Met pagii
Eh, aku gak tau deh Mas bangunnya jam berapa, hehe..
Smoga makanan ini bisa memulihkan kembali tenaga Mas Aslam.
Dimakan ya...
Maaf aku gak izin langsung dan gak pamit sama Mas untuk pergi ke toko, aku gak tega bangunin Mas Aslam.
Tapi aku udah ijin sama mama.
Kalo ada apa-apa, Mas hubungi aku aja ke sini 08xxxxxxxx
Bening
Aku membaca tulisan di secarik kertas yang tadi Bening ambil dan selipkan di atas nampan. Sejak kapan memo ini terjatuh dari tempatnya? Aku melirik pada makanan yang sudah mulai dingin. Suami macam apa aku ini?
Dengan mendahulukan ego, aku menyakiti orang lain - Istriku sendiri.
Aku melirik pada pintu kamar mandi yang sedari tadi tertutup rapat. Entah sudah berapa lama Bening di dalam sana. Mengingat tadi ada setetes air di sudut matanya, aku yakin jika Bening menangis. Aku duduk di tepi kasur lalu mengusap gusar wajahku. Aku merasa bersalah...
Pandanganku tertoleh pada makanan yang masih belum aku sentuh sama sekali. Sepertinya Bening memang menyediakan makanan itu dengan susah payah. Perlahan aku mengambil nasi dalam piring lalu mencampurnya dengan sup yang tersaji dalam mangkuk. Aku hendak menyuapkan sesendok makanan ini ke dalam mulut sebelum suara pekikkan itu terdengar tergesa dan menghentikan kegiatanku.
"Mas! Mau ngapain?" Bening merebut sendok yang hendak masuk ke dalam mulutku hingga nasi yang sesendok itu berhamburan di lantai. Beruntung piring yang sedang aku pegang ini tidak ikut terjatuh.
"Udah berapa suap nasi yang Mas makan?" tanyanya dengan panik.
"Belum sempat saya makan, kamu sudah merebutnya," kesalku.
"Ah, syukurlah..." Leganya.
"Kenapa? Bukannya kamu yang nyuruh saya untuk makan?"
"Iya, tapi gak gini juga kali, Mas. Ini makanannya udah dingin. Kalo Mas laper, tunggu sebentar. Aku angetin dulu." Mengambil nampan lalu beregegas pergi membawanya setelah sebelumnya ia membersihkan nasi yang berhamburan di lantai dengan tangannya.
Aku melihat Bening pergi menjauh. Aku senang, ternyata dia begitu mencemaskanku. Tapi, sejak kapan ia keluar dari dalam kamar mandi dan sudah berganti pakaian?
***
Bening menyodorkan air minum setelah aku menghabiskan makanan yang tadi sudah dihangatkannya. Aku meminumnya hingga tandas dengan obat yang ia berikan. Aku melirik pada piring-piring yang telah kosong. Aku rakus atau lapar? Sungguh memalukan. Bening beranjak membereskan piring-piring kosong itu lalu membawanya ke dapur.
Hampir satu jam setelahnya, Bening tidak menampakkan bayangan hidupnya. Aku mulai kesal. Dan mengapa aku begitu kesal?
Seolah takut kehilangan menghantuiku. Apalagi tadi, dengan susah payah aku memaksakan diri di tengah pusing yang teramat sakit menerpa kepalaku untuk menjemputnya. Ada perasaan aku tak ingin ditinggalkan...
Bila dipikir-pikir, ini pertama kalinya aku tidak bekerja karena tidak enak badan. Biasanya dalam keadaan apapun aku akan mengajak tubuhku untuk tetap bekerja.
Ngomong-ngomong soal bekerja, apa keadaan di kantor baik-baik saja?
Bagaimana dengan Hilda? Apa dia sudah mengundurkan diri? Aku harus menghubungi Mario.
Kuambil ponselku lalu segera mencari nama Mario di kontak dan hampir saja aku menekan tombol memanggil ketika aku mengurungkan niatku kemudian. Tidak tidak! Mengingat kejadian semalam, aku sungguh malu pada Mario.
Arghh, apa yang harus kulakukan jika esok bertemu dengannya?
Terlebih nanti Rudy dan juga Edwin, bagaimana aku menghadapi mereka? Apalagi istriku melakukan hal yang tak terduga semalam. Mengingat itu, aku jadi tersenyum sendiri.
Tapi, di mana letak salahnya? Bukankah wajar saja bila aku melakukannya? Bukankah sah sah saja jika aku mencium istriku sendiri? Bahkan itu halal, bukan?
