webnovel

Melisa [Cinta Pertama]

Melisa Aurelie gadis remaja yang tak bisa melupakan cinta pertamanya. Dion, terpaksa harus pindah ke luar kota karena mengurus sang Ibu yang tengah sakit. Menjalani cinta jarak jauh terasa berat, tapi tak pernah menjadi beban bagi Melisa. Dia yakin bisa melewati semua ini. Tapi itu hanya berlaku bagi Melisa saja. Suatu ketika Dion menghilang tanpa kabar, membuat hati Melisa hancur, dalam ketidak—pastian, akan tetapi gadis itu tetap menunggu Dion kembali. Hingga datang seorang pria dari masa lalu, dan mampu mengobati sakit hatinya. Namanya, Bagas, dia adalah teman masa kecil Melisa. Tapi di saat Melisa mulai melupakan Dion, serta sudah menetapkan hatinya untuk Bagas, di saat itu pula Dion datang kembali, dan membuat hati Melisa dirundung dilema.

Eva_Fingers · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
93 Chs

Pelukan

Ya Tuhan, Bagas marah kepadaku, aku jadi tidak enak kepadanya.

Dulu waktu kecil aku juga tidak berpamitan kepadanya saat pulang ke Jakarta, dan sekarang aku melakukan kesalahan yang sama.

Pasti dia sangat marah kepadaku, dan menganggap diriku ini gadis yang tidak punya hati, serta tak pernah menganggap Bagas sebagai teman.

Dia pergi meninggalkanku dengan wajah yang kesal, dan tanpa berpikir panjang aku segera mengejar Bagas.

"Bagas! Tunggu! Gas!" teriakku sambil engos-engosan.

Tapi Bagas tak menghiraukan panggilanku. Tak menyerah tetap kukejar Bagas, hingga tak sadar kakiku menginjak sebuah lubang, dan aku tersungkur. Remang-remang kulihat Bagas berjalan cepat mendekatiku, lalu dia menggendongku, setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi.

***

"Mbak Mel, bangun, Mbak!" ucap Bagas.

"Mel, bangun, Mel! Aduh gimana ini!" ucap Nenek.

"Ah, si Mel, pakek acara pingsan segala! Kalau begini caranya kita gak jadi pulang ke Jakarta!" gerutunya Tante Diani.

"Udah dong, Diani! Jangan ngomel mulu kasihan Mel, dia masih pingsan," ujar Kakek.

Dengan sagala cara mereka mencoba membangunkanku.

Dan perlahan aku merasakan hangatnya minyak kayu putih yang cairanya hampir masuk ke lubang hidung. Lamat-lamat Aku mendengar suara mereka yang sedang panik membangunkanku. Perlahan aku membuka mata dan melihat Kakek, Nenek, Tante, dan juga Bagas, tengah mengerubungiku di atas kasur.

"Mbak Mel, udah sadar?" tukas Bagas.

"Aduh, aku di mana sih?" Kucoba bangkit dengan kedua alis yang mengernyit, kupegang erat pelipis, astaga! Rasanya kepalaku sakit sekali.

Saat duduk tiba-tiba Bagas, memelukku.

"Mbak Mel, aku minta maaf ya, gara-gara aku Mbak Mel, sampai pingsan," tukas Bagas dengan raut yang menyesal.

Aku masih bingung karna aku baru saja terbangun.

Dan pelukan Bagas, membuatku merasa tak nyaman, terlebih dia memelukku di depan Nenek dan yang lainnya.

Ini anak benar-benar gak ada otak! Dia tidak malu memeluku di depan yang lainya.

Tapi aku tidak bisa marah sekarang, karna aku juga punya salah dengan Bagas, harusnya aku yang meminta maaf kepada Bagas, bukannya malah kebalikannya.

Tapi ya sudahlah ....

"Bagas, bisa lepasin pelukannya enggak? Aku engap," tukasku.

Dengan segera Bagas, melepaskan pelukannya.

"Maaf, Mbak!" ujar Bagas agak gugup. Sementara Tante dan yang lainnya melihat nanar kearahku dan Bagas.

Setelah itu aku dan Bagas saling memandang dengan canggung.

"Mel, sepertinya Bagas lagi pengen ngobrol sama kamu, Nenek dan yang lainnya biar pergi dulu ya," ucap Nenek.

"Loh, kenapa harus pergi? Kenapa kalian gak ikut ngobrol di sini?" protesku.

"Biarin kalian ngobrol dengan tenang, kalian itu, 'kan udah berteman sejak kecil, mungkin kalian bisa mengatakan salam perpisahan dulu," ucap Nenek.

"Tapi—"

"Mel, tahu enggak, kalau Bagas dulu sampai sakit lo, gara-gara kamu tinggal ke Jakarta tanpa pamit," jelas Nenek.

Tentu saja hal itu membuatku merasa kaget. Sampai segitunya Bagas terhadapku.

