webnovel

2. Kedatangan Bunda Nata

Pakaian serba hitam menutupi tubuh Seira yang tidak berhenti gemetar. Ia sudah tidak bisa lagi menangis, air matanya seolah habis dan tak bisa keluar. Tatapan mata Seira menyiratkan rasa sakit yang amat dalam, ia kehilangan laki-laki yang selalu bersama dan mengurus dirinya selama ini. Laki-laki yang selalu ada di saat Seira membutuhkan. Suara berisik dari orang-orang yang datang melayat tidak membuat Seira terganggu dalam lamunan. Jasad Hidan tergeletak dengan tubuh tertutup kain. Seira berada di sudut ruangan sembari menatap tubuh tak bernyawa tersebut. Orang-orang yang datang selalu merasa kasihan pada Seira. Tidak ada yang mengajak Seira mengobrol, bukan karena mereka tidak mau, tetapi Seira tidak akan menyahut jika diberi obrolan.

Para tetangga yang membantu mengurus jasad Hildan. Sepulang dari rumah sakit, Seira sama sekali tidak berbicara. Ia hanya mengerakkan kepala sebagai jawaban. Tidak ada asupan energi yang masuk ke tubuh gadis itu. Kantung mata Seira meng-hitam besar, bibirnya kering, dan wajah yang pucat. Pikirannya tak jauh-jauh dari mengulang setiap kenangan bersama Hidan. Tidak ada lagi yang ia pikirkan selain itu.

Dari luar sana, semua orang tiba-tiba menjadi lebih riuh dari detik sebelumnya. Seorang wanita berlarian menerobos masuk ke dalam rumah. Semua orang yang menyaksikan hal itu langsung berkerumun ingin tahu apa yang wanita itu lakukan di dalam.

Wanita itu menangis sesenggukan sembari memeluk tubuh kaku yang tergeletak. Tangisnya semakin menjadi-jadi saat kain itu terbuka dan menampakkan wajah pucat pasi. Ia tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun, seakan pita suaranya tertahan oleh sesuatu. Para pelayat yang berada di sana ikut merasakan kesedihan tersebut, tak sadar jika mereka juga meneteskan air mata.

Wanita itu menjadi perbincangan di antara mereka, menyebut-nyebut jika wanita itu adalah Natasya, suami Hidan dan bunda dari Seira. Seira mengangkat kepala menatap wanita itu menangis sesenggukan. Ia tidak bergerak dari tempatnya saat ini, hanya memandang ke arah Natasya dan Hidan di sana. Seira menatap wajah itu dengan lekat, menantikan pemilik wajah itu menatap ke arahnya. Seira ingin melihat wajah tersebut dari jarak dekat.

"Sayang, aku minta maaf karena tidak bisa berada di sampingmu di saat-saat seperti ini. Aku mohon maafkan aku yang tak becus ini. Tolongg ... Jangan berpikir jika aku tidak memikirkan dirimu ketika berada sana. Maaf juga karena aku selalu menolak jika dimintai pulang ...." Ucapan kata maaf dan penyesalan terus terucap dari bibir Natasya.

Hingga akhirnya seseorang meminta Natasya untuk menjauh dari Hidan. Karena akan dilakukannya proses selanjutnya.

Tidak ada interaksi antara Nata dan Seira, keduanya masih sama-sama diam. Sibuk bergelut dengan isi kepala masing-masing. Memang Nata seorang ibu, tetapi ia merasa sangat jauh dari kata tersebut. Nata merasa jika dirinya bukan siapa-siapa, melihat Seira dalam kondisi ini membuat Nata terus menyalahkan dirinya sendiri. Ia tidak becus menjadi orang tua.

Hingga pemakaman selesai dan hanya tinggal Nata dan Siera di sana. Bersebelahan dengan tatapan tak beralih dari makam Hidan. Semua orang sudah pergi, hanya menyisakan mereka berdua di sana. Seira masih ingin di sana, menceritakan pada Hidan tentang bagaimana perasaannya saat ini. Begitu juga dengan Nata, wanita itu menangis sesenggukan sembari meraba ukiran nama Hidan.

"Bu—nda ...," lirih Seira ragu untuk memeluk Natasya.