Mengingat itu, tanpa sadar aku memegang bibirku sendiri. Rasa manis nan kenyal itu begitu memabukkan. Dan aku seperti anak remaja yang baru mendapatkan ciuman pertama. By the way soal istriku, ke mana dia selama ini? Kenapa dia belum kembali juga?
Ohoo, apa-apaan aku ini? Bagai anak kecil yang tak ingin berlama-lama ditinggal ibunya, aku terus merajuk dan ingin terus ditemani.
Aku beranjak dari tempat tidurku. Melempar remot tv yang sejak tadi menjadi korban bully jempol tanganku karena terus berputar-putar mengganti salurannya.
Langkahku terhenti ketika melihat betapa banyaknya kado-kado yang masih terbungkus di sudut ruangan itu. Terngiang kembali obrolan malam kemarin ketika istriku menanyakan hal yang tidak penting karena ingin meng-unboxing kado-kado itu. Ya, kado-kado itu, apa harus aku membukanya? Sungguh malas sekali karena aku sudah menduga apa isinya. Kado-kado itu takkan berubah karena barang branded di dalamnya.
Mengingat soal kado, mungkin kado yang diberikan istriku lebih berharga daripada kado-kado itu. Dan, maafkan Ya Allah, hari ini aku absen menghadap-MU...sungguh umat yang berdosa aku ini. 🙈
Langkah kaki ini bergerak membuka lebar-lebar pintu kaca kamarku, menangkap suara ribut yang kudengar oleh pendengaranku. Aku keluar dan berdiri di atas balkon. Pemandangan tak terduga terjadi. Aku melihat Bening sedang bercanda dengan sopir dan juga satpam yang bekerja di rumahku - tepatnya rumah papa.
Bening tertawa terbahak sambil tangannya tak lepas dari selang air yang mengarahkan pada tumbuhan dan juga bunga-bunga yang selama sembilan bulan ini aku beli dari tokonya. Apa yang sedang mereka bicarakan hingga Bening, bahkan para pekerja itu begitu senang?
Sungguh menjengkelkan! Tak tau apa, jika aku sedari tadi menunggunya?
Kekesalanku seketika meredup ketika dari bawah sana istriku melambaikan tangannya dan tersenyum padaku. Ah, aku ketahuan sedang memperhatikannya dari sini!
Senyuman itu...
Tatapan teduhnya...
Membuat aku benar-benar tak bisa berpaling untuk terus memandangnya. Cahaya senja membias keseluruhan dirinya yang kebetulan memakai baju tidur model rok baby doll serta rambut yang ia ikat setengah digerai, terlihat bagaikan peri di taman itu.
Tanpa sadar aku membalas lambaian tangannya. Tapi tak lama kemudian aku merasa kikuk dan menurunkan lambaian tanganku. Memasukkannya ke dalam saku celana santaiku dan berbalik buru-buru masuk ke dalam kamar.
Bagai anak ABG yang sedang jatuh cinta, aku merasa salah tingkah...
***
EPILOG
Hal apa yang paling ingin kalian hindari di dunia ini?
Jawabanku adalah menghindari diri dari tatapan dingin dan juga amarah dari suamiku setelah ia bangun dan sadar nanti. Semalam aku menyiramnya dengan air es dingin. Dan juga teman-temannya, berharap mereka tidak mengejarku atau balas dendam padaku. Bang Iyo...kenapa juga ia harus terlibat?
Ciuman itu semalam. Ya, bukan salahku, memang. Tapi dasar otak terkutuk ini masih terus memaksaku untuk selalu ingat kejadian semalam.
Tidak! Aku tak boleh berpikiran yang macam-macam. Bagaimanapun, perintah atau keinginan suami adalah surga bagi istri yang menjalankannya. Tapi, apakah adil bagi seseorang yang menerima tanpa persiapan terlebih dahulu?
Apalagi ketika kalian mendapatkan serangan mendadak seperti dicium seseorang. Ya, jika itu idola kalian mungkin kalian akan berjingkrak serta bersorak kegirangan.
Dalam kasusku, apa aku harus seperti itu?
Ya...pria yang menjadi suamiku itu memang tampan. Dan seharusnya aku senang, bukan?
Arghhh...aku harus bagaimana?
Aku menenggelamkan wajahku pada bantal lalu memandang wajah damai itu dalam lelapnya tidur. Tentunya setelah ia mengatai dan memuntahiku. Hiks...
Mas, maaf sepertinya aku harus menghindarimu untuk sementara waktu. Tapi, apa aku bisa?
Nyatanya tak bisa, karena di sini, aku malah tersenyum dan melambaikan tanganku padanya. Padahal aku sudah berusaha untuk berpura-pura tak melihatnya...
TBC