Akhirnya aku membiarkan mereka pergi dan tinggalah aku bersama Bagas di kamar ini.

Kini suasana mendadak senyap. Lalu Bagas mulai membuka percakapannya.

"Mbak Mel, sekali lagi aku minta maaf ya,"

Aku pun mengehela nafas sesaat. Dan kuucapkan pula permintaan maafku kepadanya.

"Bagas, aku yang salah. Karna aku lupa gak pamitan sama kamu, aku mengulangi kesalahan yang sama. Tapi semua itu bukan tanpa alasan, Gas," jelasku.

"Memangnya apa, alasan, Mbak Mel?" tanya Bagas.

Aku melanjutkan penjelasanku, walau terlihat agak canggung dalam raut wajahku.

"Dulu aku gak sempat pamitan sama kamu, karna dulu Papa-ku datang secara tiba-tiba, lalu mengajakku pulang secara mendadak. Dan kamu sedang tidak ada di rumah Nenek, aku tidak berani datang ke rumah Nenek-mu sendirian, rumahnya jauh," pungkasku.

"Iya, Mbak. Aku bisa mengerti. Aku yang berlebihan," Bagas menundukkan sesaat wajahnya.

"Dulu, aku gak punya teman Mbak, kedua orang tuaku berada di Jakarta, aku lebih sering dititipkan di rumah Nenek Sugiyem, selama di sana aku hanya bertema dengan Nenek Sugiyem saja, tidak ada teman sebaya yang mau mengajakku bermain, dan setelah bertemu dengan Mbak Mel, aku merasa sangat bahagia. Akhirnya aku punya teman sebaya, yah ... walaupun Mbak Mel, lebih tua dua tahu dariku, serta Mbak Mel sering menyuruh-nyuruhku ... tapi aku tak peduli, yang penting aku bisa merasakan bermain dengan teman sebaya. Aku menyukai Mbak Mel, karna Mbak Mel, menurutku sangat cantik dan keren. Dulu aku belum bisa berhitung, lalu Mbak Mel, mengajarkanku berhitung menggunakan bahasa Inggris. Saat aku bisa melakukannya, rasanya aku sangat bangga. Dan aku merasa sangat keren seperti Mbak Mel. Padahal aku baru bisa berhitung dari angka satu sampai sepuluh, itu saja dengan bahasa Inggris yang tidak jelas. Sejak saat itu aku mulai bergantung kepada Mbak Mel, apa yang aku lakukan selalu bertanya kepada, Mbak. Bahkan aku merasa seperti memliki kakak perempuan sungguhan. Tapi ternyata rasa bahagiaku sudah usai, dan Mbak Mel, pulang ke Jakarta tanpa memberitahuku. Aku hanya bisa menangis dengan kencang sambil mengejar mobil yang di tumpangi Mbak Mel. Tapi semua sia-sia, kaki kecilku tak mampu mengejar mobil yang melaju kencang itu. Yah ... akhinya aku menyerah." Tutur bagas begtu detail.

Dan cerita itu membuat hatiku ternyuh, rupanya dulu Bagas menganggapku begitu berharga, tapi aku malah menganggapnya sebagai anak kecil ingusan yang bisa disuruh-suruh. Aku memang kejam, tak punya hati.

"Terus setelah aku pulang, apa yang kamu lakukan?" tanyaku dengan kedua mata berkaca.

"Ya aku terus menangis Mbak. Nenek Sugiyem berusaha menenangkanku, beliau membelikanku permen, coklat, dan lain sebagainya. Tapi aku tetap menangis, hingga malam harinya badanku panas, aku dilarikan ke klinik terdekat karna mengalami demam tinggi," jelas Bagas.

Penjelasan itu semakin membuatku merasa bersalah terhadap Bagas, meski semua itu hanya cerita masa kecil, tapi tetap saja aku adalah anak nakal yang sangat keterlaluan.

Aku tidak tahu harus melekukan apa untuk menebus kesalahanku kepada Bagas.

Kalau dia masih anak usia 4 tahun pasti aku akan meminta maaf dan memberikannya permen. Tapi sekarang Bagas itu sudah dewasa, meski dia baru kelas 3 SMP, tapi tubuhnya yang tinggi besar dan sedikit kekar melebihi anak SMA? Lalu bagaiamana cara menebus kesalahanku kepadanya?

Tentu tidaklah mungkin hanya mengatakan maaf dengan membeli satu permen lolipop berbentuk kaki?

Aku tidak tahu harus meminta maaf dengan acra apa, akhirnya aku pun memeluk Bagas, dengan erat, sambil kubisikan kata 'maaf' di telinganya dan aku menangis haru.

Bersambung....

Kadang kita tak menyadari, jika kebahagiaan itu tercipta dari suatu hal yang sederhana.

Dan justeru menganggap semua itu tak berarti.

Padahal dibalik sesuatu yang kecil, kadang kita menemukan hal yang besar dan sangat berharga.

Melisa Aurelie ....