webnovel

Menara Cinta

Sejak kecelakaan itu terjadi.. Seiring berjalannya waktu hidup Sasya berubah. Sasya tak memikirkan lagi masa lalunya! Karena Sasya tak bisa mengingat semuanya. Karena jika Sasya mengingat hal itu. Hanya akan menambah luka di hatinya! Yang Sasya tau, kegelapan serta kedinginan dan Kesepian.

Kazuma_Hans3139 · Urbain
Pas assez d’évaluations
88 Chs

Cantik

Bryan membuka mata, menguap pelan kini tatapannya melihat jam yang berada di nakas. Ternyata hari sudah malam, sudah berapa jam dia tertidur?

Ia melirik gadis yang berada di pelukannya, Sasya belum terbangun.

"Sepertinya tidurmu nyenyak sekali." Bryan menggumam, setelahnya pria itu mengecup lama kening Sasya.

Sudah lama sekali, dirinya tak bisa tidur dengan tenang seperti tadi.

Mengusap pipi Sasya lembut, Bryan sadar. Sejak hadirnya gadis ini, kehidupannya yang monoton perlahan berubah. Menjadi lebih hidup dan berharga.

Bryan menatap bibir gadis itu, entah kenapa Bryan tergoda untuk mencicipinya.

Saat ingin mendekatkan wajah, Bryan mengurungkan kembali niatnya.

"Umnh..." Sasya membuka mata, tidurnya sedikit terusik karena ulah tangan Bryan yang jahil.

"Selamat malam." Ucap Bryan lirih, nyaris berbisik.

"Ugh.. selamat malam.. kau sudah pulang? Maaf aku tidur disini." Dengan cepat Sasya beranjak bangun

"Aduh!"

"Aww!"

Teriak mereka secara bersamaan. Sasya mengusap kepalanya yang sakit. Ia tidak tahu kalau posisi mereka sedekat itu.

Bryan mengambil ponselnya yang berkedip, dagunya masih nyut-nyutan akibat insiden tadi. Ia melihat ada panggilan masuk dari Lian Wu.

Segera ia mengangkatnya. "Brengsek kau dimana?!"  Raung Lian disana.

Telinga Bryan terasa berdengung, sungguh. Pria keturunan China itu selalu ingin membuatnya tuli.

"Saya lagi sama Sasya." Jawab Bryan cuek. "Dirumah." Imbuhnya kemudian.

"Oh bagus ya? Lo ga ingat sama janji hari ini huh?!"

"Saya inget. Banget malah. Tapi sumpah saya ketiduran."

Bryan mendengar hela nafas disana, "Kau seperti kakek-kakek saja." Celetuk Bryan sebelum mematikan telponnya.

Sasya sudah turun dari ranjangnya, rambut gadis itu acak-acakan. Bryan mengetik beberapa angka, "Sharon, kamu ke kamar saya sekarang." Titahnya.

"Sharon itu siapa?"

"Orang kepercayaan saya."

Sasya mengangguk, orang kaya mah beda. Cibirnya dalam hati.

Hening..

Tak lama ketukan pintu terdengar, Sharon datang dengan setelan baju ditangan kanan-kiri nya.

"Kamu bantu Sasya mandi. Kalo bisa jangan lama-lama." Titahnya lagi. Bryan berhasil mencuri ciuman dipipi ketika Sasya sedang tampak berpikir.

Sharon menatap datar kelakuan Bryan. "Bisa tidak orang ini bersikap romantis ketika dirinya tak ada disana?! Benar-benar tak menghargai aku sama sekali." Gerutu Sharon.

"Baik tuan, nona.. mari saya bantu anda." Ajak Sharon, menuntun Sasya ke kamar mandi.

Sementara menunggu Sasya mandi,

Bryan memutuskan untuk membersihkan diri juga. Ia menggunakan kamar mandi milik  Sasya.

.

Tak berapa lama, Bryan keluar dari kamar Sasya. Ia sudah rapih dengan kemeja serta jas nya.

