webnovel

Melisa [Cinta Pertama]

Melisa Aurelie gadis remaja yang tak bisa melupakan cinta pertamanya. Dion, terpaksa harus pindah ke luar kota karena mengurus sang Ibu yang tengah sakit. Menjalani cinta jarak jauh terasa berat, tapi tak pernah menjadi beban bagi Melisa. Dia yakin bisa melewati semua ini. Tapi itu hanya berlaku bagi Melisa saja. Suatu ketika Dion menghilang tanpa kabar, membuat hati Melisa hancur, dalam ketidak—pastian, akan tetapi gadis itu tetap menunggu Dion kembali. Hingga datang seorang pria dari masa lalu, dan mampu mengobati sakit hatinya. Namanya, Bagas, dia adalah teman masa kecil Melisa. Tapi di saat Melisa mulai melupakan Dion, serta sudah menetapkan hatinya untuk Bagas, di saat itu pula Dion datang kembali, dan membuat hati Melisa dirundung dilema.

Eva_Fingers · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
93 Chs

Belum Siap Cemburu

"Mel! Buruan, Sayang!" teriak Mama yang sudah bersiap di depan mobil, dan Papa sudah berada di depan kemudinya.

Sedangkan aku baru saja keluar sambil membawa koper besar berisi pakaian dan barang-barangku yang lainnya.

"Ayo cepat, Sayang! Lama amat deh!" ujar Mama.

"Sabar Ma! Ini berat banget!" keluhku sambil menyeret koper besar itu.

"Ma, bantuin, Melisa dong, Ma! Kasihan itu berat," ujar Papa.

"Eh, iya juga ya," Mama pun langsung menghampiriku. Dan Mama membantuku memasukkan koper ke dalam mobil. Setelah itu mobil mulai berjalan menuju kota Semarang.

***

"Mel, Mama kok tiba-tiba jadi kepikiran sama, Bagas, ya?" ujar Mama yang seakan menyentak gendang telingaku.

Aku yang awalnya hampir tertidur tiba-tiba terbangun.

"Kenapa, Mama, mendadak jadi nyebut-nyebut nama Bagas, sih?" tanyaku.

"Kok, kamu jadi heboh banget sih, Mel? Mama, 'kan cuman ngomongin Bagas, kok kamu kayak antusias begitu?"

"Eh, ya engak sih ... cuman Mel kaget aja," Bicaraku mendadak canggung. "Memangnya, Mama, kepikiran apa soal, Bagas?" tanyaku.

"Ya, Mama kepikiran aja, karena rumah Bagas itu bersebelahan sama rumah Nenek, yang artinya kamu bakalan ketemu lagi sama

Bagas," ujar Mama.

"Iya, tapi apa hubungannya, Ma?" tanyaku yang masih tidak mengerti.

"Ya hubungannya, kalian bisa bertemu dan kemungkinan kalian bisa dekat, terus cita-cita Mama untuk punya calon mantu seganteng Bagas, bisa cepat terealisasikan," pungkas Mama dengan santai. Beliau benar-benar tidak tahu jika apa yang telah diucapkan itu adalah beban bagiku.

"Ih, apaan sih, Ma!" keluhku dengan bibir mengerucut.

"Ya namanya juga berharap, Mel! Emangnya Mama salah?" sahut Mama.

"Ya tapi kejauhan, Ma? Mel ini masih anak SMA!" protesku.

"Lah, emang kenapa, kalau masih anak SMA? Kamu bentar lagi juga kelas 3 dan setelah lulus juga kuliah, lulus kuliah kamu mau nikah, 'kan?" tanya Mama.

Aku menggelengkan kepalaku sambil mengelus dada.

"Mel, lulus kuliah masih mau berkarir, Ma!"

"Ya tapi berkarir bisa sambil menikah kok, Mel!"

"Tapi, Ma! Kenapa harus dengan Bagas sih, Ma?"

"Lah, emangnya kenapa kalau, Bagas? Dia ganteng, cerdas, pintar cari uang, udah gitu keren lagi!"

"Ya tapi—"

"Mel, Mama itu kepengen punya menantu yang ganteng kayak Bagas, supaya cucu Mama nanti kalau cowok jadinya ganteng juga!" Kata-kata Mama semakin meracau sampai ke Negri Antah-berantah. Membuat kepalaku semakin pusing. Aku tidak tahu harus bagaimana menghadapi Mama, 'gak dilawan kebangetan, tapi kalau dilawan, bisa kualat,'

"Aduh, Ma! Please, jangan ngomongi Bagas ya," ujarku dengan pelan karena sudah mulai lelah.

Mama memang sejak awal bertemu dengan Bagas, beliau sangat menyukai Bagas. Bahkan Mama juga menginginkanku untuk berpacaran dengan Bagas.

Tetapi yang menjadi masalahnya sekarang adalah ....

Bagas sudah bersama Laras.

"Udah dong, kalian ini bisa enggak sih, gak usah ribut di mobil?" ujar Papa yang melerai perdebatan kami.

"Tahu nih, Mama sih, Pa!" Aku langsung menyalahkan Mama.

