webnovel

Bab 8: Rival

Sejak lima belas menit lalu, Ganendra hanya berdiri terpaku di sudut ruangan sambil sesekali menyesap wine di tangannya. Ia begitu terkejut saat melihat gadis yang sangat ia kenali, datang bersama sosok lain selain dirinya. Ditambah yang datang bersama Hana adalah Leon, sepupu sekaligus rivalnya di Darma Group.

Sudah lebih dari seminggu Ganendra menahan diri untuk tidak menemui Hana meski ia sangat merindukan gadis itu. Bahkan hingga saat ini, Ganendra juga masih menahan diri untuk tidak memeluk Hana meski jarak mereka tidak lebih dari dua meter. Hana begitu dekat dengannya, namun rasanya ada jurang setinggi ribuan meter yang memisahkan mereka. Berkali-kali Ganendra mengabaikan orang-orang yang ingin berbincang dengannya. Ia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Hana, tidak bisa barang sedetik pun. Hingga ia melihat gadis itu berjalan ke area luar balroom, sendirian tanpa Leon.

Dengan satu gerakan, Ganendra menghabiskan wine yang masih tersisa di gelasnya dan bergegas mengejar Hana. Ia tidak bisa lebih lama lagi menahan diri, ia tidak bisa melihat Hana pergi begitu saja dari hadapannya. Jadi, dengan segenap tenaga, Ganendra mengejar Hana yang kini tengah berjalan sendirian di Koridor hotel. Mengejar langkah mungil Hana bukanlah hal yang sulit bagi Ganendra, hingga tak butuh waktu lama baginya dan ia sudah tiba di belakang gadis itu. Dengan cepat, Ganendra menarik lengan gadis itu dan mendekapnya erat.

"Lepaskan!" pekik Hana. Entah siapa orang kurang ajar yang tiba-tiba memeluknya begini.

Tanpa menghiraukan ucapan Hana, Ganendra justru memejamkan matanya dan menghirup dalam-dalam aroma gadis itu. Aroma manis seperti bayi, namun juga kuat. Persis seperti Hana yang terlihat rapuh, namun tangguh di saat yang bersamaan. Dalam sekejap, aroma ini menjadi wangi favorit Ganendra.

"Saya rindu kamu," gumam Ganendra pelan, masih belum berniat untuk melepaskan pelukannya.

"Pak Ganendra?" Hana yang mengenal betul suara berat tersebut hanya bisa terheran-heran. "Kenapa anda ada di sini?"

"Ini acara Darma Group, nggak ada alasan lain lagi saya ada di sini, karena saya yang punya acara," jawab Ganendra santai, sambil terus-terusan menciumi puncak kepala Hana.

"Pak Ganendra, tolong lepaskan! Ada banyak yang melihat." Berkali-kali Hana memukuli dada bidang Ganendra, namun hal itu sia-sia saja, karena Ganendra sama sekali tidak berkutik.

"Biarkan saja."

Dengan satu gerakan cepat, Hana berhasil mendorong tubuh besar Ganendra menjauh. "Lepas!"

Lelaki itu tampak terhuyung, namun detik berikutnya justru menatap Hana dengan tatapan sendu. Ini pertama kalinya Hana melihat Ganendra yang seperti ini. Ia tampak lemah, tapi juga tak kehilangan aura mengerikan serta wibawanya.

"Anda mabuk?" tanya Hana kemudian.

"Iya, aku mabuk karenamu. Aku gila karena merindukanmu." Ganendra menatapnya lurus, dengan tatapan tajam juga dengan nada tegas yang menusuk.

Untuk sesaat, Hana tak berkutik dibuatnya. Namun, sebesar apa pun Ganendra menyukainya, bagi Hana hubungan antara mereka tetap mustahil. Seorang konglomerat dengan gadis miskin berlimang hutang, sangat tidak masuk akal. Semua itu hanya ada dalam novel dan serial televisi. Tidak ada yang namanya kebetulan, atau apa pun di dunia nyata. Romansa seperti itu terlalu indah untuk hidupnya yang begitu kejam.

"Pak Ganendra mabuk, sebaiknya anda segera masuk. Saya harus pergi." Hana segera berbalik badan, namun sayang, lengannya sudah keburu ditahan oleh jari-jari dingin Ganendra.

"Jangan pergi, Hana," ucapnya pelan.

"Saya Teressa Lim."

"Persetan! Kamu Teressa atau Hana, saya nggak peduli. Saya hanya mencintai gadis ini saja, yang sekarang berdiri di depan saya, dan yang melayani pelanggan di restoran. Yang tersenyum tulus pada anak-anak, juga yang tertawa lepas bersama Dean." Ganendra menatap Hana lurus, sorot matanya memancarkan ketulusan.

"Pak Ganendra ...."

