webnovel

Melisa [Cinta Pertama]

Melisa Aurelie gadis remaja yang tak bisa melupakan cinta pertamanya. Dion, terpaksa harus pindah ke luar kota karena mengurus sang Ibu yang tengah sakit. Menjalani cinta jarak jauh terasa berat, tapi tak pernah menjadi beban bagi Melisa. Dia yakin bisa melewati semua ini. Tapi itu hanya berlaku bagi Melisa saja. Suatu ketika Dion menghilang tanpa kabar, membuat hati Melisa hancur, dalam ketidak—pastian, akan tetapi gadis itu tetap menunggu Dion kembali. Hingga datang seorang pria dari masa lalu, dan mampu mengobati sakit hatinya. Namanya, Bagas, dia adalah teman masa kecil Melisa. Tapi di saat Melisa mulai melupakan Dion, serta sudah menetapkan hatinya untuk Bagas, di saat itu pula Dion datang kembali, dan membuat hati Melisa dirundung dilema.

Eva_Fingers · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
93 Chs

Tidak Enak Hati

Aku yakin jika saat ini Bagas tengah bersedih karena baru saja kehilangan kucingnya.

Aku juga turut bersedih, segera kutekan tombol 'calling' dan aku menyingkir dari Jeni dan Elis.

"Mel! Kamu mau kemana?" tanya Elis.

"Gue ada urusan bentar!" sahutku.

Aku duduk di taman belakang, tempat tadi pagi saat mengobrol bersama Elis dan Jeni.

Tak lama panggilan telepon pun tersambung.

[Halo, ada apa, Mbak?] sapa Bagas.

"Hai, Gas, maaf ya, baru sempat telepon," ujarku.

[Iya, Mbak, gak apa-apa kok, Mbak Mel, mau telepon begini aja aku udah seneng banget, tadi aku pikir Mbak Mel, gak bakalan telepon balik kerena sudah tidak peduli,] tutur Bagas.

"Duh, kamu pasti kesel banget ya, Gas? Gara-gara aku gak balas pesan sama gak angkat telepon kamu?" tanyaku pada Bagas.

[Yah, awalnya aku mau marah kalau sampai, Mbak Mel, bener-bener gak ada respon. Mellow itu, 'kan Anak Angkat kita, Mbak! Masak iya, Mbak Mel, gak peduli?] ujar Bagas.

Dan kalimat itu benar-benar membuatku tercengang.

"Sory, Gas! Kamu tadi ngomong apa, ya? Aku gak salah dengar, 'kan?" Aku bertanya untuk memastikan. "Kamu tadi bilang kalau Mel itu 'Anak Kita?!'"

[Loh, memang iya, Mbak! Aku udah anggap Mel, itu Anak Angkat kita,] jawab Bagas.

"Gas, kamu gak lagi stres, 'kan?" tanyaku pada Bagas.

[Ya enggak dong, Mbak!]

"Ya tapi aku gak punya Anak Angkat macam, Mel—"

[Mbak Mel, gak mau ngakuin kalau si Mellow itu anak angkat kita?] tanya Bagas dengan suara mengintimidasi.

"Ya enggaklah, gila kali!"

[Ok, kalo begini carannya aku benaran marah, Mbak! Karena, Mbak Mel, itu udah keterlaluan banget,] sengut Bagas.

"Eh, bukanya begitu, Gas! Meski aku gak anggap dia sebagai Anak Ang—"

[Mbak Mel, emang dari dulu gak pernah ngerawat, Mellow, makanya Mbak Mel, gak peka sama, Mellow!]

"Gas! Jangan marah dong, aku ini cuman—"

[Udah, Mbak! Aku gak mau ngobrol sama, Mbak Mel, lagi!]

Bagas menutup teleponnya.

Mendadak aku jadi tidak enak hati karena membuat Bagas tersinggung dan marah. Padahal aku tadi ingin berkata kalau aku memang tidak menganggap Mellow sebagai Anak Angkat, tapi meski begitu aku ini juga menyayangi, Mel alias Mellow, si Kucing itu.

Tapi Bagas malah sudah terlanjur marah.

Aku bisa mengerti kalau dia sedang bersedih, dan menjadi mudah tersinggung seperti ini. Hanya saja aku bingung bagaimana cara membuatnya agar berhenti marah lagi kepadaku?

"Aduh, gimana ini? Aku telepon balik aja kali ya?"

Kembali kutekan tombol, 'call' untuk menghubungi Bagas.

Kali ini Bagas tidak mengangkat teleponnya.

Aku tadi benar-benar sangat bodoh dan tidak peka.

Harusnya saat Bagas berkata jika 'Mel, alias Mellow itu anak angkat aku dan Bagas' aku iya kan saja!

Dari pada urusannya menjadi panjang seperti ini.

Lagi pula juga tidak ada salahnya, 'kan?