"Ih, kok jadi nyalahin Mama sih!" sahut Mama yang tak terima.

"Mama, udah dong, jangan gangguin, Mel. Mama, ini kekanak-kanakan banget deh," ujar Papa.

Aku bersyukur Papa membelaku.

"Wah, makasi, Pa! Mama, memang nakal banget, kayak anak kecil hiperaktif!" ujarku seraya melirik Mama dengan sedikit meledek. Mama pun tak tinggal diam, tangannya yang lembut itu mulai meraba bagian kepalaku.

Kemudian dia menarik daun telingaku dengan ekspresi penuh intimidasi.

"Siapa tadi yang, hiperaktif?" sindir Mama.

"Ma-maf, Ma," ucap sambil tersenyum penuh penyesalan.

"Ma, udah dong!" kata Papa.

Dan pertikaian kami diakhiri dengan tidur di kursi masing-masing.

Malam ini Papa harus bergadang karena menyetir, sementara aku dan Mama tidur dengan durasi yang tidak bisa ditentukan.

*****

Mataku terbuka saat mentari pagi kembali menyapaku.

Bedanya kali ini aku masih berada di dalam mobil.

Papa masih sibuk mengendarai mobilnya, sementara Mama masih merapikan riasannya.

"Ma, kok udah pakek bedak aja? Emangnya Mama, udah mandi?" tanyaku iseng-iseng.

"Belum sih, tapi Mama udah cuci muka di pom bensin tadi," jawab Mama.

"Ih, belum mandi udah dandan," cercaku.

"Ih, gak apa-apa dong! Biar belum mandi tapi muka harus tetap cetar!" jawab Mama dengan penuh percaya diri.

"I...ya, deh ...." Sahutku mengakhiri obrolan, tak mau aku jika urusannya akan bertambah panjang.

***

Beberapa menit kemudian, kami sampai dirumah Nenek.

Perjalanan yang cukup lama dan memakan waktu berjam-jam, tapi bagiku terasa begitu singkat.

Karena hampir sepanjang perjalanan aku hanya tertidur. Dan begitu bangun rupanya sudah sampai hehe....

Pantas saja Mama selalu mengatakan kalimat yang sama, saat dia sedang kesal dengan kebiasaan tidurku yang mirip orang mati ini.

'Mel, kamu itu kalau tidur udah kayak, kebo, ya!'

'Mel, kamu itu kalau tidur udah gak ingat apa-apa, sampai lupa dunia!'

'Mel, kamu tidur apa pingsan?!'

Kira-kira itulah ucapan yang selalu keluar dari mulut Mama untukku. Benar-benar gak ada manis-manisnya.

Ceklek!

Aku membuka pintu mobil dan segera berlari menghampiri Nenek.

Beliau sudah menunggu di depan pintu.

"Nek, Mel, kangen," ujarku seraya memeluk Nenek.

"Sama, Mel, Nenek juga kangen," jawab Nenek.

"Kakek, ada di mana, Nek?" tanyaku.

"Kakek, lagi nongkrong di toilet," jawab Nenek. Benar-benar jawaban yang merusak momen.

"Yaudah, ayo masuk, Mel! Nenek udah buatin masakan kesukaan kamu," ujar Nenek.

"Ok, dengan senang hati, Nek! Kebetulan perut Mel udah bunyi dari tadi, hehe!" jawabku penuh semangat.

"Kasian, cucunya Nenek," kata Nenek seraya mengelus rambutku.

Aku memasuki rumah Nenek, sesaat aku berhenti lalu melirik ke arah rumah Bagas.

Aku mendapati motor metik yang sedang terparkir di depan rumahnya.

'Itu, 'kan motornya, Laras?' bicaraku di dalam hati.

Aku pun melanjutkan langkahku untuk masuk ke dalam rumah.

Baru melihat motornya Laras saja hatiku terasa panas, bagaimana kalau aku melihat mereka berduaan secara langsung?

Dan aku harus menutupi rasa cemburuku itu dengan sebuah senyuman, yang melambangkan sebuah keikhlasan.

Huff ... berat.

Kemunafikan yang kubuat sendiri, kini harus kunikmati hasilnya.

Aku harus menahan siksa batin karena harus merelakan Bagas.

Rela di luar, tapi di dalam hatiku tidak rela.

"Mel, makan yang banyak ya, Nenek udah bela-belain bangun pagi-pagi banget lo, demi bisa masakin makanan kesukaan kamu," ujar Nenek.

"Eh, iya, Nek! Tenang aja pasti, Mel habisin kok," sahutku.

Aku mulai menyendok nasi dan memakannya dengan lahap.

Tak sadar kedua mataku mengeluarkan cairan bening, karena memikirkan Bagas yang sudah benar-benar sudah melupakanku.

"Mel, kok mata kamu berair? Kamu nangis ya?" tanya Mama.

"Enggak kok, Ma!" jawabku. "Masakan, Nenek, pedes!" ujarku.

"Pedas?" Mama dan Nenek saling memandang.

"Tapi, yang kamu makan itu cuman nasi doang, Mel! Belum pakek sayur?" protes Mama.

Bersambung ....