webnovel

Melisa [Cinta Pertama]

Melisa Aurelie gadis remaja yang tak bisa melupakan cinta pertamanya. Dion, terpaksa harus pindah ke luar kota karena mengurus sang Ibu yang tengah sakit. Menjalani cinta jarak jauh terasa berat, tapi tak pernah menjadi beban bagi Melisa. Dia yakin bisa melewati semua ini. Tapi itu hanya berlaku bagi Melisa saja. Suatu ketika Dion menghilang tanpa kabar, membuat hati Melisa hancur, dalam ketidak—pastian, akan tetapi gadis itu tetap menunggu Dion kembali. Hingga datang seorang pria dari masa lalu, dan mampu mengobati sakit hatinya. Namanya, Bagas, dia adalah teman masa kecil Melisa. Tapi di saat Melisa mulai melupakan Dion, serta sudah menetapkan hatinya untuk Bagas, di saat itu pula Dion datang kembali, dan membuat hati Melisa dirundung dilema.

Eva_Fingers · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
93 Chs

Bukan Cemburu!

Esok harinya, seperti biasa aku selalu bangun pagi dan dilanjutkan berolahraga.

Di bawah pohon talok tepatnya, aku melakukan panasan.

Kuputar-putar kepalaku hingga beberapa kali, untuk melemaskan otot.

Lalu terdengar suara tak asing memanggilku.

"Mbak Mel,"

Aku menoleh ke belakang, dan Bagas sedang menatapku dengan tajam.

"Ada apa?" tanyaku agak ketus.

"Mbak Mel, marah ya sama aku?" "Enggak, ngapain marah? Kurang kerjaan banget!" sengutku.

Bagas tak bicara lagi, dan netranya masih memandang kearahku, dia duduk di ayunan.

Aku yang masih melakukan pemanasan kini merasa tak nyaman.

"Gas! Bisa enggak jangan lihatin aku!"

Bagas pun sedikit tersentak mendengar ucapanku.

"Mbak Mel, kenapa sih galak banget? Dan kenapa bentak-bentak saya?" ucap Bagas.

"Ya habisnya kamu lihatin aku begitu? Aku, 'kan jadi agak risih!" sahutnya.

"Mbak Mel, itu aneh!" cerca Bagas.

Tentu saja aku tak terima di bilang 'aneh' jelas-jelas selama ini yang aneh itu dia!

"Yang aneh itu kamu, Gas! Ngapain kamu kemarin main ngilang aja? Aku panggilin gak nyahut!"

Mendengar ocehanku Bagas terdiam sesaat, wajahnya terlihat kesal.

"Mbak Mel, itu brisik banget, kayak, Emak-emak! Udah berisik gak peka lagi!" Bagas menggerutu.

"Kamu ngomong apa sih, Gas? Aku gak ngerti!" sahutku.

Dan Bagas pun memilih kembali diam.

"Kamu semalam kamana?" tanyaku

"Pentas di kampung sebelah," jawab Bagas agak ketus.

"Owh! Asyik ya teman kamu banyak!" sindirku.

"Iyalah!"

"Emm! Pantes aja sampai nyuekin aku!"

"Mbak Mel, ngerasa dicuekin ya?"

"Iyalah!"

"'Iyalah' kalimat saya! Tolong jangan dipoto copy!" protes Bagas.

"Hemm!" Aku mendengus kesal dengan lubang hidung yang melebar.

"Mbak, semalam aku mau ngajakin, Mbak Mel! Tapi, Mbak Mel, malah main nyelonong aja!" ujarnya dengan raut wajah yang masih terlihat kesal. Tapi aku juga tak kalah kesal dengan Bagas.

Kalau semalam dia berniat mengajakku pergi, harusnya dia berbicara sejak awal!

Bukanya malah sok cuek dan asyik dengan para teman-temannya.

"Aku masuk ke kamar, karna aku lihat kamu lagi asik dengan teman-teman kamu! Lagian di sana, 'kan juga ada gebetan kamu, Gas!" ujarku.

"Gebetan?" Bagas menggaruk-garuk kepala, dia malah terlihat bingung.

"Iya, cewek yang semalam itu gebetan kamu, 'kan?" tanyaku memastikan.

"Maksudnya, Laras?" ucap Bagas.

"Mana gue tahu namanya siapa!"

"Mbak Mel, kok kayak kesel gitu sih? Mbak Mel, cemburu ya?" Dia malah menuduhku.

"What?!" Aku pun segera menyangkal tuduhan Bagas.

"Eh, dengar ya, Gas! Aku bukanya cemburu! Hanya saja aku masih menghargai kamu! Makanya aku pilih masuk kamar biar gak gangguin kamu yang lagi PDKT!" cantasku.

"Tapi aku sama, Laras, itu cuman—"

"Ah, masa bodo! Aku mau lari pagi!" centasku, dan aku pun meninggalkan Bagas begitu saja. Tanpa memberinya waktu untuk berbicara lagi.

Aku pun berlari berkeliling perkampungan ini.

Tampak beberapa orang memandangku dengan tatapan yang aneh. Mungkin mereka masih asing melihatku berada di kampung ini.

Aku pun menanggapinya dengan sabar, dan menyapa mereka dengan senyuman ramah. Dan satu per satu mereka yang berpapasan denganku juga membalas senyumanku. Kini aku mulai merasa nyaman.

