Deno berdiri lalu memegang saku celana belakangnya. Ia berputar sekali melihat ke pasir disekelilinya. "Ah elah!"
"Ngapain lu nolong gw?" Kini tatapan kesal campur tanda tanya dari Deno dilemparkan.
"Masuk aja lagi ke laut kalo mau mati. Gw liatin." Jihan terdiam.
"Buruan, kenapa diem? Takut?" Tantang lelaki itu.
Jihan bangun dari duduknya. "Berisik!"
Ia lalu berjalan meninggalkan Deno yang masih kemcari barang di pasir. Jihan menyusuri jalanan menuju penginapan dengan kaki telanjang.
Beberapa pegawai terkejut melihat Jihan pulang dengan keadaan basah kuyup dan tanpa alas kaki. "Mbak Jihan?!"
Beberapa lelaki dengan pakaian serba hitam mendekat. Salah seorangnya memberikan informasi kepulangan Jihan lewat ponselnya.
"Ayah?" Tanya Jihan pada lelaki itu. Lelaki itu mengangguk lalu mengantarkan Jihan ke kamarnya.
"Pulang jam berapa?" Tanya Jihan sebelum menutup pintu kamar.
"Setelah Mbak Jihan siap."
Jihan tak membutuhkan waktu yang lama untuk bersiap. Barangnya sedikit dan ia tidak merias wajahnya. Beberapa penjaga milik ayahnya membawakan tas Jihan dan menggiringnya ke mobil.
Dari kejauhan Deno berjalan masuk ke penginapan dengan baju yang sudah agak kering. Ia sedikit melirik ke arah Jihan namun tetap berjalan menuju kamarnya. Jihan menatap punggung itu begitupun dengan salah satu penjaga di sampingnya.
"Cari informasi tentang laki laki itu."
"Sekarang."
***
Rumah itu nampak besar namun sunyi. Tak ada sedikitpun unsur kehangatan yang seharusnya ada di rumah. Semuanya terasa dingin. Bahkan dibawah teriknya sinar matahari Jakarta rumah itu tampak selalu beku.
Jihan nampak terus mengaduk makanan di hadapannya. Wajahnya tampak cantik dengan riasan tipis, baju set berwarna hitamnya kontras terlihat sangat kontras dengan bibir merahnya.
Suara nyaring dari benturan antara sendok dan meja makan kaca terdengar sangat nyaring menggema ke seluruh ruangan. "Makan"
Suara berat nan tegas itu menginterupsi kegiatan Jihan.
Himas. Ayah Jihan.
Kulitnya tampak sudah berkerut, begitupun rambut putihnya yang mulai mendominasi. Tatapan tajamnya tak pernah hilang. Bibir tipisnya selalu mengeluarkan kata kata tegas dengan suara berat.
"Kemana tadi? Ayah dengar kamu masuk ke laut. Mau mati?" Jihan menghentikan tangannya lalu menatap Himas tidak percaya.
"Keperluan naskah." Jawab Jihan singkat.
"Setelah nabrakin mobil ke pohon sekarang masuk ke laut? Besok ngapain lagi? Terjun ke jurang?"
"Aku sama sekali ga bikin ayah rugi dengan hal hal itu."
Himas memukul meja makan keras. "Kamu satu satunya ahli waris keluarga!"
Lagi dan lagi, suara nyaring menggema di seluruh ruangan. Himas melemparkan gelasnya ke dinding yang ada di belakang Jihan.
Jihan menunduk menahan air matanya. "Kapan Jihan bisa keluar dari rumah ini?" Tanyanya dengan suara bergetar.
"Setelah aku melihat cincin di jarimu." Itu artinya,
Menikah.
"Udah lima laki laki yang ayah tolak!" Teriak Jihan. "Mau ayah itu apaan sih?!"
Himas dengan cepat bangkit dan berdiri di hdapan Jihan "Jangan berani beraninya berteriak di depanku!"
"Mau ayah apa?" Tekan Jihan sambil nenatap ayahnya frustasi.
