webnovel

Melisa [Cinta Pertama]

Melisa Aurelie gadis remaja yang tak bisa melupakan cinta pertamanya. Dion, terpaksa harus pindah ke luar kota karena mengurus sang Ibu yang tengah sakit. Menjalani cinta jarak jauh terasa berat, tapi tak pernah menjadi beban bagi Melisa. Dia yakin bisa melewati semua ini. Tapi itu hanya berlaku bagi Melisa saja. Suatu ketika Dion menghilang tanpa kabar, membuat hati Melisa hancur, dalam ketidak—pastian, akan tetapi gadis itu tetap menunggu Dion kembali. Hingga datang seorang pria dari masa lalu, dan mampu mengobati sakit hatinya. Namanya, Bagas, dia adalah teman masa kecil Melisa. Tapi di saat Melisa mulai melupakan Dion, serta sudah menetapkan hatinya untuk Bagas, di saat itu pula Dion datang kembali, dan membuat hati Melisa dirundung dilema.

Eva_Fingers · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
93 Chs

Menepati Janji

Hembusan angin pagi begitu lembut dengan percikan sinar mentari dari balik pohon rindang.

Aku baru saja terbangun.

Kokok ayam tetangga dan kicauan burung liar menandakan, jika sudah saatnya tersadar dari mimpi serta meninggalkan selimut tebal dan kasur empuk.

Tapi sayangnya aku masih belum siap membuka mata, walau aku sadar jika ini sudah pagi.

Rasa kantuk mengalahkan segalanya ... aku pura-pura tidur lagi saja. Masih terlalu malas....

Ring...!

Suara jam weaker yang memekik telinga, membuatku terbangun dari rasa kantuk yang teramat berat. 'terpaksa'

"Hoam... udah pagi aja ni," Aku duduk di atas kasur dengan raut wajah yang masih malas, rambut acak-acakan, serta berkali-kali terus menguap. Tak sengaja aku menoleh kearah foto pria yang terpajang di atas meja kamarku. Terlihat senyuman yang khas dari Dion, membuatku rindu.

"Dion hari ini lagi ngapain ya?"

Sekejap kuraih ponsel yang selalu kutaruh di dekat bantal, kemudian aku menelpon Dion.

beberapa detik kemudian video call tersambung.

"Hallo, Dion! Selamat pagi!" sapaku dengan ceria.

Dion pun tersenyum sepertinya dia juga baru bangun tidur.

"Halo, Pacarku, tumben pagi-pagi udah telepon kangen ya?"

"Ah tau aja udah kayak Dukun, hehe," godaku kepada Dion.

"Ih masa dibilang Dukun, sih? Aku ini bukan Dukun, tapi aku adalah Cenayan, di hatimu! Ciye...!" Lagi-lagi Dion menggodaku dangan gombalannya yang super garing, tapi entah mengapa gombalan itu yang selalu kunantikan.

"Gombal ah!" sengutku.

"Tapi suka,' kan?" Dion meledeku.

"Ih apaan sih!"

***

Hari ini tepat satu bulan sudah, aku berpacaran jarak jauh dengan Dion, meskipun begitu kami tetap saling berhubungan lewat dunia maya, aku sibuk dengan urusan sekolah di sini, dan Dion juga sibuk dengan urusannya di sana. Hidupnya lumayan berat, harus sekolah sembari menjaga sang ibu yang sedang sakit.

"Dion gimana kabar ibumu?"

"Yah begitulah, Mel, aku tidak yakin akan kesembuhan Ibuku," keluh Dion dengan wajah penuh putus asa.

"Dion, kamu yang sabar ya ... liburan semester ini aku janji akan ke Semarang, untuk menjenguk ibumu," ujarku.

Seketika tatapan Dion yang awalnya lemas berubah menjadi semangat.

"Serius, kamu akan ke Semarang!?" tanya Dion antusias.

"Iya, Dion. Sekalian aku mau jenguk Nenek,"

Dion tersenyum kepadaku, "Makasi ya, Mel, aku menunggu kedatanganmu," tukasnya sambil tersenyum bahagia, lalu kami mengakhiri obrolan kami, karna sebentar lagi harus bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah.

***

Tak terasa liburan semester pertama telah tiba.

Aku memenuhi janjiku kepada Dion.

Aku sudah bersiap untuk pergi ke Semarang bersama dengan Tante Diani, dia adalah Adik dari Papaku.

Tante Diani, ingin berkunjung ke rumah Nenek, sehingga aku pun memutuskam untuk pergi bersamanya. Lagi pula Nenek tinggal satu kelurahan dengan Ibu-nya Dion, hanya berbeda desa saja. Aku juga baru tahu akan hal ini, Dion baru bercerita.

Tentu saja aku sempat terkejut, dan timbul keinginan untuk pergi kesana. lagi pula sudah cukup lama aku tidak berjumpa dengan Nenek, sejak aku masih kecil dulu.

