webnovel

Menara Cinta

Sejak kecelakaan itu terjadi.. Seiring berjalannya waktu hidup Sasya berubah. Sasya tak memikirkan lagi masa lalunya! Karena Sasya tak bisa mengingat semuanya. Karena jika Sasya mengingat hal itu. Hanya akan menambah luka di hatinya! Yang Sasya tau, kegelapan serta kedinginan dan Kesepian.

Kazuma_Hans3139 · Urbain
Pas assez d’évaluations
88 Chs

Hanya Kamu

Sasya berdiri di bingkai jendela, dulu... sebelum ia buta. Sasya selalu menyukai posisi ini, menikmati indahnya langit. Melihat orang yang berlalu lalang, dimana ia bisa melihat semuanya dari balik jendela ini.

Tapi kini hanya kegelapan yang ia dapat, kesepian yang ia rasa. Sasya menghela nafas berkali-kali. Ia berusaha tenang, sebisa mungkin.

Sasya teringat kata-kata Lian, ia tidak boleh stres. Besok ia harus melakukan operasi.

"Apa yang kamu pikirin?" Ucap Bryan tiba-tiba.

Sasya berjengit kaget saat sepasang lengan kokoh pria itu memeluknya dari belakang. "Banyak hal, tapi yang aku pikirin saat ini aku harus tenang. Besok... apakah akan berhasil?"

Bryan menyunggingkan senyum tipis, "Kamu berdoa aja, semoga semuanya lancar. Dan operasinya berhasil."

Sasya mengangguk, ia mengusap jemari Bryan dan memainkannya.

"Bryan.."

"Hnn?"

Sasya tampak ragu, tapi keputusannya sudah bulat. Ia harus jujur, atau Bryan akan lebih kecewa lagi saat ia mengetahuinya dari orang lain.

"Kamu yakin, mau aku jadi istri kamu?" Tanyanya pelan. Nyaris berbisik.

Bryan sedikit terkejut mendengarnya, meski ia sudah menduga jika Sasya pasti akan menanyakan ini. Apa Sasya meragukan perasaannya? Belum cukup kah Bryan memberikan kasih sayang juga cintanya?

"Saya gak pernah seyakin ini." Bryan menumpukan dagunya di bahu gadis itu. Dari posisinya, Bryan dapat mendengar degup jantung Sasya.

Menggigit bibir,

"Aku mau bilang.."

"Jangan bilang kamu gak mau nikah sama saya." Suara Bryan mendadak serak.

"B-Bukan kok." Sasya menyangkalnya dengan cepat. Ia bahkan reflek berbalik, menghadap kearah Bryan.

Menipiskan bibir, dengan tenang Bryan bertanya.

"Lalu apa?" Ia menangkup kedua pipi Sasya, mengusapnya lembut. "Kamu bikin saya penasaran."

Menundukkan kepala, sungguh Sasya merasa ia manusia terhina.

"Apa kamu masih mau nikah sama aku? Aku bukan orang yang baik, aku kotor. Aku gak pant-

"Hanya kamu yang saya mau." Potong Bryan cepat. Ia menatap tajam Sasya, rahangnya mengeras. Apa yang dipikirkan gadis ini terhadapnya? "Hanya kamu yang saya inginkan untuk menjadi pendamping hidup saya." Sambungnya kemudian.

"Bry..."

"Saya tau kamu udah gak suci.. bahkan kamu sekarang tengah mengandung." Tanpa sadar Bryan meninggikan suaranya. Ia menempelkan dahinya ke dahi Sasya, menatap mata yang juga tengah menatap dirinya kosong.

"Tapi saya tetap ingin kamu, saya cuma cinta sama kamu." Ujar Bryan lirih.

"Bryan..."

"Gak ada alasan lagi buat nolak, kamu cuma milik saya."

Bryan mencium bibir Sasya, lembut... awalnya. Tapi perlahan ciuman itu menjadi kasar dan menuntut. Bryan menumpahkan semua emosinya kedalam ciuman mereka.

Ia memegang kepala belakang Sasya, memperdalam ciumannya.

Nafas mereka semakin memburu, dan Bryan melepaskan ciumannya meski enggan.

"Jangan pernah berpikir buat pergi dari hidup saya." Bisik Bryan.

Sasya menangis, ia mendekap pria itu erat. Ia senang, Bryan menerimanya, menginginkan keberadaannya, walau dirinya buta. Memang besok ia akan menjalani operasi, tapi Sasya merasa.

Perasaan Bryan begitu besar terhadapnya.

.

.

Bryan menunggu.. melirik ruang operasi setiap dua detik sekali. Hatinya berharap cemas, "Semoga operasinya berjalan lancar."

Bryan ingat, sebelum Sasya masuk kedalam ruang operasi gadis itu enggan melepaskan tangannya.

Flashback

Saat ini Bryan tengah menemani Sasya diruang operasi. Gadis itu enggan melepaskan tangannya. Bryan melihat jelas matanya berkaca-kaca, ia tersenyum saat Sasya kembali merengek.

"Bryan... kamu jangan pergi, temani aku ya ya?" Pintanya dengan nada memohon.

Menghela nafas, Bryan berujar lembut.