"Masih mau terus liat mama ada di dalam diri Jihan?! Iya?! Mama udah mati yah! Ini Jihan, bukan mama!"
Jihan berteriak dengan kencang.
Dalam khayalannya.
Jihan memejamkan matanya menghilangkan khayalan tersebut. Ia lalu menarik napas dalam dalam dan menenangkan diri. "Ayah mau calon yang seperti apa sih? Udah lima laki laki yang ayah tolak dalam dua bulan ini. Aku ga paham alasannya." Jihan meletakkan alat makannya lalu menatap Himas pasrah.
"Bawakan yang terbaik."
"Dan apa alasanmu ingin keluar dari rumah ini?"
"Ini rumah ibumu." Lanjut Himas pelan.
Jihan menarik nafasnya dalam. "Sudah saatnya aku hidup sendiri."
Himas menatap Jihan dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Ia lalu menyuapkan kembali makanannya dengan tenang. "Bawa calonmu, aku tunggu."
Jihan keluar dari ruang makan dengan nafas yang memburu. Ia masuk ke kamarnya dan mulai menggila. Ia melemparkan barang barang yang ada di dekatnya sambil berteriak.
Di luar pintu kamar seorang lelaki paruh baya menunggu sambil mendengarkan teriakan Jihan.
Tak lama, ia mengetuk pintu Jihan pelan.
"Siapa?!" Teriak Jihan dari dalam.
"Ini Pak Harto Jihan." Setelah mendengar suara Pak Harto Jihan mengatur nafasnya lalu membuka pintu.
Pak Harto menatap Jihan sambil tersenyum. Jihan tetap diam dengan wajah marahnya. Pak Harto mencolek lengan Jihan lalu menggerakkan kedua alisnya sambil kembali tersenyum.
"Apaan sih Pak?" Rengek Jihan.
Pak Harto masih terus tersenyum "Senyum neng."
"Males ah. Orang lagi kesel juga."
Keduanya terdiam.
"Beli cendol yuk." Jihan kini menatap Pak Harto. Namun tetap diam dengan emosi marah yang tersisa.
"Ayuk lah, masa Pak Harto makan cendol sendiri." Jihan tetap diam menjaga ego nya.
"Ya udah Pak Harto sama Zidan aja." Lanjut Pak Harto menggoda Jihan.
"Zidan siapa?" Tanya Jihan cepat.
Pak Harto tersenyum meledek. "Hmm ada itu anak buah Pak Himas yang baru. Anaknya baik, ganteng, terus ramah juga. Bapak hebat kalo cari anak muda. Oh iya dia juga kekar badannya."
Jihan membuang wajahnya. "Ya udah sana pergi sama Zidan aja."
"Oke. Pak Harto pergi dulu ya."
Pak Harto membalikkan tubuhnya lalu bersenandung melantunkan lagu cendol yang ia buat spontan.
Tentu saja Jihan mengejar Pak Harto. Ia tidak akan rela jika Pak Harto minum cendol dengan orang lain tanpa dirinya.
Pak Harto adalah tangan kanan Himas sejak sebelum Jihan lahir. Pak Harto yang selalu mengajak Jihan main dan menghiburnya. Pak Harto juga yang mengantar jemput Jihan ketika sekolah. Sebagian besar kegiatannya ia lakukan bersama Pak Harto. Bagi Jihan, Pak Harto adalah ayah tanpa ikatan darah.
Hanya saja sejak Jihan bekerja dan memutuskan untuk membuat perusahaannya sendiri keduanya jadi jarang bertemu. Jihan jarang pulang dan lebih memilih untuk menginap di kantor dengan alasan pekerjaan.
Jihan terus melihat jalanan di depannya sambil mengaduk cendol. "Diminum itu, jangan diaduk terus." Kata Pak Harto melirik Jihan.
"Ini orang kenapa harus ikut sih?" Dibelakang Jihan dan Pak Harto berdiri Zidan, sedangkan di dekat mobil partner Zidan berdiri sambil melihat sekeliling.