Natasya menoleh lalu menunduk karena merasa bersalah kepada Seira. Selama ini dirinya tidak pernah berinteraksi secara langsung dengan Seira dan ketika gadis itu mengucapkan sebutan dirinya, Nata menangis sedih. Sejak kedatangan dirinya, Nata tidak berbicara dengan Seira.

Melihat Nata menangis, Seira langsung memeluk wanita itu. Mengusap-usap punggung Nata supaya wanita tersebut tenang.

"Sei, Bunda ... Bunda minta ma–af, ya," ucapnya terbata-bata dengan terisak.

Seira mengangguk berulang kali. "Bunda, gak perlu minta maaf. Ini bukan salah Bunda. Ini memang udah takdir. Bunda harus sabar. Bagi Sei Papa sama Bunda adalah hal paling penting di dunia ini. Kadang Papa cerita tentang Bunda dulu," ungkap Seira.

Dua perempuan dengan hati yang terluka berusaha untuk tegar dalam kondisi ini. Tak lama kemudian hujan mulai turun. Membuat dua orang itu mengendurkan pelukan mereka. Seira mencoba menghalangi kepala Natasya dengan tangannya, tetapi Natasya menepikan tangan Seira. Natasya tersenyum manis. Membiarkan dirinya terkena air hujan.

Ia mengusap wajahnya yang basah oleh air hujan dan air mata. Lalu mengajak Seira untuk segera pulang.

"Seira, ayo kita pulang," ucap Natasya yang diangguki oleh Seira. Namun, sebelum keduanya pergi, Natasya dan Seira mengusap makam Hidan dengan senyum manis. Mereka berpamitan kepada Hidan.

Sampai di rumah dua perempuan itu basah kuyup, Seira segera mengambil handuk untuk Natasya.

"Bunda, sebaiknya lebih dulu mandi. Seira akan membereskan ruangan."

Natasya mengangguk dan berlalu. Ada rasa canggung di antara keduanya. Namun, Seira akan berusaha supaya mereka berdua bisa bersikap biasa saja seperti layaknya ibu dan anak. Seira mulai membereskan ruangan yang berantakan. Para warga sepertinya langsung pulang setelah dari makam. Apalagi hujan seperti ini kemungkinan mereka tidak datang.

Seira tidak masalah karena adanya mereka sebelumnya saa ia sudah sangat berterima kasih. Tanpa mereka Seira tidka bisa apa-apa. Seira menoleh ketika seseorang memanggilnya dari atah belakang.

Seira menatap Natasya yang sudah berganti pakaian. Seira tersenyum, seakan masih tidak percaya jika Natasya berada nyata di hadapannya sekarang.

"Sei, kamu juga mandi. Biar Bunda yang lanjut beres-beres. Kamu bisa sakit karena baju kamu lembab," ucap Seira mengambil alih sapu yang berqda di tangan Seira.

Seira mengangguk patuh. Meninggalkan Natasya di ruangan depan dan ia pergi ke kamar untuk mengambil handuk. Seira menepuk pipinya pelan, menyakinkan jika ia tidak sedang berhalusinasi.

"Awhh ...," ringis Seira merasa sakit. "Ini bukan ilusi," gumamnya lirih. Seira menatap sekeliling kamarnya dan tanpa sadar air mata itu menetes jatuh. Dnegan cepat Seira mengusapnya dan segera keluar dari kamar.

Seira kehilangan sosok ayah yang selalu bersamanya, tetapi hari ini sosok bunda datang mengantikan peran. Seira terkadang masih teringat jika Hidan masih ada di rumah lalu menyiapkan makan dan segelas kopi untuk Hidan. Kemudian tiba-tiba realita membuat Seira berhenti melakukan hal rutin tersebut. Kebiasaan yang selalu Seira kerjakan untuk Hidan membuat perempuan itu terus teringat kenangan bersama Hidan.

Seira menghidupkan air keran untuk meredam suara tangisnya di dalam kamar mandi. Seira menangis setelah ia menahannya. Seira tidak ingin memperlihatkan rasa sedih itu.

Selama setengah jam Seira berada di dalam kamar mandi, ia keluar dan melihat meja yang telah tersaji banyak masakan. Seira menoleh pada sekitar dapur, tetapi tidak melihat ada seseorang di sana.

"Ah, kamu sudah selesai, ya. Bunda sudah siapkan makan untuk kita malam ini. Sebaiknya kamu segera bersiap," ucap Natasya yang muncul dari depan dengan senyuman.