***

Kami berangkat dengan menumpangi bus jurusan Jakarta-Semarang. Terpaksa kami menaiki angkutan umum, karna Tante Diani, belum berani mengendarai mobil sendirian apa lagi perjalanan jauh begini.

****

Singkat cerita kami sudah sampai di salah satu terminal kota Semarang. Kami berhenti di sana dan melanjutkan perjalanan dengan menumpangi ojek.

Karna letak rumah Nenek tak jauh dari terminal.

***

"Akhirnya sampai juga di kampungku," Tante Diani menghela nafas lega, "itu rumah yang warna catnya hijau, rumah Nenek-mu lo, Mel!" kata Tante Diany sambil menunjuk kearah rumah sederhana.

"Wah beda banget ya, Tante! Perasaan dulu waktu Mel, masih kecil rumahnya gak kayak gitu deh! Kalau gak salah masih pakai bilik bambu!" ujarku yang masih pangling.

Lalu Tante Diani membalas ucapanku.

"Ya kali, Mel! Itu tahun kapan!?" sengutnya. "Makanya sering-sering main kerumah, Nenek, dong!" ujar Tante Diani memarahiku.

"Hehe... iya, Tante, tapi Mel, 'kan gak berani pergi sendirian, lagian rumah Nenek, 'kan jauh, kalau dekat pasti Mel, samperin!" tukasku sambil nyengir tak berdosa .

"Ah, alasan aja! Sekarang aja kalau bukan karna Dion, pasti juga gak bakal ikut Tante kesini!"

"Ih, Tante, kok Mel malah digalakin sih?" keluhku sambil cemberut, dan Tante Diani mendengus kesal.

"Tau ah!"

***

Tok! Tok!

"Assalamu'alaikum" Tante Diani mengetuk pintu sembari mengucap salam.

Lalu terdengar suara orang membukakan pintu.

Ceklek!

"Walaikumsalam," Seorang wanita tua menyapa kami dengan ramah.

"Eh Diani! Eh... yang satu ini siapa ya?" Wanita tua itu tak menyadari jika aku adalah cucunya.

"Ih, Nenek jahat masa lupa sih sama, Mel," ucapku dengan wajah cemberut

"Hoho, Nenek bercanda, Mel! Masa iya, Nenek lupa sama cucu Nenek yang paling cantik ini!" ujarnya dengan tertawaan khas.

"Makasih, Nek! Udah bilang Mel, cantik!" sahutku agak narsis.

"Iya dong cucu Nenek memang cantik, wajahnya sama persis dengan wajah Nenek yang masih muda dulu!" ucap Nenek dengan penuh percaya diri.

"Asataga!" Aku dan Tante Diani tertawa lantang, "Nenek-nya, siapa sih ini?" ledekku.

Kucubit manja pipinya yang sudah keriput, "udah tua masih narsis aja ya,"

"Ya sudah ayo masuk Kakek-mu, sudah menunggu di dalam," ajak Nenek.

Lalu kami masuk kedalam rumah, dan disambut oleh Kakek dengan ramah. Kemudian kami mengobrol sambil minum teh hangat ditemani camilan khas kampung.

Sejenak aku teringat dengan Dion, karna tujuan awalku kemari memang ingin bertemu dengannya. Sambil menyeruput teh hangat buatan Nenek, aku berfikir dalam hati, setelah lelahku hilang, mungkin aku akan pergi ke rumah Dion. Tapi sekarang aku nikmati dulu kebersamaanku bersama Kenek dan Kakek. Aku tahu beliau sangat merindukanku.

"Mel, gimana nilai sekolahmu semester ini?" tanya Kakek.

"Alhamdulillah, Mel, dapat peringkat satu, Kek!" jawabku.

"Wah, bagus itu, Kakek bangga sama kamu. Terus tingkatkan prestasi ya, Mel! Nanti kalau kenaikan kelas kamu dapat peringkat satu lagi, Kakek akan memberimu hadiah," ujar Kakek menyemangatiku.

"Wah, beneran nih, Kek?!" tanyaku antusias.

"Yah benar dong!"

"Dengerin tuh, Mel! Pikirin prestasi juga, jangan malah mikirin cowok terus!" ledek Tante Diani.

"Apa? Cowok? Mel, udah punya pacar ya?" tanya Nenek yang penasaran.

"Ih, Nenek, kepo deh! Jangan dengerin, Tante Diani, dia itu suka hoax!" jawabku sambil melirik Tante dengan sinis.

"Emmm, hoax ya?" dungus Tante Diani dengan lirikan menyindir.

"Hoax, itu apa ya?" tanya Nenek dengan polosnya.

"Hoax itu, Nek, yang suka dibikin dodol, kalau di Jogja," jawab si Kakek ngasal.

"Ih, Kakek, ini ngacok deh! Itu mah salak, Kek! Bukan hoax!" sahut Nenek, lalu kami semua tertawa dengan lantang.

Kakek dan Nenekku ini memang senang bercanda, sehingga siapapun yang dekat dengan mereka pasti akan tertawa, karna ada saja hal, yang menjadi topik bercandaan mereka.

Bersambung....