Zidan menggunakan baju rumahan karena tadi Pak Harto tiba tiba mengajaknya keluar. Badannya terus berdiri tegap di belakang Jihan dan Pak Harto.
"Dia cuma kerja, jangan diganggu ah." Kata Pak Harto sambil mendekatkan sedotan pada bibir Jihan.
Keduanya diam sambil menatap jalanan.
"Kenapa baru pulang?" Tanya Pak Harto pelan.
Jihan sebenarnya malas mendengar pertanyaan ini karena jawabannya akan selalu sama. "Kan dipanggil ayah pulang."
"Pulang itu jangan kalau dipanggil doang neng."
Pak Harto kini menatap Jihan dari samping sambil menyelipkan rambut Jihan ke belakang telinga. "Pulang itu penting Jihan."
"Ga ada yang penting di rumah, untuk apa pulang? Mending Jihan di kantor."
"Pulang itu bukan ke rumah. Tapi, ke tempat di mana keluarga berada." Bisik Pak Harto.
"Jihan udah ga punya keluarga."
"Hush! Ga boleh ngomong kagak gitu." Potong Pak Harto dengan cepat.
"Selama Pak Himas masih hidup, masih bernafas, darahnya masih mengalir dia adalah ayah Jihan. Jangan sampai sifat buruknya menutup fakta bahwa dia adalah ayah Jihan. Lagi pula, Pak Harto kan juga keluarga Jihan. Jihan juga bisa anggap Zidan keluarga mulai sekarang. Supaya Jihan punya alasan untuk pulang." Jihan membuang napasnya lalu menunduk.
"Iya iya paham. Udah ah jangan nasehatin lagi. Jihan juga ga mau punya kakak kayak Zidan." Pak Harto hanya terkekeh sambil melirik wajah Zidan yang ditekuk karena penuturan Jihan.
"Terus itu, emang kamu mau nikah?" Tanya Pak Harto.
"Hmmm."
"Kapan?"
"Ga tau."
"Di mana?"
"Ga tau."
"Sama siapa?"
"Ga tau."
Pak Harto menatap Jihan kasihan. Ia lalu memerintahkan Zidan untuk mengambil sebuah dokumen di mobil. Pak Harto kemudian memberikan dokumen itu pada Jihan.
"Apaan nih?" Tanya Jihan bingung.
"Buka dulu, baru tanya." Jihan membuka dokumen tersebut dan terkejut saat mendapati foto dan informasi tentang lelaki yang menolongnya di Anyer.
"Kok Pak Harto tau?" Pak Harto mengangkat sebelah alisnya.
"Anak yang kamu suruh itu anak buah Pak Harto. Apa yang mereka lakukan saya pasti tahu." Jihan meringis karena lupa dengan fakta itu.
"Itu siapa?"
Jihan mengedipkan matanya beberapa kali. "Hah?"
"Gak usah pura pura kayak gitu deh." Jihan terkekeh.
"Jadi dia itu yang nolong aku pas di Anyer. Tapi aku tuh ga mau bunuh diri Pak. Itu lagi mendalami emosi di naskah. Dan dia malah narik aku. Emang agak tenggelam sih."
"Sedikit."
"Terus kenapa dicari? Bukannya ga suka ditolong?" Tanya Pak Harto bingung.
"Badannya bagus" Cicit Jihan.
Pak Harto tertawa terbahak bahak mendengar pernyataan Jihan. Hanya karena tubuh lelaki itu bagus. Ia pikir Jihan memiliki dendam.
"Aduh kamu itu ada ada aja. Sama Zidan aja tuh. Dia juga badannya bagus kok." Zidan langsung menegakkan tubuhnya dan pura pura melihat objek lain.
"Ogah."
"Denger denger dia itu pelukis terkenal. Karyanya banyak dibeli sama orang orang penting. Dan minggu depan dia mau menggelar pameran lukisan."
Jihan tersenyum penuh arti sambil menatap dokumen milik Deno.
------- To Be Continue ------