Kulanjutkan perjalananku, hingga melewati rumah besar bercat biru.

Suasana kelihatan sepi. Aku duduk sesaat di bawah pohon rindang. Sambil mengatur pernafasan.

Tiba-tiba aku di kagetkan dengan suara anjing yang menggonggong tepat di belakangku.

'Guk! Guk!'

Aku menoleh dengan detak jantung yang hampir copot, rasanya hampir mirip dengan orang yang baru pertama ditembak gebetan, benar-benar deg-degan! Bedanya yang ini lebih menguras adrenalin. Tanpa berpikir panjang aku langsung berlari dan memanjat pohon besar yang ada di hadapanmu.

Gonggongan anjing itu seperti memberikan kekuatan dadakan pada tubuhku. Aku yang biasanya tak bisa memanjat mendadak sudah berada di atas pohon. Ini sesuatu yang ajaib, tapi sayangnya aku ... tidak tahu cara turunnya ... hik ....

Anjing berwarna hitam jenis bulldog ini masih setia menungguku di bawah pohon.

Ekspresinya benar-benar menyeramkan!

Aku menyesal sudah meninggalkan Bagas tadi, apa ini yang namanya kualat?

"Aduh, gimana dong? Anjingnya gak mau pergi! Dan aku juga gak bisa turun?" gumamku yang panik.

"Ini anjing siapa sih? Kenapa anjing galak, dan bermulut lebar yang menyeramkan ini di biarkan berkeliaran!?"

"Siapa pemiliknya!? Aku harus minta ganti rugi!" Aku merutuk sejadi-jadinya.

Dan tak lama keluar seseorang dari dalam rumah besar itu.

"Bruno! Bruno!" teriaknya memanggil si anjing peliharaan.

Dan makluk yang menggonggongiku di bawah pohon itu pun menghampirinya.

Ah, syukurkah aku merasa tenang, anjing itu sudah menjauh dariku. Dan yang menjadi masalah saat ini adalah ....

"Gimana cara turunya ...?"

Aku mengusap dan menggaruk kepala dengan gemas, stres rasanya karna tidak bisa turun.

Tak lama si pemilik rumah membawakan tangga untukku. Aku bisa melihat wajah gadis itu lebih dekat, dan ternyata dia adalah gadis yang bernama 'Laras' temannya Bagas.

'Astaga! Dunia sempit sekali ...!'

"Ayo, Mbak! Turun!" serunya.

Dan dengan kaki yang bergetar aku menuruni tangga.

"Hufft ... alhamdulillah ...," Aku dapat bernafas lega. Akhirnya aku bisa turun.

"Terima kasih ya, Laras!" ucapku.

"Loh kok, Mbak-nya bisa tau nama saya?" Gadis itu tampak bingung.

"Iya dong, kamu temannya Bagas, 'kan?" tanyaku.

"Iya," Dia menganggukkan kepala, "ah saya juga ingat, Mbak-nya, tetangga samping rumahnya Bagas, ya?"

"Iya," jawabku.

"Eh, Mbak! Ayo masuk ke rumah! Nanti tak bikinin kopi, teh, atau Mbak-nya mau minum apa?" ucapnya antusias. Dan sepertinya Laras memang gadis yang baik, pantas saja Bagas, tergila-gila kepadanya.

Awalnya aku ingin menolak ajakan Laras, mengingat anjing jenis bulldog yang masih ada di dalam rumahnya

Tapi Laras terus memaksaku. Akhirnya aku pun menerima ajaknya. Dengan perasaan yang was-was aku memasuki rumah dan melirik sesaat ke arah si Bruno yang masih terikat dengan rantai.

"Aduh, serem,"

"Udah gak apa-apa, Mbak, Bruno emang begitu kalau belum kenal, aslinya baik dan menggemaskan kok," bicara Laras dengan santai.

'Menggemaskan pala lu empuk!' batinku.

Lalu kami mengobrol di sofa, dan sesuai janji Laras membuatkanku secangkir kopi hitam. Entah mengapa aku merasa mirip Dukun ....

"Mbak Mel, temenan sama Bagas dari kecil ya?" tanya Laras.

"Iya," jawabku, "kok kamu tahu?" tanyaku.

"Iya, Bagas, sering cerita soal, Mbak Mel," jawabnya, "Bagas, itu orangnya kayak gimana sih, Mbak?"

"Baik kok," jawabku singkat.

Dan Laras terus melontarkan berbagai pertanyaan kepadaku tentang Bagas, terlihat jelas gadis ini memang tertarik dengan Bagas.

"Mbak, kira-kira Bagas, itu udah punya pacar belum ya?" tanya Laras.

"Gak tahu juga sih, tapi kayaknya masih jomblo,"

"Ah, yang bener? Masa cowok seganteng Bagas, masih jomblo?"

"Setahuku sih gitu!"

"Kalau, Mbak Mel, udah punya pacar belum?"

Mendengarnya ... aku langsung mendengus kesal, ini pertanyaan yang kubenci. karna pertanyaan itu mengingatkanku pada Dion.

Dan membuatku merasa menjadi wanita yang menyedihkan, karna ditinggal lenyap tanpa kabar.

Bersambung....