webnovel

Melisa [Cinta Pertama]

Melisa Aurelie gadis remaja yang tak bisa melupakan cinta pertamanya. Dion, terpaksa harus pindah ke luar kota karena mengurus sang Ibu yang tengah sakit. Menjalani cinta jarak jauh terasa berat, tapi tak pernah menjadi beban bagi Melisa. Dia yakin bisa melewati semua ini. Tapi itu hanya berlaku bagi Melisa saja. Suatu ketika Dion menghilang tanpa kabar, membuat hati Melisa hancur, dalam ketidak—pastian, akan tetapi gadis itu tetap menunggu Dion kembali. Hingga datang seorang pria dari masa lalu, dan mampu mengobati sakit hatinya. Namanya, Bagas, dia adalah teman masa kecil Melisa. Tapi di saat Melisa mulai melupakan Dion, serta sudah menetapkan hatinya untuk Bagas, di saat itu pula Dion datang kembali, dan membuat hati Melisa dirundung dilema.

Eva_Fingers · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
93 Chs

Waspada Dengan Pria Tampan

Elis berlari sambil meraih kembali tongkat besinya.

Dan ketiga pria bertubuh besar itu masih mengejarnya.

Menyadari hal itu, Elis berhenti sejenak.

"Kalian masih mau lawan aku?!" tanya Elis.

Lalu ketiga pria itu juga berhenti, dan salah satu pria memegangi kepalanya sambil bersenandung aneh.

"Woy! Kenapa malah nyanyi? Kita lagi ngejar orang bukan lagi konser!" bentak pria yang satunya pada pria yang sedang bersenandung.

Dan pria yang lainnya lagi berbicara kepada pria yang bertanya tadi. "Kayaknya otaknya udah oblak gara-gara kena pukulan tongkat besi tadi," ujar pria itu.

Akhirnya kedua pria itu mengurungkan niatnya untuk mengejar Elis. Karena mereka tidak mau memiliki nasib yang sama dengan pria yang tengah bersenandung.

Tidak apa-apa tidak mendapatakan uang dan malah mendapat ocehan dari Julian serta Sarah, yang terpenting mereka tetap waras.

Mereka pun membiarkan Elis pergi meninggalkan Klub Malam itu.

Dan tak lama terdengar mobil ambulan yang memasuki area Klub Malam. Elis menduga jika ambulans datang untuk membawa Julian ke rumah sakit.

***

Kurang lebih seperti itulah yang dialami oleh Elis tadi malam.

Setelah bercerita Elis masih menangis sesenggukan, dan Jeni kembali menyodorkan botol air mineralnya.

"Udah kamu minum dulu, biar tenang," ujar Jeni.

Elis mengangguk lalu meraih botol air mineral itu.

"Ih kurang ajar banget ya, si Jul, itu!" ujarku penuh emosi, "rasanya pengen banget gue blender mukanya biar jelek!" Tak sadar tanganku mengepal-ngepal dengan gigi gemertak.

"Gimana kalau kita langsung samperin aja si Julian!" usul Jeni, "terus kita gadoin bareng-bareng!" imbuhnya.

"Emangnya dia orek kentang, digadoin?" protes Elis.

Lalu dia menggelengkan kepalanya.

"Udah biarin aja, jangan buat masalah lagi sama mereka! Dan aku harap kalian mau merahasiakan masalah ini!" pinta Elis sambil menangis.

"Ya gak bisa gitu dong, El, si Julian itu udah hampir ngejual kamu!" ucapku.

"Iya! Kita harus laporin tuh Germo, ke Polisi!" imbuh Jeni.

"Waduh jangan!" pinta Elis lagi.

"Kenapa?" tanyaku, "kamu gak tega sama dia? Kamu masih sayang sama, Julian?" tanyaku lagi lebih jelas.

Elis menggelengkan kepalanya.

"Bukan itu masalahnya! Tapi gue gak mau Emak jadi khawatir kalau dengar masalah ini, apalagi sampai bawa-bawa Polisi! Lagian kalau sampai ke Kantor Polisi, pasti teman-teman satu sekolah bakalan tahu dan gue gak mau jadi bahan gosip mereka!" jelas Elis secara detail.

Akhirnya aku dan Jeni pun bisa memahaminya.

Aku dapat merasakan bagaimana sulitnya menjadi Elis, ini hampir sama kasusku dengan, si Mesum Dino! Hanya saja Dino tidak menjualku seperti Julian.

Tapi tindakan mereka sama-sama tindakan kriminal dan harus dibawa ke Pihak Berwajib, tapi kalau kami melapor, urusannya bisa bertambah panjang, dan akan timbul masalah baru.

Terutama bagi Elis, tentu dia tidak mau membuat sang Emak menajdi sedih.

Kalau sampai mendengar masalah yang menimpa anaknya pasti setelah ini Elis tidak akan diizinkan kost sendirian. Lagi pula kalau mendengar masalah sebesar ini, pasti penyakit asma Emak-nya Elis bisa kambuh. Lebih parahnya lagi Elis bisa menjadi bahan gosip satu sekolahan.