Belum sempat Hana menyelesaikan ucapannya, Ganendra sudah menariknya menuju pintu tangga darurat. Suasananya semakin sepi, seiring mereka menjauh dari area balroom. Ganendra kembali menarik Hana, membawanya pada sudut paling tak terlihat. Ia menatap mata Hana tajam, meski begitu Hana dapat melihat sorot lembut dari mata itu.

"Saya mencintaimu, Hana," ucap Ganendra sekali lagi, lebih pelan dan lebih penuh perasaan.

Hana tak bisa berkutik, tatkala wajah Ganendra semakin mendekat sebelum akhirnya lelaki itu mencium bibirnya. Sensasi hangat dan sengatan aneh mulai Hana rasakan. Ingin sekali Hana mendorong Ganendra menjauh dan pergi saat itu juga, namun seperti ada pasir hisap di bawah kakinya yang membuat Hana tak bisa berkutik. Semakin lama, Ganendra semakin memperdalam ciumannya. Sebelah tangannya merangkul pinggul Hana, memaksa gadis itu untuk semakin mendekat. Tanpa sadar, Hana mulai memejamkan matanya. Menikmati setiap sentuhan lembut Ganendra pada dirinya. Hingga ponselnya berdering nyaring, membuat Hana refleks mendorong Ganendra menjauh.

"Halo, Mas Leon?" ucap Hana membuka pembicaraan.

"Baik, saya ke sana sekarang."

Tanpa mengatakan apa pun lagi, Hana berlari begitu saja meninggalkan Ganendra dengan perasaan hampa.

"Mas Leon, katanya?" Ganendra terkekeh pelan.

Ganendra tertawa sendiri di tempatnya, di tangga darurat yang sepi dan gelap. Dirinya hanya merasa lucu, merasa dipermainkan oleh perasaan sialan yang mengacaukan dirinya. Terutama saat mendengar Hana menyebut nama Leon. Padahal Ganendra lebih muda dari Leon, tapi Hana selalu memanggilnya dengan sebutan 'Pak'. Kalau saja Ganendra tidak tengah tergila-gila pada gadis itu, entah apa yang akan dilakukannya.

Sementara itu, Hana masih berlari sembari berusaha menenangkan detak jantungnya yang menggila. Ganendra baru saja mencuri ciuman pertamanya dan itu benar-benar tidak adil. Hana bertekad hanya akan memberikan ciuman pertama itu pada orang yang akan ia nikahi kelak, tapi lelaki itu dengan tidak tahu dirinya malah menciumnya. Tanpa persetujuan, bahkan tanpa bertanya terlebih dahulu. Ditambah, Ganendra melakukan semua itu dalam keadaan mabuk. Yang paling menyebalkan, Hana masih saja berdebar ketika mengingat hal yang terjadi beberapa menit lalu. Sentuhan lembut, juga tautan lembut bibir Ganendra.

Hana buru-buru menggeleng, menjauhkan pikiran mesum itu dari kepalanya. Sambil berjalan, ia mengeluarkan ponselnya untuk melihat apa ada riasan yang berantakan. Tentu saja, berantakan. Lihat apa yang dilakukan Ganendra pada lipstiknya! Hana benar-benar kesal dibuatnya. Buru-buru Hana pergi ke toilet sebelum bertemu dengan Leon di balroom. Penampilannya sudah cukup kacau sekarang, dan Hana tidak mau performanya menurun hanya karena laki-laki tidak bertanggungjawab itu.

***

Selama beberapa saat, Leon kembali membawa Hana mengelilingi balroom hotel untuk berbincang bersama para kolega bisnisnya. Namun, sejak kembali ke balroom juga, Hana sudah merasa tidak nyaman sebab ada sepasang mata yang terang-terangan menatapnya dari sudut ruangan. Padahal Ganendra hanya menatapnya dalam diam, tapi entah mengapa rasanya seperti ada laser yang memancar dari mata itu.

Pelan, Hana menarik lengan kemeja Leon. "Ada apa, Tere?" tanyanya lembut.

"Mas Leon, rasanya kepala saya pusing. Kalau boleh, saya mau pulang duluan," ucap Hana pelan.

"Kamu minum apa tadi? Pasti kamu salah makan atau nggak sengaja minum wine."

"Enggak, Mas. Saya nggak minum apa-apa," jawab Hana lagi.

"Ya sudah, temani saya menyapa satu orang lagi, setelah itu kamu saya antar pulang."

Hana mengangguk pelan, menurut saja dengan apa pun yang dikatakan Leon. Yang terpenting ia bisa cepat-cepat pergi dari tempat ini. Hana yang terlalu fokus pada pikirannya sendiri yang melayang entah ke mana, tidak sadar kalau Leon justru membawanya ke hadapan Ganendra. Di tempatnya, lelaki itu tersenyum puas. Benar-benar ingin tahu, apa Hana akan kabur lagi darinya kali ini.

***