Padahal Bryan hanya ingin mengantar Sasya. Tapi pria itu tetap ingin berpenampilan rapih. Karena sejak kecil, Bryan sudah didik seperti itu.

"Sya... kamu udah sele-" kalimat Bryan terputus. Ia tersenyum tipis saat melihat penampilan Sasya.

"Cantik." Tanpa sadar Bryan mengatakannya dengan nada lantang. Membuat Sasya tersipu karenanya.

Bryan langsung menghampiri Sasya lalu menggandeng tangannya. "Kalo gak cepet, nanti dia ngomel."

Sasya menggenggam erat lengan Bryan, takut kalau dirinya akan terjatuh.

Mereka pun berangkat ke rumah sakit, hanya berdua. Tanpa Farrel.

Sharon menatap datar kepergian mereka, tangannya terkepal.

"Gue yang udah lama disisinya, tapi kenapa lo yang baru masuk ke sini udah ngerebut hati dia!" Ucap Sharon kesal.

Mia tersenyum, ia melihat arah pandang Sharon. "Kenapa kamu gak nyingkirin dia aja?"

Sharon melirik lewat ekor mata, "Kenapa kamu gak lakuin sendiri? Bukannya kamu juga gak suka sama dia?"

"Saya punya cara sendiri buat ngelakuin hal itu, tinggal tunggu waktunya aja." Ucap Mia dengan nada penuh percaya diri.

.

.

Besok adalah hari H, dimana Bagas akan mengucapkan janji sucinya dengan Kiara. Tapi seperti sebelumnya, tatapan Bagas tampak kosong. Masih memikirkan Sasya, jika saja. Pernikahan ini, pernikahannya dengan Sasya. Pasti Bagas akan lebih bahagia dan merasa hidup.

"Kak, lo yakin mau tetep nikah sama dia?" Tanya Nara ragu.

Bagas menoleh, memberi atensinya pada sang adik.. "Apa gua punya pilihan lain?" Ucapnya sambil tersenyum culas.

"Seenggaknya, lo berusaha buat nolak kek."

Bagas menggeleng, ia masih ingat dengan janjinya. "Gua udah janji buat tanggung jawab. Jadi... gua gak bakal mundur lagi."

Keduanya terdiam, "lalu gimana dengan Sasya?"

Bagas tersenyum pedih, "Entahlah, mungkin dia udah gak ada karena kecelakaan itu."

"Tapi kakak selalu bilang dia masih hidup! Berarti Sasya masih hidup kak!" Teriak Nara.

"Itu cuma halusinasi gua aja, mungkin gua kena Skizo. Jadi gua berhayal yang enggak-enggak."

Meski Bagas berkata begitu, namun dalam hati ia menyangkal perkataannya sendiri.

Nara menatapnya kecewa, gadis itu berlari masuk ke dalam kamarnya sendiri

"Lalu gua harus gimana?"

.

.

Bryan dan Sasya sudah sampai di rumah sakit, benar saja. Dokter Lian menatap mereka kesal, meski hanya Bryan yang dapat melihatnya.

"Saya juga punya kesibukan, tolong kamu jangan seenaknya!" Sembur Lian pada sahabatnya.

Bryan mengendik tak perduli, walaupun Lian sudah memakai bahasa formal. Bryan tak takut sesikitpun.

Sasya yang tak tau apa-apa hanya terdiam, ia merasakan sentuhan pada pergelangan tangannya.

Sepertinya dokter itu sudah mulai memeriksa kesehatannya. Pikir Sasya.

"Kau berencana ke pesta?" Tanya Lian tiba-tiba. Bahasanya sudah lebih santai, ketahuilah. Sebenarnya Lian itu baik, cuma sifat tempramennya itu loh yang bikin dia dipandang sebelah mata jadi dokter.

"Saya emang berniat kesana, gak enak kalau gak dateng." Jawab Bryan tenang. Ia masih memperhatikan Lian yang membalut luka-luka Sasya. Mengganti perbannya.