Tentu Elis tidak mau hari-harinya di sekolah akan dipenuhi pertanyaan-pertanyaan dari para teman-teman yang penasaran akan kasus ini. Baginya ini adalah trauma yang harus bisa segera dilupakan. Bukan malah diungkit dengan pertanyaan yang memaksanya harus bercerita dan mengingat ulang.

"Yaudah, El, kamu yang sabar ya," ucapku seraya mengusap-usap pundak Elis, kemudian aku dan Jeni memeluk Elis secara bersamaan.

Elis sekarang sudah tidak menangis lagi, dia tersenyum.

"Makasih ya, berkat kalian gue merasa lebih baik, gue gak sedih lagi," kata Elis.

Aku bersyukur meski Elis hampir dijual kepada pria Hidung Belang, tapi setidaknya dia bisa lolos, dan sekarang dia sudah tahu siapa Julian yang sebenarnya.

Ternyata kekhawatiranku dan Jeni itu benar-benar menjadi kenyataan.

Sejak awal kami melihat Julian, aku dan Jeni merasa ada sesuatu yang aneh terhadap pria itu. Dan ternyata benar, dia memiliki rencana buruk terhadap Elis.

Hanya saja, sejak awal Elis tak pernah menyadarinya jika Julian itu memiliki niat buruk terhadapnya.

Cinta telah mengubah segalanya, termasuk mengubah firasat buruk menjadi baik, bahkan menutupi firasat buruk itu menjadi sesuatu yang indah dalam pandangan mata.

Dari kejadian yang telah menimpa Elis aku bisa menyimpulkan, bahwa kita tidak boleh menilai hati orang dari penampilan dan wajahnya saja.

Dan wajah tampan itu tidak menjamin hatinya baik.

Jadi pada intinya kita tidak boleh memiliki pikiran seperti Elis.

Dia pernah berkata jika, 'tidak perlu curiga sama orang ganteng!' justeru memiliki pacar yang tampan itu patut waspada.

Karena terkadang mata kita akan silau oleh ketampanan pria tersebut, dan melupakan jika ada kemungkinan pria itu memiliki niat buruk.

Bicara soal wajah tampaan aku jadi ingat dengan Bagas, dia juga tampan, 'kan?

Apa jangan-jangan dia juga memiliki niat buruk seperti Julian?

Ah ... kalau ini sepertinya aku saja yang terlalu berlebihan.

Aku, 'kan sudah mengenal Bagas sejak kecil!

"Mel, kamu ngelamunin apa sih!" bentak Jeni.

Seketika aku mengerjapkan mata dengan cepat, reflek.

"Enggak!" sahutku.

"Jangan bilang kamu masih mikirin Dion ya?" tanya Jeni dengan nada mengintimidasi.

"Ih, enggak!" jawabku dengan tegas, "aku mikirin, Bagas, kok!" sahutku yang keceplosan.

"Bagas?!" Jeni dan Elis menyebut nama Bagas dengan kompak.

"Upps!" Aku segera menutup mulutku dengan kedua tangan.

"Ciye, roman-romannya ada yang mulai naksir sama Bagas nih," sindir Elis.

"Ehm!" Jeni berdehem sambil menahan tawa.

"Ih, kalian ngapain sih?"

"Udah ngaku aja, Mel! Aku, dan Jeni, setuju banget kok kalau kamu pacaran sama, Bagas!" ujar Elis.

"Apa yang dibilang sama Elis itu bener banget, Mel!" imbuh Jeni.

"Tapi aku sama Bagas itu—"

"Apa! Kamu pasti mau bilang kalau kamu cuman temenan doang sama Bagas?" tebak Elis memotong pembicaraanku.

"Bukan begitu, El! Tapi si Bagas itu sekarang udah punya pacar tahu!" ujarku.

"Hah?!" Jeni dan Elis berteriak kompak.

"Kamu serius, Mel?" tanya Jeni memastikan.

"Seriuslah, dan pacar Bagas saat ini juga temanku yang ada di sana," jawabku, "namanya Laras," jelasku pada mereka.

Jeni menggelengkan kepala dengan ekspresi kecewa.

"Aduh sayang banget ya, padahal aku udah seneng banget loh, kalau lihat kamu dekat sama Bagas," ujar Jeni, "eh malah Bagas-nya, udah punya pacar!"

"Elu sih, Mel! Pakek acara sok-sokan jual mahal dari Bagas, padahal gua tahu kok, kalau elu itu sebenarnya suka, 'kan sama, Bagas?" tebak Elis.

"Ih, sok tahu banget deh, El! Lagian darimana kamu tahu kalau aku suka sama, Bagas?" tanyaku pada Elis.

"Ya tahulah, dari gelagat elu aja udah kelihatan!" jawab Elis.

Bersambung ....