai dengan uang yang mereka miliki.
Semangat Se Jun semakin tinggi saat ia menemukan ide yang menurutnya brilliant, tak harus mengotori wajahnya untuk mencari uang, dia menerangkan rencananya pada kakek. Mereka sepakat untuk melakukannya dan bergegas menuju stasiun. Di sana masih ramai dengan orang-orang yang akan bepergian, sangat bagus untuk melancarkan rencana yang sudah didiskusikan sebelumnya.
“Tolonglah kami, kami baru saja kehilangan tas, di dalamnya berisi uang, ponsel bahkan pakaian, semuanya raib dibawa pencopet!” teriak Se Jun nyaris histeris, beberapa pejalan kaki menoleh iba ke arahnya. “Kakek ku harus melakukan operasi besok di Seoul, kasihan dia,” tambahnya berpura menangis, saat itu kakek terbatuk-batuk.
“Cucu tampan yang berbakti pada kakeknya,” simpati ahjumma menghampiri Se Jun, menaruh tangan di bahu Se Jun, mencoba menenangkan agar pemuda itu jangan menangis karena dia akan membantunya.
“Terima kasih,” ucap syukur Se Jun menerima selembaran uang dari ahjumma tersebut.
Sekali lagi ahjumma menepuk-nepuk bahu Se Jun, “Pergilah ke Seoul dan obati kakekmu,” dia tak jauh lebih tua dari kakek, namun rambutnya hitam tanpa uban.
Seperginya ahjumma, banyak yang bersimpati dan memberikan sumbangan untuk mereka. Se Jun terus mencoba menjelaskan keadaan sang kakek yang menderita kanker stadium akhir dan butuh operasi segera, keadaannya semakin sulit ketika seseorang mencuri tasnya dan mereka tidak bisa pergi ke Seoul.
Sambil terisak Se Jun mengucapkan terima kasih pada lelaki yang sepertinya seumuran dengannya, “Semoga kau berhasil dengan ujianmu,” ia melambai menghantar kepergian penyelamatnya.
Lelaki itu mengeryit, “Dari mana dia tahu kalau aku memang ada ujian,” katanya tak mempermasalahkannya, malah berterima kasih dalam hati dan optimis bahwa kali ini dia akan lulus ujian.
Betapa senangnya Se Jun bisa mendapatkan uang lebih dari cukup untuk pergi ke Seoul. Kakek memuji habis-habisan kebohongan yang direncanakan Se Jun. Seingatnya ia tidak menyuruh Se Jun mengatakan bahwa ia menderita kanker stadium akhir, syukurlah karena itu hanya bohong sehingga tak perlu membagi uang untuk biaya operasi.
ΘΘΘ
15 meter dari tempat itu. Park Chan Yong merasakan getaran kecil dari alat pendeteksi seperti jam tangan berbentuk persegi yang digunakannya di pergelangan tangan kiri. Layarnya berkedip-kedip menampilkan tulisan ‘HMD07’, memberitahu keberadaan si robot tak jauh darinya.
Sebuah alat pelacak berukuran kecil tertanam di tangan kanan Se Jun. Biasa disebut RFID (Radio Frequency Identification), di mana setiap pergerakannya dapat terdeteksi dari kejauhan beberapa meter. Se Jun mengedarkan pandangan ke sekeliling, suara riuh di stasiun kereta api teredam seiring datangnya kereta yang mereka tunggu. Ia hanya fokus melihat layar yang memberitahunya bahwa robot humanoid yang dicarinya berada dalam jarak 10 meter.
Chan Yong segera berlari menerobos kerumunan orang-orang yang berebut naik kereta, meninggalkan peron sembilan dan melesat cepat menaiki tangga. Jaraknya semakin dekat, namun ia tak bisa mengenalinya. Terpaksa ia membalikan beberapa lelaki yang dicurigainya, mencoba merasakan apakah orang itu adalah robot.
“Apa yang kau lakukan!” pekik pria bersetelan kemeja rapih menepis lengan Chan Yong, lalu berdecak kesal meninggalkannya.
Kesekian kalinya Se Jun melihat layar pendeteksi, menggeram marah mengetahui HMD07 telah pergi cukup jauh darinya. Ia tak ingin kehilangan humanoid itu begitu saja, mencari di setiap sudut stasiun, matanya melihat kereta melaju cepat di depannya. Apa mungkin dia naik kereta?
Pemikiran Chan Yong tak sepenuhnya salah, karena kenyataannya Se Jun dan kakek memang ingin menaiki kereta meninggalkan Busan. Tetapi tidak sekarang, kakek mengusulkan untuk naik kereta pertama besok pagi.
ΘΘΘ
Se Jun berhenti mengejar kakek. Terheran-heran pada kakek yang bisa berlari secepat itu dan kenapa juga mereka harus berlari? Di depannya kakek terengah, gerak kakinya memelan seiring pandangan melebar dengan sorot mata berbinar.
“Oh itu dia!” kata kakek menunjuk kedai kecil di seberang jalan yang menjual berbagai makanan, “Sebelum pergi aku ingin makan odeng di sana!” kakek masih mengatur napasnya, tak sabar untuk memakan makanan kesukaannya, odeng, adalah ikan yang direbus disajikan dengan menusuk ikan-ikan itu dalam sebilah bambu dan cara memakannya dengan menggunakan kaldu kuah panas,
“Kau pasti akan suka, odeng-nya sangat enak.” ia menambahkan sembari melayangkan senyum pada Se Jun.
Se Jun bergumam kecil menanggapi keinginan kakek, “Berlebihan sekali, apa seharusnya aku pergi ke Seoul sendiri saja…,” ia pun mengikuti kakek menyeberangi jalan, pria tua itu menoleh menyuruhnya agar berjalan lebih cepat.
“Apa benar seenak itu?” kata Se Jun seraya memastikan lampu penyeberangan jalan masih mengizinkannya untuk menyeberang, tentu saja ia masih ingat dengan jelas saat tertabrak mobil ketika menyeberangi jalan dua hari lalu.
Sesuatu yang tak biasa menjalar dalam tubuhnya, perasaan ringan dan begitu damai. Sejenak melupakan bahwa dia adalah robot humanoid yang telah pergi dari kehidupan membosankannya, serakah-kah ia karena menginginkan lebih? Aku ingin hidup bersama manusia, ia membatin.
ΘΘΘ