webnovel

Melisa [Cinta Pertama]

Melisa Aurelie gadis remaja yang tak bisa melupakan cinta pertamanya. Dion, terpaksa harus pindah ke luar kota karena mengurus sang Ibu yang tengah sakit. Menjalani cinta jarak jauh terasa berat, tapi tak pernah menjadi beban bagi Melisa. Dia yakin bisa melewati semua ini. Tapi itu hanya berlaku bagi Melisa saja. Suatu ketika Dion menghilang tanpa kabar, membuat hati Melisa hancur, dalam ketidak—pastian, akan tetapi gadis itu tetap menunggu Dion kembali. Hingga datang seorang pria dari masa lalu, dan mampu mengobati sakit hatinya. Namanya, Bagas, dia adalah teman masa kecil Melisa. Tapi di saat Melisa mulai melupakan Dion, serta sudah menetapkan hatinya untuk Bagas, di saat itu pula Dion datang kembali, dan membuat hati Melisa dirundung dilema.

Eva_Fingers · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
93 Chs

Bertemu Dino Lagi

Kali ini aku sedang duduk di restoran milik teman Tante Diani.

Masakan di sini lumayan enak, dan tentunya gratis, hehe....

Aku sedang menyantap rendang yang ada di hadapanku, sementara Tante Diani sedang asyik mengobrol bersama temannya itu.

Namanya Tante Lusi, dia wanita berdarah Minang, tapi sudah sejak kecil menetapkan di Jakarta bersama dengan orang tuanya.

Dan sekarang beliau membuka usaha baru yaitu restoran padang.

"Mel, gimana enak enggak?" tanya Tante Lusi kepadaku.

Aku pun mengangguk penuh semangat.

"Enak, Tante!" sahutku.

"Yaudah, nambah lagi gih, mumpung masih gratis lo!" kata Tante Lusi sambil tersenyum meledek.

"Iya, Tante! Siap!" sahutku seraya berformasi hormat.

Aku melanjutkan makan, kemudian Tante Lusi dan Tante Diani juga kembali asik mengobrol lagi.

Dan tak lama aku mendengar suara anak lelaki yang tak asing di telingaku.

"Tante Lusi!"

"Eh, kamu! Kok baru datang sih?"

"Macet, Tante!"

'Kok suranya mirip suara?" Aku mengangkat wajahku dan melihat kearah pria itu.

"Dino?" ucapku reflek.

"Me-li-sa?" sahut Dino dengan suara terbata-bata.

Kami saling pandang dan suasana mendadak canggung.

"Eh, kalian udah saling kenal?" tanya Tante Lusi.

Sementara Tante Diani, sudah mulai terpancing emosi, hidungnya kembang-kempis tak karuan. Tangan Tante Diani sudah mengepal-ngepak penuh emosi.

Aku tahu jika sebentar lagi Tante akan menggebrak meja lalu dia akan menghajar Dino habis-habisan. Ini karena dia yang sudah tahu jika Dino adalah pria yang sudak menculikku.

Langsung kupegang saja tangan Tante Diani, dan kutarik sedikit kepalanya agar lebih mendekat.

Dan aku berbisik, "Tante, udah jangan bikin keributan," ucapku.

"Tapi, dia itu, 'kan—"

"Ssst, Mel tahu, Tante, tapi sekarang itu, Mel, udah baikkan sama, Dino," jelasku pada Tante Diani.

"Kamu ini apa-apaan sih, Mel! Kanapa main baikkan aja?"

"Udah, Tante, ceritanya panjang. Lagian kalau sampai Tante berantem sama Dino, hubungan Tante Diani, sama Tante Lusi, juga bakalan berpengaruh," ujarku menasehati Tante Diani.

Akhirnya wanita ini mau mendengar ucapanku.

"Iya, juga ya," ujarnya sambil manggut-manggut. Secara perlahan emosi Tante Diani mulai redam.

Walau terkadang setiap menangkap wajah Dino, kedua mata Tante reflek seperti mau copot.

"Kalian, lagi ngomongin apa sih? Kok kayak serius begitu?" tanya Tante Lusi.

Aku dan Tante Diani langsung menggelengkan kepala dengan kompak.

"Gak ada apa-apa kok, Tante," jawabku.

"Dino! Sini duduk bareng kita!" ajak Tante Lusi.

"Aku duduk di sana aja ya, Tante!" ujar Dino seraya menunjuk kearah bangku kosong.

"Ih, kenapa? Mending kamu duduk di sini aja!" paksa Tante Lusi.

"Tapi—" Tante Lusi memotong kalimat Dino dan meminta pria itu agar mau duduk di sampingnya.

"Udah, duduk di sini aja! Deketan sama Tante, dan, Melisa!" ujar Tante Lusi.

Dan Dino pun akhirnya menuruti perintah Tante Lusi, meski aku tau dia itu tidak mau duduk berdekatan denganku.

Terlihat sekali dari wajah pucat serta raut ketakutannya.