Ini hanya sebatas perumpamaan, Bagas memang sudah merawat binatang itu sejak kecil hingga sedewasa ini. Aku tahu jika kucing itu sangat berharga bagi Bagas, aku dapat memahami kenapa Bagas semarah ini, karena aku tadi memang salah ....

Lalu kembali kubuka kunci layar, dan mengetik sebuah kalimat pesan untuk Bagas.

[Gas, aku minta maaf ya, aku sama sekali gak ada niat untuk menyinggung kamu. Aku turut berduka cita atas meninggalnya si Mellow, dan aku juga mendoakan Mellow, tenang di surga. Tolong kamu jangan marah lagi ya sama aku, please ....] tulisku dalam pesan itu.

Tak lama centang abu-abu dalam tulisan itu, sudah berubah menjadi biru, artinya Bagas sudah membacanya.

Tapi sayangnya tak ada balasan darinya, padahal aku sudah menunggunya.

Aku heran juga, padahal aku itu sedang berusaha menjauhi Bagas, tapi ... begitu Bagas marah kepadaku, malah aku merasa bingung? Aku tidak tenang, aku tidak enak hati.

"Ayo dong, Gas! Balas!" ujarku penuh harap.

Tapi tetap saja tidak ada balasan dari Bagas.

"Mel?" tetiak Jeni dan Elis secara kompak.

Mereka menghampiriku mungkin karena lama menungguku kembali kepada mereka, sehingga mereka sampai menghampiriku.

"Mel, elu kenapa sih?" tanya Jeni.

"Iya! Main ngibrit aja, kayak kucing abis gondol ikan cue!" imbuh Elis.

"Enggak, aku gak apa-apa kok!" sahutku sambil memasukkan ponsel kendalam saku.

"Elu, habis telepon siapa sih?" tanya Elis.

"Bagas!" jawabku.

"Wah, kalian masih sering telepon-teleponan? Jangan-jangan—"

"Huh, udah dong, El! Jangan nuduh yang enggak-enggak, deh!" sengutku.

"Gak apa-apa kali, Mel!" imbuh Jeni.

"Iya, apa kata Jeni bener, Mel! Kita ini seneng banget kalau elu deket lagi sama, Bagas!" sahut Elis.

"Iya, tapi masalahnya, si Bagas, lagi marah sama, gue, nih!" ujarku dengan bibir mengerucut.

"Hah? Marah sama elu?" tanya Elis

"Iya aku kesel banget!" sahutku agak ketus.

"Ya tapi marah gara-gara apa, Mel?" tanya Jeni.

"Marah gara-gara ...," Aku tidak mungkin bicara kepada Elis dan Jeni kalau Bagas marah gara-gara kucing.

Ini terdengar sepele, dan mereka pasti akan menertawakanku.

Akhirnya aku pun memilih tidak menceritakan saja kepada dua sahabatku ini.

"Ah, pokoknya dia marah, aja! Aku mau ke toilet dulu ya, Bye!" teriakku sambil berlalu pergi.

"Ih tuh, anak kenapa, sih?"

"Tahu tuh, El!"

"Bilangnya aja gak ada hubungan apa-apa sama Bagas, tapi kok cuman marahan, mukanya sampai drama begitu?" gumam Elis.

Mereka membicarakanku secara terang-terangan, sampai terdengar langsung di telingaku.

Tapi aku tak peduli, ini sudah sering terjadi. Kami itu tak pernah mengambil hati ucapan satu sama lain.

Kalau pun marah sudah terbiasa, tapi hanya sementara, dan dalam hitungan menit sudah berbaikan lagi. Kami menganggap ucapan menyebalkan sebagai angin lalu.

*****

Sebenarnya aku tidak pergi ke toilet, tetapi aku malah pergi ke perpustakaan untuk menghindari Elis dan Jeni.

Aku sedang mencari cara untuk membuat Bagas agar tidak marah kepadaku. Tapi bagaimana caranya?

Aku sudah meneleponnya berulang kali, dan aku juga sudah mengirim pesan tulisan, serta pesan suara. Tapi tak ada respon dari Bagas.

Hal ini mengingatkanku pada kejadian saat Dion mulai mengabaikanku.

Dan pastinya aku tidak mau hal ini terjadi lagi kepada Bagas.

Aku tak menyerah, dan kali ini kucoba menelepon Bagas lagi.

Tiba-tiba ada sebuah buku jatuh yang nyaris menimpa kepalaku.

Aku pun bergerak reflek dan ponselku jatuh.

Aku segera meraih benda pipih yang bagiku sangat berharga itu.

Saat aku meraihnya, ada sepasang kaki yang berdiri tepat di hadapanku.

Aku sepertinya mengenal siapa pemilik sepatu ini ....

Aku mengedarkan pandanganku ke atas.

"Dino?" ucapku dengan pelan.

Pria itu masih berdiri tegap, dan sekarang sedang menatapku dengan tajam.

Aku mulai deg-degan.

Bersambung ....