Lian menoleh sekilas sebelum kembali fokus dengan pasiennya. "Terus kamu ajak siapa?"

Menyeringai, Bryan dengan entengnya menjawab. "Kan kamu tau jawabannya."

"Sial..!" Umpat Lian dalam hati. Sepertinya ia akan kena masalah lagi setelah ini.

"Rumah sakit kamu payah, masa nyari donor mata aja kesusahan." Celetuk Bryan.

Sasya menoleh kearahnya, meskipun tak bisa melihat. Sasya merasa senang, sepertinya Bryan memang akan membantu dirinya untuk bisa melihat lagi.

Pelipis Lian berkedut, ia menatap garang sang sahabat. "Lo kira dapetin donor mata sama mudahnya dengan membeli lolipop huh?"

Menggelengkan kepala, Lian tak habis pikir. "Ditambah lagi gue harus nyari yang bener-bener sehat. Bukan nggak waras kayak kamu." Cibirnya telak.

Bryan terdiam, bukan tak bisa membalas. Tapi enggan saja.

"Sudah selesai." Ujar Lian membuyarkan lamunan kedua makhluk itu.

"Hm... saya tunggu loh matanya."

Lian hanya melambai tak peduli.

Mereka pun kembali ke rumah. Tanpa kata di sepanjang perjalanan mereka.

.

.

Keesokan harinya, Bryan sudah berangkat ke kantor pagi-pagi sekali. Dirinya berniat membereskan pekerjaannya dulu, setelah itu menghadiri pernikahan Bagaskara.

Ketukan pintu terdengar, Edo mewakili mempersilahkannya masuk.

Lian Wu masuk kedalam ruangan Bryan, dirinya sudah siap pergi ke pesta. Memakai jas warna biru dongker, berbanding balik dengan kulitnya yang putih. Hanya tinggal memasang dasi saja.

Lian duduk di sofa tanpa dipersilahkan lagi.

Bryan mendongak, melihat penampilan Lian. "Pefecto." Pujinya tulus. Yang di puji malah mendengus kasar.

"Kenapa gak nyewa orang aja?" Tanya Lian jengkel.

"Sayang uang saya, mending buat amal dari pada buat bayar boneka." Jawab Bryan santai.  Tatapan matanya tertuju pada jam dipergelangan tangan. Sepuluh menit lagi acara akan di mulai.

"Edo, selesaikan bagian ini. Saya mau pas saya balik semuanya harus selesai ok?" Katanya sambil beranjak.

Lian ikut berdiri, berjalan mengikuti Bryan.

Bisik-bisik terdengar di telinga, Lian sebenarnya muak. Tapi bagaimana pun mereka tak ingin menyangkal. Biar saja orang-orang itu berpikir seperti apa tentang mereka.

Yang jelas, mereka masih normal.

Mereka pun pergi menuju gedung pernikahan pewaris utama keluarga Eryudha. Bagaskara.

Bryan menyeringai, sebentar lagi ia akan melihat bagaimana rupa mantan kekasih Sasya.

.

.

Sasya merasa hari ini sangat hampa, terbangun tanpa Bryan membuatnya sedikit merasa ada yang kurang.

Setelah membersihkan diri, Sasya berniat berkeliling di rumah Bryan. Ia ingin lebih mengenal seluk beluk rumah ini.

Dengan hanya mengandalkan keberanian, pendengaran, juga indra perabanya.

Dua pasang mata menatap semua gerak-gerik yang dilakukan Sasya. Salah satunya menyeringai, ini kesempatan bagus untuk menyingkirkan Sasya! Bryan sedang tidak ada dirumah.

Mia tersenyum, biar saja Sharon melakukannya lebih dulu. Ia akan bertindak jika Sharon melakukan kesalahan.

Sedang Sasya sendiri, tidak tau bahaya apa yang akan datang padanya!..