webnovel

Bab 5: The Guy and His Power

Selama dua jam penuh Hana dan Dean berlarian di restoran, hingga akhirnya restoran beranjak sepi. Hanya ada beberapa pelanggan dan tidak seramai tadi. Akhirnya Hana bisa bernapas lega. Di sampingnya, Dean juga terlihat sangat kelelahan.

"Hari ini luar biasa banget, ya?" ucap Dean sambil terkekeh pelan.

"Banget." Hana mengangguk setuju.

"Kamu makan dulu, gih. Tadi Bang Andra bikin nasi goreng. Aku udah sempat makan tadi, kamu makan dulu aja," kata Dean lagi sambil menepuk bahu Hana.

"Oke, deh."

Dengan segera, Hana bergegas menuju dapur. Ia tidak enak hati kalau meninggalkan Dean terlalu lama. Di dapur, sudah ada Andra, koki restoran ini yang sudah bekerja lebih dari lima tahun. Usianya tujuh tahun lebih tua dari Hana, dia adalah senior yang baik dan sangat Hana hormati.

"Makan dulu, Han," ucap Andra seraya membereskan peralatan masak yang berantakan.

"Makasih, Bang Andra." Hana mengangguk singkat, kemudian menyendok nasi goreng buatan Andra ke piring. "Bang Andra sendiri udah makan?"

"Gampang, Bang Andra bisa nanti makannya."

Sekali lagi Hana mengangguk, sembari menghabiskan makanannya, Hana tertawa melihat tingkah Andra. Mencuci piring sambil karaoke lagu dangdut adalah hobi Andra. Bekerja seperti ini, memang membuat siapa pun butuh hiburan. Tak terkecuali Andra. Hana yang terbiasa melihat pemandangan itu pun masih saja tertawa melihatnya. Hana masih sibuk menertawakan Andra sembari menghabiskan sepiring nasi goreng di hadapannya, hingga seseorang tiba-tiba saja menghampirinya. Seorang pria paruh baya yang sangat Hana kenali.

"Han, kalau sudah selesai makan ke depan sebentar, ya. Ada yang mau ketemu," ucap Pak Rahmat, atasan sekaligus pemilik restoran tempat Hana bekerja.

"Iya, Pak." Hana menjawab pelan.

Ekspresi gembira yang sedari tadi terpancar di wajahnya, seketika menghilang begitu saja. Hana tahu betul siapa orang yang ingin bertemu dengannya. Berurusan dengan orang kaya memang menyebalkan. Mereka bisa dengan mudah melakukan apa saja dengan kekuasaan serta uang mereka. Mendadak, nasi goreng lezat di hadapannya jadi kehilangan rasa dan tak lagi terlihat menggiurkan.

"Kenapa, Han? Itu dihabisin dulu makanannya." Andra yang menyadari perubahan ekspresi pada wajah Hana, berjalan mendekat.

"Bang Andra aja deh, yang ke depan," gumam Hana pelan.

"Apa, Han? Nggak kedengaran suaranya?"

Hana menggeleng pelan. "Nggak, Bang."

"Kalau ada apa-apa cerita aja, jangan dipendam sendiri. Nanti gila," ucap Andra lagi yang sukses menerbitkan senyum di wajah Hana.

"Kata Pak Rahmat, ada orang yang mau ketemu sama Hana. Tapi Hana nggak mau ketemu sama dia, Bang."

"Kenapa? Hana kenal sama orangnya? Dia orang jahat?" tanya Andra pelan.

Hana menggeleng lagi. "Hana cuma nggak mau ketemu aja."

Andra tidak langsung menjawab, ia hanya menatap lurus pada Hana yang masih tertunduk di tempatnya. "Yaudah kalau Hana nggak mau ketemu, nanti Abang yang bilang ke Pak Rahmat."

"Eh, nggak usah, Bang."

"Udah, Hana abisin aja nasi gorengnya. Abang mau ke depan dulu."

Tanpa menunggu jawaban Hana, Andra sudah lebih dulu keluar. Entah Hana harus mengatakan apa lagi selain terima kasih. Semua orang di sini memang sudah seperti keluarganya sendiri. Bahkan Andra juga sudah Hana anggap sebagai kakaknya sendiri.

***

Entah apa yang Andra katakan pada Pak Rahmat, karena begitu Hana selesai makan, beliau tidak menanyakan apa pun padanya. Restoran juga sudah kembali ramai, jadi Hana tidak punya waktu untuk memikirkan hal lain. Beruntungnya, pelanggan di meja 9 juga sudah tidak ada di tempat. Hana benar-benar merasa bersyukur akan hal itu.