"Sayang.. saya gak mungkin disini terus. Nanti Lian ngomel, saya tunggu kamu diluar oke?"

"Tapi Bry..."

Bryan mengecup dahi Sasya berkali-kali, berusaha menenangkan calon istrinya.

"Sstt.. tenanglah.. semuanya akan berjalan dengan baik."

Sasya pun menurut, ia keluar dari ruangan setelah Lian menyuruhnya keluar.

Flashback off

"Boss.." sapa Farrel, mengejutkan Bryan.

"Kamu kok disini sih? Gimana sama pekerjaan kamu?" Tanya Bryan heran sekaligus bingung.

Farrel tampak gelagapan, matanya berotasi mencari jawaban.

Detik berikutnya rahang Bryan mengatup rapat. Melihat sosok Sharon yang tengah duduk di kursi roda.

"Tuan.. saya minta maaf. Saya mengaku salah. Dan saya memang pantas dihukum." Ucap Sharon pelan, ia menyesal. Hampir saja ia kehilangan nyawa, jika saja Farrel tak segera membawanya ke rumah sakit.

Bryan menatap rendah, apa katanya? Minta maaf? Segampang itu dia bilang maaf? Hei! Bryan hampir saja kehilangan Sasya karena gadis itu!

"Kamu minta maaf sama dia, bukan sama saya. Yang kamu sakitin Sasya, tapi... jika kamu melakukannya lagi. Saya gak segan bunuh kamu." Ancam Bryan dengan nada mutlak!

"B-Boss.." Farrel tampak keberatan, ia mengepalkan telapak tangannya.

Bryan menyeringai, Farrel sudah lama bekerja dengannya. Sampai Bryan menganggap Farrel sebagai keluarganya. Dan tak mungkin juga kalau, Bryan tidak mengetahui perasaan Farrel terhadap Sharon.

Itulah alasan mengapa Bryan tak membunuh Sharon atas perilakunya terhadap Sasya. Meski Bryan ingin sekali membunuhnya.

Tapi ia urung... sekali lagi karena Bryan menghargai perasaan Farrel.

"Kamu jaga dia, jangan sampai dia mencoba ngebunuh calon istri saya lagi." Ujar Bryan dingin, ia sengaja menekan kata 'calon istri' pada kalimatnya tadi.

"B-baik tuan.. saya mengerti." Farrel mengangguk, tanpa sadar ia bernafas lega.

"Pertahanin cinta kamu, nyatain perasaan kamu. Sebelum kamu menyesal nantinya." Bisik Bryan tepat saat dirinya berada disamping Farrel.

Mata Farrel membalalak terkejut, ia tak menyangka Bryan mengetahui perasaannya terhadap Sharon.

"Terimakasih atas sarannya.."

Suster keluar dari ruang operasi, wajahnya tampak panik!

Dengan cepat Bryan mendekati suster itu. "Suster gimana sama pasiennya?"

"Begini pak, nona Sasya banyak kehilangan darah. Tapi kami tidak punya stok darah yang sama dengan nona Sasya" jelasnya.

Bryan cukup terkejut, "Apa golongan darahnya?"

"Golongan darah nona Sasya O positif." jawab suster cepat.

O.. sedangkan dirinya A, jelas ia tak bisa membantu.

Sharon yang tak sengaja mendengarnya, ia mendekat kearah suster juga Bryan. "Saya bisa mendonorkan darah saya untuk nona Sasya, tuan."

Bryan dan suster itu menoleh kearah Sharon disaat bersamaan.

"Kehilangan banyak darah dalam operasi bisa berakibat fatal, saya yakin anda tidak ingin kehilangan nona. Maka dari itu, izinkan saya mendonorkan darah saya untuk nona." Ucapnya tegas.

Bryan bisa melihat ketulusan di mata Sharon, ia melirik tuang operasi lagi.

"Suster, ambil saja darah dia. Ambil sebanyak yang dibutuhkan Sasya."

Suster itu menganguk, lalu membawa Sharon untuk melakukan proses pengambilan darah.

Farrel mendekat, "Boss, dia bahkan baru pulih. Kenapa Boss mengizinkannya?"

"Dia sendiri yang mau, dan saya tidak mau kehilangan Sasya. Ini darurat Farrel, mohon mengerti." Desis Bryan tajam.

Farrel bungkam, ia berharap Sharon baik-baik saja.

Begitu pula Bryan yang mengharapkan Sasya baik-baik saja.

.

.

Satu jam berlalu, penantian Bryan membuahkan hasil. Operasi telah selesai, suster dan Lian keluar dari ruang operasi, juga Sasya.

Segera ia menghampiri Sasya, gadis itu masih belum sadar.

"Tenang aja, dia baik-baik aja. Tinggal nunggu kapan dia sadar." Ujar Lian tenang.

Bryan menatap sahabatnya, "Thanks.."

"Hm.."

Mereka membawa, memindahkan Sasya ke ruang rawat. Bryan masih setia menemani. Ia menggenggam jemari Sasya. Mengecupnya berkali-kali. "Semoga kamu cepat sadar sayang.. saya akan terus nunggu kamu disini." Bisik Bryan lirih.

Berharap Sasya mendengar perkataannya.