Aku yakin dia masih memikirkan tentang teman hantuku itu.

Aku hampir saja tertawa, tapi kalau aku tertawa nanti yang lain akan heran, dan menganggap aku sebagai gadis yang aneh.

Tapi melihat ekspresi Dino itu benar-benar seakan mengocok isi perutku.

Kadang aku berpikir bagaimana ada, pria sebodoh ini, yang percaya saja dengan omong kosongku tentang teman hantu.

"Ehm! Hai, Dino," sapaku dengan ramah.

"Ha-ha-hai, Mel," sapa balik Dino dengan suara yang lagi-lagi terbata-bata.

"Dino kemarin kata—" Dino memotong kalimatku.

"Mel, jangan cerita tentang teman hantu ya, please," pinta Dino dengan suara pelan.

"Hehe, i-i-ya deh," jawabku.

"Wah, Tante gak tahu lo, kalau ternyata kalian itu saling mengenal," ujar Tante Lusi.

"Iya, Tante, kami ini satu sekolah," sahutku.

"Wah, seneng banget ternyata keponkan aku kenal sama keponakan kamu, Di," ujar Tante Lusi pada Tante Diani, sedangkan Tante Diani menanggapi ucapan Tante Lusi dengan senyuman yang terpaksa.

Kami duduk dalam satu meja sambil menyantap makanan yang tersedia, sedangkan Tante Lusi dan Tante Diani, sejak tadi mengobrol tanpa henti.

Aku dan Dino, hanya diam dan menjadi pendengar bagi kedua wanita itu.

Kami tak mengobrol sama sekali, sebenarnya aku ingin mengajak Dino mengobrol, tapi pria itu berusaha untuk menolaknya.

Ya walaupun tidak menolak secara terang-terangan. Dia menolaknya secara halus. Dengan cara mengalihkan topik, atau dengan alasan yang lainnya.

Aku sangat bersyukur Tante Diani mengajakku ketempat ini.

Kegalauan di hatiku dapat berkurang. Walau setiap aku mengingat Bagas, satu ketenangan dalam pikiranku seakan hilang.

'Astaga, Bagas! Aku harap kamu gak menepati ucapan kamu itu, dan aku juga berharap, kamu masih mau menghubungiku lagi,' bicaraku di dalam hati.

*****

3 minggu telah berlalu. Ternyata apa yang dikatakan Bagas waktu itu benar.

Dia benar-benar tidak menghubungiku lagi.

Harusnya aku bahagia akan hal ini. Kerena itu artinya Bagas sudah melupakanku. Tetapi entah mengapa hatiku malah terasa kosong, hampa, dan galau ....

Aku mengotak-atik ponselku.

Scroll layar ponsel dari atas—kebawah. Kemudian kuulangi lagi.

Tapi tak ada keajaiban yang tercipta, keajaiban yang kumaksud yaitu, Bagas akan menghubungiku.

Tapi ... ah sudahlah ....

Huft ....

Ini balasan atas kemunafikanku yang tidak mau mengakui perasaanku sendiri.

Aku pun mulai membuka media sosial, untuk mengusir rasa jenuhku.

Memang beberapa hari ini aku tidak membuka akun instagramku.

Aku terlalu sibuk mengerjakan pekerjaan sekolah, dan sesekali pergi dengan Jeni serta Elis.

Aku lebih sering membuka Whatsapp saja. Itu pun jarang juga melihat Story teman-teman kontakku.

Setelah aku membuka aplikasi Instagram di ponselku, aku langsung di sambut foto mesra kebersamaan Laras dan Bagas.

Kali ini Laras yang meng-upload foto itu.

Tampak mereka yang sedang berada di sebuah kafe dan tangan Laras merangkul pundak Bagas.

Keduanya tampak tersenyum bahagia.

Kutekan tombol cinta dalam foto mereka, sebagai tanda bahwa aku menyukai foto ini, walau sejujurnya aku tak menyukai sama sekali.

Justeru, hatiku seperti teriris pisau saat melihatnya. Sakit!

Tapi yasudahlah, anggap saja jika apa yang aku lakukan tadi untuk melengkapi sikap kemufikanku ini. Hmm! Kalau sakit biar sekalian sakit.

Hayati, iklas, Bang! hik....

"Huft ... kok di sini aku, beneran sakit ya?" gumamku seraya mengusap-usap bagian tengah dada, tepat di mana organ hati berada.

Ku scroll lagi layar ponsel ke bawah, melihat foto selanjutnya.

Dan muncul hal, yang sungguh menambah kegalauanku.

Kali ini Bagas yang meng-upload foto kebersamaannya dengan Laras.

Mereka sedang berada di atas panggung, dan tengah membawakan sebuah lagu bersama.

Mereka terlihat sangat serasi, aku semakin iri.

Kalau seandainya foto Laras digantikan dengan fotoku mungkin tidak sebagus ini.

Apa lagi dengan kenyataan suaraku yang sangat jelek ini.

Bersambung ....