"Hana, Dean, hari ini kita tutup cepat, ya. Ada yang mau Bapak bicarakan sama kalian," ucap Pak Rahmat tiba-tiba.

"Iya, Pak," jawab Dean.

Di tempatnya, Hana hanya menjawab pernyataan tersebut dengan anggukan. Meski dalam hati batinnya bertanya-tanya, apa yang terjadi. Sekilas tatapan Hana bertemu dengan Dean, namun sama sepertinya, Dean juga tidak tahu apa yang terjadi. Ia hanya mengangkat bahu sembari melihat Hana. Ini aneh, sebab selama Hana bekerja, tidak pernah Pak Rahmat meminta tutup lebih cepat. Kalaupun ada hal mendesak, beliau akan menitipkan kunci restoran pada Andra. Tapi Hana tidak mau berpikir lebih jauh. Ada banyak pelanggan yang butuh dilayani sekarang.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh dan persis seperti yang diperintahkan Pak Rahmat tadi, restoran tutup lebih cepat dari biasanya. Baik Hana, Dean dan Andra sudah membereskan pekerjaan mereka dan berkumpul di tengah ruangan.

"Bapak sengaja mengumpulkan kalian di sini, karena mau membicarakan sesuatu," ucap Pak Rahmat membuka pembicaraan. "Sekarang, Bapak bukan lagi pemilik tempat ini."

"Maksud Bapak?" tanya Andra yang terkejut dengan pernyataan barusan. Hana dan Dean pun sama terkejutnya dengan Andra. Pasalnya, selama ini semua tampak baik-baik saja sampai Pak Rahmat mengumumkan hal barusan.

"Bapak tetap mengurus resto, hanya saja pemilik tempat ini bukan Bapak lagi. Ada orang yang membeli tempat ini dengan harga tinggi, dan Bapak nggak bisa menolaknya. Anak perempuan Bapak sakit keras, kalian tahu. Bapak butuh biaya."

"Terus nasib kami gimana, Pak?" kini giliran Dean yang bertanya.

"Kalian tetap bekerja di sini, Bapak juga bekerja di sini. Hanya ganti pemilik dan orang yang menggaji kalian bukan Bapak lagi," ucap Pak Rahmat sambil terkekeh pelan.

"Siapa orangnya, Pak?"

"Seseorang dari Darma Group, Bapak juga tidak tahu siapa persisnya dia. Yang pasti, dia orang yang punya pengaruh besar."

Seketika kaki Hana terasa lemas. Ia tahu betul siapa yang melakukannya, orang yang punya pengaruh dan kuasa besar di Darma Group. Orang yang sama, yang seharian ini mati-matian ia hindari. Ganendra. Cukup satu nama, dan Hana sudah paham dari mana semua persoalan ini berasal. Namun lagi-lagi, satu pertanyaan besar muncul dalam kepala Hana. Kenapa? Kenapa hanya demi dirinya Ganendra sampai melakukan hal seperti ini. Kenapa hanya demi seorang gadis panggilan dari aplikasi Pacar Sewaan, lelaki itu sampai bertindak sejauh ini. Hal yang tidak masuk akal bagi Hana, adalah hal yang mudah bagi Ganendra.

"Ya sudah, Bapak hanya ingin menyampaikan hal itu. Kalian pulang saja, besok datang seperti biasa."

Setelah mengatakan hal barusan, Pak Rahmat pamit begitu saja. Sementara itu, tiga orang yang masih terdiam di ruangan, sama sekali tidak mengerti dengan situasi yang terjadi. Segalanya terlalu tiba-tiba bagi mereka.

"Kok bisa? Segitu gampangnya Pak Rahmat bilang kalau resto udah dijual," ucap Dean yang masih belum bisa mencerna segala sesuatunya.

"Pak Rahmat punya alasan, De. Kalian dengar sendiri tadi. Jadi mulai sekarang, kalian bekerja lebih rajin dan lebih baik lagi karena kita nggak tahu seperti apa pemilik yang baru," kata Andra menenangkan.

Hana mengangguk pelan, meski pikirannya masih ada di tempat lain.

"Yaudah, kalian pulang aja dulu. Hana mau Bang Andra anterin?" tanya Andra kemudian.

Hana menggeleng menjawabnya. "Enggak, Bang. Hana di sini dulu, ada yang mau Hana kerjain."

"Yaudah, jangan pulang malam-malam."

***