Diawal perpisahan Edwin dan Bila melaluinya dengan berat, namun kian berlalu mereka sudah terbiasa akan hal tersebut.
Satu bulan telah berlalu, persiapan peresmian pernikahan Edwin dan Bila sudah sembilanpuluh persen dari administrasi ataupun hal lainnya.
Semua dipersiapkan dengan baik oleh Edwin dan ibunya Bila, karena memang Bila tak bisa jika harus ikut mempersiapkan semua itu.
Bila masih disibukan dengan pekerjaan-pekerjaannya, ia sudah bisa beradaptasi dengan lingkungan barunya secara cepat, dan demi segera menyelesaikan tugas-tugasnya Bila rela bekerja sampai malam.
Satu hal yang ia ibginkan, segera pulang untuk bersama lagi dengan suaminya.
Tanpa sadar sudah dua minggu Bila tidak kembali ke kota kecil dimana suaminya tinggal, ini adalah malam minggu ke-3, tiba-tiba ia merasa sangat rindu pada suaminya.
Merindukan perhatian dan kasih sayang Edwin, ia juga baru teringat kalau dua hari ini ia tidak berkomunikasi dengan suaminya itu.
Sementara di kediaman keluarga pak Baroto malam ini sedang kedatangan tamu, ia adalah pak Johan ayah Caca, dan tentunya prempuan bertubuh seksi dengan paras cantik putri kesayangannya.
Mereka tampak berbincang akrap sampai Caca menepuk lengan papinya memberi kode untuk mengutarakan niat sebenarnya kedatangan mereka.
Pak Johan segera tahu maksut putrinya, ia segera mengangguk lalu mengubah sikap yang tadinya santai menjadi suasana sedikit formal.
"Mas Bar, maaf sebelumnya sebenarnya kedatangan kami kerumah mas Bar ini adalah untuk menanyakan sesuatu". tutur pak Johan.
"Oh....ada apa mas Johan?".
"Begini mas kita kan sudah saling mengenal dari dulu, dan...." pak Johan terlihat agak ragu dengan ucapannya "maksut saya sudah seperti keluarga".
"Benar mas saya juga sudah menganggap mas Johan sekeluarga seperti saudara".
"Trimakasih mas, maka dari itu saya kok berfikir untuk memper erat kekeluargaan kita".
"Maksut mas Johan?".
"Maksut saya, anak-anak kita sepertinya sudah cukup dewasa untuk berumah tangga, bagaimana kalau kita jodohkan saja Edwin dan Caca mas?".
Pak Baroto teelrkejut mendengar perkataan pak Johan yang tanpa basa-basi, beliaupun bingung harus bagaimana.
"Walah mas....mendengar perkataan mas Johan saya merasa tersanjung".
"Jadi Om mengijinkan?" tanya Caca antusias.
"Maaf Ca....seandainya mas Johan dan Caca datang beberapa bulan lalu mungkin apa yang dikehendaki bisa terjadi, tapi maaf Edwin sudah menikah sebulan yang lalu".
"Apa.....Om?" Caca berkata dengan lemah.
"Lho....Edwin sudah menikah?" pak Johan juga terkejut "kok ga ngasih kabar mas?".
"Maaf pernikahan Edwin memang tidak direncanakan, yah terjadi begitu saja".
"Apa prempuan itu hamil om?".
"Bukan Ca, istrinya Edwin sekarang juga masih di luar kota, dan kebetulan peresmiannya satu bulan lagi".
Caca tampak menahan air mata mendengar kenyataan itu.
Pak Baroto tahu apa yang Caca alami, karena ia juga tahu kalau Caca sudah menyukai Edwin sejak lama.
"Caca Om tahu perasaan kamu, tapi om juga tidak bisa berbuat apapun, ini berarti Edwin bukan jodoh kamu, om yakin kamu akan segera bertemu laki-laki yang benar-benar menyayangi kamu".
"Benar kata om Baroto Ca, ini artinya kamu dan Edwin memang tidak berjodoh".
Tanpa mereka sadari ternyata Edwin sudah berada didepan pintu ruang tamu dan mendengar perbincangan itu, ia merasa bahagia karena ayahnya dengan tegas mengatakan semua kebenaran itu.
Akan tetapi ia juga merasa kurang enak hati pada Caca dan ayahnya, ia segera mendekati mereka.
"Caca.....om Johan maaf tadi saya mendengar percakapannya" sahut Edwin.
"Edwin....." ucap mereka ber tiga.
Edwin duduk didekat Caca kemudian memegang tangan Caca dengan lembut sambil berkata.
"Ca....kamu itu cantik dan gua tahu sebenarnya kamu juga gadis yang baik, jadi aku yakin kamu akan mendapatkan laki-laki yang benar-benar tulus memyayangi kamu".
"Tapi Win....aku....." Caca tak sanggup melanjutkan perkataannya airmata mulai menetes dari mata indahnya.
"Ca aku tahu perasaan kamu, tapi maaf ini semua kehendak Allah kamu dan aku memang ditakdirkan sebagai teman".
Caca tak mampu menahan diri lagi, ia segera menghamburkan tubuhnya kedalam dada bidang Edwin.
Edwin hanya mampu mengelus rambut Caca untuk menenangkannya.
Sementara ke dua orang tua mereka duduk terdiam dan tenggelam pada pikiran mereka masing-masing.
Setelah beberapa saat suasana telah menjadi tenang, tangisan Caca juga sudah mereda. Edwin kembali meyakinkan kepada Caca tentang takdir yang mereka jalani.
Walaupun berat hati ahirnya Cacapun berusaha menerima apa yang terjadi.
Setelah itu Caca dan pak Johan berpamitan untuk pulang.
Caca sangat terpukul dengan kejadian malam ini, baginya penantiannya selama bertahun-tahun hanya suatu yang sia-sia.
"Siapa istri Edwin itu, apakah dia seorang wanita yang istimewa, atau jangan-jangan?" Caca tampak takut membayangkan jikalau wanita itu adalah Bila.
Pak Johan yang melihat ketegangan di wajah Caca segera bertanya.
"Ca, apa yang kamu pikirkan?".
"Ga kok pi" Caca mencoba menyembunyikan perasaannya.
"Sudahlah Ca, Edwin memang bukan jodoh kamu, papi yakin kamu akan segera bertemu dengan laki-laki yang tulus menyayangi kamu".
Caca memandangi ayahnya dengan senyum yang dipaksakan sambil mencoba untuk menerima takdirnya.
Maaf readers lama ga nongol karena banyak sekali kegiatan yang harus penulis lakukan.
Mohon do'anya ya semoga mulai hari ini saya bisa kembali aktif lagi.
Maaf juga kalau bab kali ini agak-agak belepotan, maklum seperti mengulang sesuatu dari awal lagi.
Tetap ditunggu bintang, vote, dan komentarnya ya.
Love you all